sedap mata di atas meja bulat. Ada tiga penari striptis bergelayut luwes dan berekspresi manja, mengundang lautan tangan kukuh
n, aku meloloskan kekehan. Ah, penantianku datang juga. Saat itu juga, aku menegakkan punggung polosku di sandaran kursi bar. Ant
i dengan kerumun. Ia berakhir seorang diri. Lautan tangan pria pemabuk itu mulai menjangkau kaos kumal si cupu, me
gingat penari-penari striptis tidak bisa dijamah,
, mengingat ia terjun langsung bersama Lakisha, Janette, dan Irene untuk memberi pelajaran kepada si cupu. Memaling
udian, aku mulai tertawa dan setengah berteriak kepada Meagan, "Hell, tentu
mengacungkan jari tengah tinggi-tinggi ke atap kelab. "Kauliampanye. Jemariku cepat-cepat merampas salah satu gelas, begitu juga Meagan. Kami sama-sama menumpas habis anggurnya dalam sekali tegukan. Aku
Jadi, aku segera meremas batang hidungku keras-
ra biru lautnya, tidak bisa menahan tawa keras. "Liha
ketika ia perlu merangkul Janette dan Irene yang mabuk. "Bantu mereka sana-
ar-cengir begitu mendaratkan kecupan mem
aian tangannya selagi kawanku satu itu mendatangi Lakisha. Ia mengambil alih tubuh Irene di rangkulan kanan L
ponsel di mobil, sehingga aku bisa
leh visualku, mereka mungkin sudah keluar dari pintu kelab. Akhirnya, aku merogoh tas kecil yan
buh gagah berbalut kemeja hitam itu dan mendaratkan kecupan ringan di pelipisnya. Selanjutnya, kami sama-sama mel
merebut kekasih Irene, namun aku tetap membawa kakiku menuju pusat kelab malam. Calis masih berjong
enemuiku. "Mau pulang?" tanyaku, melipat tangan di depan dada selagi memainkan sepa
semakin panas. Calis berkelit, mungkin mulanya berhasil, tetapi para pria-apalagi sedang mabuk-memiliki seribu satu cara untuk
Calis. Otomatis ia hilang keseimbangan dan menggelepar di atas meja bulat, itu memudahkan lautan tangan pria untuk meraba kuli
pku dengan binar yang tidak k
a sulitnya?" tanyaku, jengkel. "Jangan bersikap infantil.
a aku berdiri, m-mereka akan ... memegangku," u
"Kau bahkan tidak pernah merasakan lebih dari ini," balasku, ironisnya jauh lebih pelan dan ada secuil gemet
A-Aku turun
Aku menanti dengan sabar, menikmati air muka ketakutan yang menghiasi paras cupu Calis. Ada sedikit kepuasan-ah, tidak
te, dan Irene. Kami lima sekawan yang pernah dibuat hancur oleh dunia, kemudian kami berhasil bangkit untuk menj
antai. Aku segera bertelut, meraih dagunya untuk menahan tatapan kami. Calis menatapku dengan amarah tak t
r sisi meja. Calis memegang bekas tamparanku, menatapku dengan netra berkaca-kaca
aka menantimu dan k
nya kau
memaksaku berhenti. Suaranya pekak sekali. Jika terus berlanjut, indra pendengarku akan berakhir tuli. Kututup erat-erat netr
kurasakan bogem mentah mendarat ke tulang tengkorakku bertalu-talu. Ruangan penuh kelap-kelip warna d
u mulai berserah diri. Persetan dengan neraka ketika alur hidupku sendiri sudah seperti berad
ngguh mena
u, bibirku mengap-mengap untuk meraup kandungan oksigen yang merebak. Pasokan paru-paruku terasa habis dar
h eksistensi sepasang kaki di depanku tersimpuh. Aku menaikkan tatapan ke depan, mendongak sampai leherku hampir patah
enjatuhkan rahang. Bila benar ini adalah neraka, aku tidak akan pe
rnya terpahat dengan begitu sempurna, bibirnya merah alami-tidak terlalu tipis dan tidak juga tebal, kerapian
lama. Belum lagi, surai hitamnya dibiarkan awut-awuta
. "Siapa kau?" Itu kalimat pertama yang berhasil kulontarkan dan
an, tiba-tiba empat tangan meringkusku dari belakang. Aku mencoba untuk menoleh ke balik pundak, tetapi lid
ada anak panah menancap di kakiku?! batinku berteriak kencang. "Be
las menatapnya tidak kalah aneh. Ia memutuskan kontak setelah menghela napas dan menoleh ke balik pundaknya. Pria
bisa kujangkau karena tubuhku masih terce
nara kecil di sisi kanan dan kiri. Gerbang bersadur obsidian itu dalam posisi terekspos
uh dengan jendela kotak yang berderet apik. Bagian tengah bangunan, atapnya paling lancip dibandingkan yang l
u saja sudah menyeret tubuhku dengan brutal. "Argh! Kakiku sakit, berengsek!" seruku, bergelayutan lasak di udara a
cungkan jari tengah, tetapi akhirnya kuurungkan niat itu dengan memfokuskan diri pada rasa sakit di pergelangan kaki.
belanjaan para wanitanya, begitu enteng. Seingatku, aku tidak seringa
an-kawanku. Hingga aku hampir berakhir tuli karena mendengar denging yang pekak tepat ia mengutukku
Dari kelab malam ke bangunan yang luasnya menandingi jidat Sir Urel-profesorku di kampus. Cuman aku, Chryssant Elettr
ng itu di depan sebuah lorong. Aku menjatuhkan kakiku ke permukaan lantai usai bergelantungan seperti primata. Kerutan di ke
ku saat ini memang b
p membiarkan tangan kekar berhiaskan urat-urat biru mereka menyeretku turun ke bawah. Entah ke mana undakan pada loro
aknya aku tidak buta. Pantulan obor merefleksikan bayangan sinar di dinding. Dengan itu, aku dapat melihat jelas ke mana
i seorang pemuda dengan netra membelalak ketakutan. Urat merah di bola mata bagian putihnya tampak mengerikan. Bi
au berbagi rindu dengan ala
eram pemuda itu, aku malah tidak jadi takut. Kualihkan
bisa berkata, "Oh, aku baru sadar pria