nya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya k
kali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan
-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si
kan kakinya ke sisi tubuh pria itu, me
gan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum memb
, kudengar ia berteriak
ghabisi Axel. Dengan kalut aku mengikuti langkah mereka ke bawah. Tidak
enghajar wajahnya. Spontan, aku meraih lampu tidur di samping ranjan
di kepala mengucur semakin deras. Ia berbalik penuh amarah ke arahku
u merasa sesak, megap-megap mencari udara. Tanganku mencakar-cakar lengan
ra mendapatkan oksigen. Bercak-bercak kegelapan mulai menyelimuti sudut mata, ketika kegelapan akan menyelimutiku sepe
n. Aku mendengar suara tersedak, kemudian t
ak besar yang menancap di sana. Masih terbatuk he
ncabut kapaknya. Ia lalu menghunjamkan kapakn
upalingkan wajah sambil memejamkan mata kuat-kuat.
ali aku menjerit kuat, suaraku hilang dan terdenga-apa, tenanglah .
. Kepalaku berputar kuat, ragaku terasa semakin ringan dan tak berdaya. Entah berapa lama kami saling berpelukan sepert
*
Mataku berkedip, menyesuaikan bias sinar. Pandanganku mengeja jam di
kedua tanganku bebas. Tanpa borgol y
ercekik. Kulit di sekitar area itu terasa sakit saat tersentuh jemari. Aku tahu area ini pasti memar dari int
, duduk di tempat tidur
ubuhku terlonjak ke belakang. Betapa mudahnya aku terkejut
terdengar berat. Tangan pemuda itu menggenggam secarik besar kain merah. Kutarik
diriku mengenakan baju Axel lagi, kaus putih polos d
ia yang mengganti baj
ukul ke
bukan. Ia tidak mungkin ber
cari kepastian, takut juga apa
hal sex dan sejenisnya. Aku memukul kepala kesal, ingatan memuakkan bibir pria mesum itu menyentuh bibirku kembali tergiang, ciuman pertamaku dicuri begitu saja,
ta besar itu membiru. Jemariku menelusuri warna-warni menyedihkan itu, jejak inflamasi juga meng
erlonjak, belum sempat menarik tanganku k
ali, genggamannya begitu kuat. Ia meletakkan tanganku di pipi dan menjadikannya bantal. Menggesekkan perlahan k
panas dan pipinya yang tersentuh
dia
anas. Ia kembali menggumamkan sesuatu, mungkin mengigau karena demamnya. Mula-mula rintihan pelan, semakin lama berganti gumaman gelisah. Ke
ng harus kulakukan? B
h kesempatan untuk kabur? Sementara aku tidak terikat
narik tanganku perlahan dari genggamannya. Kali ini de
dan melupakan yang terjadi. Memulai s
melangkah k