/0/3884/coverbig.jpg?v=dffcf616d198e6bb96a1869daaec4829)
"Kamu selingkuh lagi Mas? Aku sudah pernah bilang kan? Cukup sekali, enggak ada dua kali!" lirih Dewi, istriku. "Ini? Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Semuanya barang-barang perempuan! Ini juga tiket bioskop?" Dewi menggeleng. Meski dia berbicara cukup pelan, namun jelas ada kemarahan yang teramat sangat.
"Kamu selingkuh lagi Mas? Aku sudah pernah bilang 'kan. Cukup sekali, enggak ada dua kali," lirih Dewi, istriku.
"Ini? Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Semuanya barang-barang perempuan. Ini juga tiket bioskop." Dewi menggeleng. Meski dia berbicara cukup pelan. Namun jelas ada kemarahan yang teramat sangat.
"Aku bisa jelaskan."
"CUKUP!!!" Dewi baru saja meninggikan suaranya dan itu membuat aku cukup terkejut, untuk pertama kali wanita yang biasanya bersikap lemah lembut hari ini mulai berani menunjukkan emosinya. Seketika dia menangkupkan wajah. Dia bersandar pada dinding ruang tamu. Bahunya berguncang hebat. Tangis yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah juga. Aku mencoba merangkulnya namun ia seolah memberi jarak, dengan mendorong dadaku dengan tangannya. Satu gelengan pelan darinya aku dibuat malu bukan main. Dewi tampak mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan, sejenak dia menengadahkan pandangannya, menatap langit-langit rumah.
"Wi, kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Katakan berapa kali?"
"Apanya yang berapa kali, Wi?" Aku segera meraih tangannya.
"Apa kurangnya aku, Mas? Kurang cantik, sexi atau kurang liar, hah? Jawab, jangan diam saja!"
"Wi, oke aku mengaku aku salah."
"Dua kali kamu lakukan itu ke aku Mas, jelas itu salah. Sekarang kamu mau mengelak lagi. Bilang kalau semua itu khilaf, iya 'kan?" Aku terdiam, jujur saja aku bingung.
"Tega kamu."
"Wi, kita bicara sambil duduk ya, biar kamu lebih tenang."
"Aku ini punya perasaan Mas, sakit aku diperlakukan seperti ini. Aku bisa terima kamu sakiti, tapi anak-anak ... bisa-bisanya kamu pergi senang-senang sama pelacur padahal anak kamu lagi di rawat di rumah sakit."
"Dia bukan pelacur, Wi."
"Ya terus apa namanya kalau bukan pelacur?"
"Ya ampun, istigfar Wi." Bukannya melafalkan istigfar, Dewi malah tersenyum, lalu dia justru menertawakan dirinya sendiri.
"Jangan begini, Wi." Itu benar-benar menakutkan. Aku tahu di kecewa, tapi keempat anak kita masih sangat membutuhkan Ibunya.
"Ingat kamu sama Tuhan, waktu selingkuh ingat, enggak? Yang perlu istighfar itu kamu Mas, bukan aku!" Lantas Dewi pergi begitu saja, meninggalkan aku yang kebingungan. Entah tindakan apa yang akan dia ambil ke depannya. Sekarang, melihatnya tertawa seraya menangis secara bersamaan. Aku merasa tak tenang, takut kalau Dewi bisa saja berbuat nekat. Bukankah orang bilang, orang yang pendiam justru sering kali lebih berbahaya dalam caranya meluapkan emosi. Tanpa pikir panjang aku gegas menyusul Dewi yang pergi ke dapur. Ya Tuhan, jangan-jangan dia mau bunuh diri.
"Dewi!" Aku berteriak sekencangnya. Membuat Dewi seketika membalikkan badan menatapku.
"Kenapa? Kamu pikir aku mau bun*h diri?"
"Aku cuma khawatir kamu berbuat nekat Wi, Apa lagi yang ada di tangan kamu sekarang. Pisau itu, bukannya akan lebih baik kalau di simpan saja?" Melihat Dewi memegang pisau seperti itu, bagiku hal itu cukup mengerikan.
"Kenapa aku yang harus mati Mas, kamu yang salah!" katanya.
"Wi, kamu enggak berpikir buat membunuh aku 'kan?" Bukannya menjawab Dewi hanya menatapku saja.
"Mah, Pah lagi apa sih malam-malam di dapur? Pakai teriak-teriak segala. Aku kira Mamah kenapa-kenapa," kata Rafa, putra sulungku. Umurnya menginjak 10 tahun.
