/0/5359/coverbig.jpg?v=31dc0782c37317ab6efea0d844053c45)
Seorang istri bisa kuat saat rumah tangga diuji dengan harta tapi saat pengkhianatan terjadi itu akan sangat melukai harga dirinya. Hingga dia pun meminta pada sang Pemilik Hati, agar suaminya kembali ke jalan yang benar. Bukankah hati hanya segumpal darah, bahkan sebuah batu sekalipun jika ditetesi air terus menerus suatu saat akan berlubang, apalagi hati. Dialah Ayu, Istri yang memilih mengadukan setiap masalah rumah tangganya langsung kepada Tuhannya.
"Y
u. bisa enggak sih enggak bikin malu? Kenapa kamu antar makanan segala ke kantorku?" ucapku sembari menyeretnya keluar halaman gedung.
"Maaf Bang pesanannya lumayan banyak, aku butuh buat beli diaper Randi. " Ayu tertunduk seraya mengusap pergelangan tangan, ada jejak merah di sana. Bekas cengkeramanku yang mungkin terlalu kuat.
"Emang 50 ribu yang aku kasih tiap hari, kamu pakai apa hah?" Aku sedikit membentak. Mau ditaruh di mana wajahku. Teman sekantor harus mengetahui istri seorang Manager berjualan makanan. Ditambah lagi bisa dipesan online. Kenapa juga dia harus mengantarnya sendiri, zaman sekarang kan banyak ojek.
'Memalukan!'
"Uangnya sudah enggak cukup lagi, Abang juga enggak mau kasih tambahan lagi." Ayu mundur selangkah menjauh dariku.
"Ya sudah enggak usah pakai diaper segala?"
"Kemarin Abang bilang enggak suka kalau tiba-tiba Randi Buang air sembarangan, jadi Adek pakaikan diaper."
"Ah sudah sana pulang ke rumah, kamu saja yang enggak bersyukur." Terlanjur kesal, akhirnya Ayu mengalah, lalu memilih pergi. Dengan setengah berlari wanita itu mengambil motornya di parkiran kantor. Sedang, aku masih terpaku di depan gerbang kantor. Bukannya segera berlalu Ayu justru memarkirkan motornya tepat di hadapanku.
"Adek pamit, Bang," ucapnya mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.
"Sudahlah sana." Cepat-cepat kutepis. Emosi yang kian menggebu membuatku muak. Pelan-pelan wanita itu mengelus tangan kanannya. Kala itu dia hanya diam, hingga akhirnya memilih pergi dengan scooter matic pink yang kubelikan saat ulang tahun pernikahan yang pertama.
Di kantor teman-teman sudah siap dengan berbagai macam pertanyaan. Bagaimana bisa istri seorang Manager berjualan makanan bahkan sampai mau mengantarnya sendiri.
'Sungguh memuakkan! Lihat sana nanti! Tunggu aku pulang, biar kuberi pelajaran kali ini!'
~~
Sesampainya di rumah, sengaja kubanting pintu, membukanya lalu menutupnya kembali dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras. Randi Si bungsu, yang sepertinya tengah tertidur akhirnya menangis, mungkin terkejut karena ulahku. Tak lama setelah itu, sosok Ayu muncul dengan Randi dalam gendongannya. Dia menuruni tangga rumah, dengan sedikit tergesa-gesa, lengkap dengan wajah bingung tanpa dosa. Jelas-jelas dia sudah membuatku malu, masih tak tahu juga salahnya apa.
"Yu sejak kapan kamu jualan makanan sampai mengantarnya sendiri, bukannya biasanya dipaketkan?"
"Semenjak Randi lahir Bang, sekarang jualan camilan di Shopee lagi sepi, makanya Adek coba bikin makanan lain, maaf enggak izin dulu, Adek takut Abang enggak mengizinkan." Ucap Ayu lembut.
"Apa uangku enggak cukup?"
"Bang anak kita sudah tiga, saat Randi lahir cuma dua bulan Adek menyusuinya, setelah itu ASI Adek enggak keluar lagi, Adek kan sudah pernah bilang, harus beli susu formula. Benar Bang, uangnya enggak cukup lagi." Kali ini tampak netranya mulai mengembun.
"Memang berapa harga susunya?"
"Delapan puluh lima ribu, itu pun cuma cukup untuk lima hari, Bang," jawabnya sembari memalingkan seperti mati-matian menahan tangisnya agar tak sampai pecah di depanku.
"Kamu itu bisanya cuma nangis. Pantas saja rumah ini bau masakan tiap hari!"
"Nih, besok enggak usah jualan lagi, bikin malu!" Kuserahkan uang 100 ribuan, saat uang itu telah berpindah ke tangannya raut wajahnya seketika berubah, ada semburat bahagia yang tampak di sana.
"Sekalian buat jatah besok, sisanya kamu masih ada untung jualan tadi pagi 'kan?"