"Mamah habis menangis, ya?" tanyanya. Entah kenapa dari tadi Dewi hanya diam menatap kami bergantian.
"Papah sama Mamah berantem?"
"Enggak Sayang, Mamah cuma kena sabun aja tadi,. Kamu mending balik saja ke kamar. Mamah sama Papah baik-baik saja kok."
"Bener, Mah?" Rafa kembali memastikan. Namun, respons Dewi masih sama. Hanya menatap Rafa tanpa peduli apa yang anak kecil itu katakan.
"Mamah kenapa sih?" Rafa yang penasaran malah mendekat.
"Rafa kamu masuk ke kamar ya, biar Mamah, Papah saja yang urus."
"Enggak ah, apa yang sudah Papah lakukan ke Mamah?" Rafa justru berbalik menatap tajam ke arahku.
"Papah kalau terus nyakitin Mamah. Enggak usah pulang deh, pergi aja yang jauh!" teriak Rafa. Dari mana dia belajar kata-kata seperti itu? Sungguh aku terlonjak dibuatnya. Perlahan sulungku menarik Dewi. Mereka berjalan beriringan menaiki tangga ,lalu begitu sampai ke atas, sekali lagi aku kembali dibuat heran dengan perlakuan Rafa yang melarangku masuk ke kamar.
"Papah enggak usah dekati Mamah lagi!" tegasnya.
Aku melirik Dewi sekilas berharap ia mau memberikan sedikit saja pembelaan padaku, namun nyatanya dia seakan tak peduli pada sekitar. Mata kami bertemu dalam sesaat namun tatapannya padaku begitu dingin dan datar. Layaknya orang yang tak punya gairah hidup. Ini mulai tak beres.
"Biarkan Papah bicara sama Mamah!"
"Enggak," tegasnya dengan sedikit kasar.
"Kamu masih anak-anak, enggak mengerti urusan orang tua." Aku melepaskan lengan mereka yang saling menggenggam. Seraya terus mencoba mengajak Dewi bicara, namun sayang usahaku tak membuahkan hasil.
"Ini semua gara-gara Papah."
"Kamu bisa diam enggak, mending kamu masuk kamar! Papah bilang kamu masuk!" Aku kalap waktu itu. Hingga sampai hati membentak Rafa yang jelas hanya mencoba membela Mamahnya. Namun, reaksi Dewi di luar dugaan. Dia menarik lengan Rafa, menyembunyikan di belakang tubuhnya, lalu beralih menatapku masih dengan tatapan dinginnya.
"Aku yang pergi atau kamu?"
"Enggak bisa begitu, nanti anak-anak mau ikut siapa? Cobalah berpikir jernih anak kita sudah empat, pisah itu bukan solusi."
"Harusnya kamu yang berpikir jernih, Mas! Oke kalau begitu biar aku dan anak-anak yang pergi kamu bisa tinggal di sini! Bawa sekalian perempuan itu ke sini, jadi ke depannya kamu enggak perlu keluar biaya untuk penginapan."
"Wi, bagaimana bisa kamu membicarakan hal itu di depan anak-anak?"
"Asal Papah tahu, di sekolah aku dibuli gara-gara Papah! Aku malu punya Papah tukang selingkuh! Aku enggak punya Mamah dua! Hmm Aaaaa." Rafa tiba-tiba saja mendorong tubuhku hingga hampir saja terjungkal. Dewi hanya menatap nanar ke arah anaknya yang berlari ke arah kamar.
“Laki-laki itu tidak perlu ijin istri untuk menikah lagi,” katanya. Mendengar ucapan Ayah bisa kulihat Ibu malah tertunduk lagi, ada apa sebenarnya? kenapa dia hanya diam tanpa suara? “Dari sekian banyak sunah nabi kenapa harus poligami, Riana biar kutanya langsung padamu, bersediakah kamu jadi istri kedua suamiku?” “Hmm, aku, tolong kasih aku waktu, aku engga bisa ngasih keputusan sekarang,” jawab Riana. “Kenapa nak Riana bukannya kamu dan Bagas sudah saling kenal, bukankah kalian sudah dekat sejak kuliah?” tanya Ayah mertua. Hah? Apa ini jadi mereka pernah dekat? Kenapa hidup serumit ini. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menyaksikan permainan takdirku. “Kenapa Dek, kenapa kamu malah senyum?” Mas bagas menatap heran ke arahku, raut mukanya tampak gelisah mungkin dia takut aku akan meledak. “Kenapa dunia ini begitu sempit, Mas? kamu sendiri bagaimana? maukah menikahi mantan teman sebangkuku?” Aku harus memastikan ini sendiri disaksikan kedua orang tuanya. Dia lagi-lagi tak menjawab. “Tentu saja suamimu tidak akan menolak menikah dengan wanita cantik seperti Riana, toh mereka juga sudah saling mengenal,” sambar ayah mertuaku. “Kalau tolak ukur menikahi wanita hanya dilihat dari kecantikannya, apakah setelah menikah ada jaminan dia akan memiliki anak laki-laki, kalau tidak bukankah semuanya sia-sia?”