"Terima kasih." Secepat kilat binar bahagia itu menghilang berganti dengan raut wajah yang ditekuk, lalu kembali meneruskan langkahnya menuju dapur. Sepertinya hendak mengambilkan segelas air putih hangat, untukku. Bisa kulihat dari sini, gerakkannya yang lambat. Sudah diberi uang masih saja begitu, tak pandai bersyukur.
"Apa kopi saja sampai tak terbeli, Yu?"
"Maaf Bang, mmm kalau Adek enggak jualan lagi. Abang tambahi ya uang belanjanya!"
"Kamu ini uang terus, aku capek pulang kerja. Kopi saja enggak ada." Kembali kubanting tas kerja itu ke atas meja, hingga menimbulkan bunyi cukup keras.
"Dasar kamu saja yang boros," bentakku sembari berlalu. Ayu selalu diam saat aku marah, kemudian dia akan menangis di ruang salat setelah anak-anak tidur. Tak pernah sekali pun memarahiku balik, mengakuinya atau tidak dia memang perempuan soleha yang lembut.
Keesokan harinya, tepat hari minggu aku memilih untuk lari pagi berkeliling kompleks perumahan.
"Pak Andi!" teriak seorang perempuan.
"Eh Tiara, kamu lari juga?" tanyaku, Tiara adalah staf di kantor dia masih gadis usianya masih 20 tahun.
"Bareng yuk Pak!"
"Oke, Ayo!" ajakku kemudian, kenapa rasanya hatiku berdebar-debar tak karuan saat di samping Tiara?
Mungkinkah menyukainya? Dia memang cantik modis dan wangi, berbeda dengan Ayu yang setiap hari nyaman dengan daster kumalnya dan aroma masakkan yang tak enak di cium. Terlalu sibuk memikirkan Ayu, bisa-bisanya aku sampai tak menyadari ada polisi tidur di depan, hingga aku tersungkur mencium aspal.
"Kenapa, Pak?" Tiara terlihat sedikit khawatir.
"Enggak apa-apa kok, Ra." Aku langsung berdiri, menggaruk kepala yang sejujurnya yang tidak gatal, sekadar menghilangkan malu. Baru jalan sekali, sudah terjatuh dengan konyol. Setelah berlari cukup lama, lelah juga ternyata akhirnya kami pergi mencari sarapan di sebuah kedai makan. Aku tahu ini salah, tetapi salahmu sendiri tak pandai merawat diri. Setelah selesai sarapan aku pulang ke rumah, terlihat Ayu tengah menyuapi anak-anak yang berlarian ke sana kemari.
" Sarapan dulu, Bang."
"Aku sudah sarapan di luar." Aku pun berlalu meninggalkannya begitu saja.
~~
"Mau ke mana, Bang?" tanya Ayu saat aku sudah bersiap lagi untuk pergi keluar.
"Kamu cerewet banget sih Yu, malas aku lihat kamu. Apa enggak bisa kamu pakai baju bagusan dikit biar enak dilihat?"
"Maaf, Bang," ucapnya sambil tertunduk.
Aku benci sekali saat dia tertunduk dan meminta maaf. Kutinggalkan dia sendir. Tak lagi memedulikannya yang kini tengah sibuk dengan anak-anak, apalagi kudengar Randi menangis. Hari ini aku ada janji dengan Tiara. Bukankah tak apa kalau sesekali keluar. Sekedar menghilangkan kepenatan.
Seiring waktu berlalu, intensitas kedekatan kami semakin bertambah. Saat pulang ke rumah rasa bersalah kadang datang saat kudapati hingga larut malam Ayu masih berkutat dengan pekerjaan rumah. Ayu memang cantik, rambutnya hitam panjang dan lurus hanya saja dia tak pandai menjaga penampilan. Rambutnya yang indah hanya diikat dan digulung ke atas. Kulitnya pun terlihat kusam. Laki-laki mana yang betah dengan istri berpenampilan kumal seperti itu? Hasratku sebagai laki-laki luruh saat aroma tubuhnya yang bau dapur itu menyeruak. Sungguh mengganggu. Itu salahnya bukan? Aku hanya laki-laki normal.
Sejak Ayu berhenti berjualan. Ketika pulang kerja kerap kali rumah dalam keadaan gelap gulita. Apa lagi kalau bukan karena kehabisan token listrik. Hal itu membuatku kesal dan akhirnya melampiaskan emosi pada Ayu. Entah ke mana larinya uang yang kuberikan padahal sudah kutambahi jatah susu Randi, tetapi bukannya membaik, yang terjadi justru rumah seringnya dibiarkan kehabisan token.
'Bikin malu suami.'
Hari ini aku pulang tepat pukul sebelas malam. Ayu menyambut hangat, tak lupa lengkap dengan segelas susu Jahe kesukaanku. Dia memang istri yang pandai menyenangkan perut. Ayu juga tak pernah menolak saat aku mengajaknya memuaskan hasrat. Hanya saja semenjak ada Tiara, rasanya dia tak lagi menggairahkan. Sejak itu juga kadang aku lebih sering tidur di depan televisi karna tak ingin ketahuan saat berbalas pesan dengan Tiara. Ayu begitu naif. Tidak pernah menaruh curiga. Mungkin dia berpikir aku benar-benar terganggu karena Randi kerap menangis pada tengah malam, padahal itu hanya alasan. Bagaimana mungkin bisa terganggu? Bahkan jika dia meletakkan alarm yang bising, di samping telinga pun belum tentu sanggup membangunkan tidurku.
"Sayang sebal banget sama Si kumal! Rumah sudah kaya gua setiap pulang sering banget gelap-gelapan padahal dikasih uang tapi token aja enggak kebeli, dasteran mulu, mana bau bawang bikin mual. Sekalinya harum malah bau minyak telon, beda banget sama kamu yang cantik dan wangi. Ih jadi kangen deh." Kukirim pesan itu ke Tiara.
"Hahaha istri kayak gitu kok masih betah sih sayang, si kumal itu memang belum tidur? Kangen nih mau video call, tadi sih Mas enggak ajak aku meeting sama klien seharian, jadi kesepian." Aku menyebut Ayu si kumal, aku yang mengawalinya tapi kenapa rasanya tak terima saat orang lain merendahkan istriku seperti itu.
"Sabar ya sayang, dia masih mondar-mandir, bikin pusing, sudah kayak kereta."
"Hahaha, oh ya Mas kita sudah lama dekat, kapan Mas mau nikahi aku? Meski pun jadi yang kedua aku rela sayang asalkan bisa sama mas terus." Pesan dari Tiara sontak membuatku tersedak susu jahe. Aku masih terbatuk karenanya. Hingga tiba-tiba terdengar suara benda kaca yang jatuh di belakangku. Aku yang tengah tiduran di sofa refleks membalikkan badan sejurus kemudian tampak di lantai piring berserakan. Ada sepasang kaki tepat berdiri di sana. Itu milik Ayu. Sejak kapan dia berdiri? Seketika jantungku berpacu sangat cepat, seperti pencuri yang tertangkap Tuan Rumah.
“Laki-laki itu tidak perlu ijin istri untuk menikah lagi,” katanya. Mendengar ucapan Ayah bisa kulihat Ibu malah tertunduk lagi, ada apa sebenarnya? kenapa dia hanya diam tanpa suara? “Dari sekian banyak sunah nabi kenapa harus poligami, Riana biar kutanya langsung padamu, bersediakah kamu jadi istri kedua suamiku?” “Hmm, aku, tolong kasih aku waktu, aku engga bisa ngasih keputusan sekarang,” jawab Riana. “Kenapa nak Riana bukannya kamu dan Bagas sudah saling kenal, bukankah kalian sudah dekat sejak kuliah?” tanya Ayah mertua. Hah? Apa ini jadi mereka pernah dekat? Kenapa hidup serumit ini. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menyaksikan permainan takdirku. “Kenapa Dek, kenapa kamu malah senyum?” Mas bagas menatap heran ke arahku, raut mukanya tampak gelisah mungkin dia takut aku akan meledak. “Kenapa dunia ini begitu sempit, Mas? kamu sendiri bagaimana? maukah menikahi mantan teman sebangkuku?” Aku harus memastikan ini sendiri disaksikan kedua orang tuanya. Dia lagi-lagi tak menjawab. “Tentu saja suamimu tidak akan menolak menikah dengan wanita cantik seperti Riana, toh mereka juga sudah saling mengenal,” sambar ayah mertuaku. “Kalau tolak ukur menikahi wanita hanya dilihat dari kecantikannya, apakah setelah menikah ada jaminan dia akan memiliki anak laki-laki, kalau tidak bukankah semuanya sia-sia?”
“Kamu selingkuh lagi Mas? Aku sudah pernah bilang kan? Cukup sekali, enggak ada dua kali!” lirih Dewi, istriku. “Ini? Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Semuanya barang-barang perempuan! Ini juga tiket bioskop?” Dewi menggeleng. Meski dia berbicara cukup pelan, namun jelas ada kemarahan yang teramat sangat.
Adalakanya mengalah menjadi solusi,agar semua yang hancur terlihat baik-baik saja , tapi kali ini aku menyerah. Egoku terlalu kuat, maka biarkan aku hidup dengan caraku. Cara yang membuatku sedikit merasa hidup selayaknya manusia bebas.
Tak ada cinya yang sempurna. Kadarnya berubag setiap waktu, kadang menjulang tinggi sampai ke langit, tetapi tak jarang rasa bosan menyapa. Menurunkan kadarnya hingga ke dasar bumi. Tugas kita menjaganya tetap hangat agar rasa itu tetap tinggak, meski gairahnya mulai pudar perlahan. Memupuk kembali rasa yang hampir mati, menghujaninya dengan untaian doa, berharap Tuhan mau mencampuri urusan kami. Menumbuhkan kembami rasa cinta pada dua insan yang dilema, antara bertahan atau pergi mencari tempat baru.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.