Seorang istri bisa kuat saat rumah tangga diuji dengan harta tapi saat pengkhianatan terjadi itu akan sangat melukai harga dirinya. Hingga dia pun meminta pada sang Pemilik Hati, agar suaminya kembali ke jalan yang benar. Bukankah hati hanya segumpal darah, bahkan sebuah batu sekalipun jika ditetesi air terus menerus suatu saat akan berlubang, apalagi hati. Dialah Ayu, Istri yang memilih mengadukan setiap masalah rumah tangganya langsung kepada Tuhannya.
Adalakanya mengalah menjadi solusi,agar semua yang hancur terlihat baik-baik saja , tapi kali ini aku menyerah. Egoku terlalu kuat, maka biarkan aku hidup dengan caraku. Cara yang membuatku sedikit merasa hidup selayaknya manusia bebas.
Tak ada cinya yang sempurna. Kadarnya berubag setiap waktu, kadang menjulang tinggi sampai ke langit, tetapi tak jarang rasa bosan menyapa. Menurunkan kadarnya hingga ke dasar bumi. Tugas kita menjaganya tetap hangat agar rasa itu tetap tinggak, meski gairahnya mulai pudar perlahan. Memupuk kembali rasa yang hampir mati, menghujaninya dengan untaian doa, berharap Tuhan mau mencampuri urusan kami. Menumbuhkan kembami rasa cinta pada dua insan yang dilema, antara bertahan atau pergi mencari tempat baru.
Selama sepuluh tahun, Delia menghujani mantan suaminya dengan pengabdian yang tak tergoyahkan, hanya untuk mengetahui bahwa dia hanyalah lelucon terbesarnya. Merasa terhina tetapi bertekad, dia akhirnya menceraikan pria itu. Tiga bulan kemudian, Delia kembali dengan gaya megah. Dia sekarang adalah CEO tersembunyi dari sebuah merek terkemuka, seorang desainer yang banyak dicari, dan seorang bos pertambangan yang kaya raya, kesuksesannya terungkap saat kembalinya dia dengan penuh kemenangan. Seluruh keluarga mantan suaminya bergegas datang, sangat ingin memohon pengampunan dan kesempatan lagi. Namun Delia, yang sekarang disayangi oleh Caius yang terkenal, memandang mereka dengan sangat meremehkan. "Aku di luar jangkauanmu."
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"
Apa yang terlintas di benak kalian saat mendengar kata CEO? Angkuh? Kejam? Arogan? Mohammad Hanif As-Siddiq berbeda! Menjadi seorang CEO di perusahaan besar seperti INANTA group tak lantas membuat dia menjadi tipikal CEO yang seperti itu. Dia agamis dan rajin beribadah. Pertemuan putrinya Aisyah dengan Ummi Aida, seorang office girl di tempat dimana dia bekerja, membuat pertunangannya dengan Soraya putri pemilik perusahaan terancam batal karena Aisyah menyukai Ummi yang mirip dengan almarhum ibunya. Dengan siapa hati Hanif akan berlabuh?
WARNING 21+ Harap bijak dalam memilih bacaan. Angel memiliki seorang ayah tiri yang tampan rupawan, dia sangat menyayangi ayah tirinya seperti ayah kandungnya sendiri. namun seiring berjalannya waktu, rasa sayang Angel pada ayah tirinya berubah menjadi perasaan lain. Apa yang harus dia lakukan saat suatu malam ayah tirinya datang padanya dalam keadaan mabuk dan menyatakan perasaannya? apalagi, Angel tidak kuasa menahan godaan ayah tirinya dan berakhir tidur bersama. Ibu Angel yang mengetahui ada gelagat aneh dari suaminya terhadap Angel, mulai mengakui hal yang membuat Angel sangat terkejut. Ayah tirinyalah yang menyebabkan ayah kandung Angel meninggal. Apa yang harus Angel lakukan?
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?