Pema
yang baru saja kutahu namanya sebagai Remus Valez, secuil pun tidak sudi menaruh kepercayaan dalam setiap kata yang kututurkan. Ia m
jur?" tanyanya, unt
gah berat untuk mengebiri lidahnya-menjual di pelelangan seharga miliaran dolar. Sungguh, aku hampir
mengesalkan, belum lagi terselip nada menantang s
an sebenarnya
mi memang sudah berperang tatap semenjak aku diseret masuk oleh dua prajuritnya ke dalam sel paling ujung dan terasing. Aku sengaja memantapkan pertahanan sor
ali tidak memiliki ide
menghabiskan wa
memutari bolpoin. Lampu obor menggantung persis di samping kepala Remus, cukup membuat ketajam
buat perawakan gagahnya sedikit lebi
mulut." Remus menginstruksikan sesuatu melalui gerakan bibir ke samping kanan. Ia b
andai sa
depan pagar besi sel dan menggeser pintunya. Namun, belum sampai lima detik, kututup bibirku dan menggantikannya dengan pelotota
can
it pun melunak begitu ia memasuki sel dan berdiri tepat di depanku. Tidak lama, Remus menekukkan satu kakinya ke baw
n kuteruskan dari bibir, tetapi semua terkubur begitu saja ketika suara baret merangsek ke t
h dari cukup untuk membangkitkan perasaan lama yang telah kukubur sampai mampus. Suatu perasaan yang
l satu buah goresan di sana. Mereka mengerubungi otakku kembali, menutup akses oksigen menyebar dan memasuki daerah kep
ak bersisa. Sampai tremor itu datang dan me
tempatku saat ini masih sama seperti tadi; sel bawah tanah. Bedanya, ada rasa dingin menggerayangi pergelang
seorang pemuda sepantarku di depanku. Ia tengah membebat kakiku dengan perban. Otakku lekas mengirimkan sinyal bahaya, aku spontan menekukkan kaki k
um ibu jari kakiku persis men
dengkusan terdengar dari arah si pemuda. Ia baru melepaskanku begitu ak
kin melemparkan tatapan paling mengintimidasi yang pernah kutun
ek dan be
kalian saja kujeritkan betapa jelek dan berengseknya pria itu sampai ke atom-atom tubuh gagahny
am sekilas dan menyibukkan diri sebentar untuk menggulung sisa perban yang tidak terpakai.
hidung kempas-kempis-kemudian bersin. Sungguh, t
sepertimu bisa berting
api pertanyaan si pemuda asing tersebut. "Dan, hell!
Remus Valez. Si
gang perutku yang terasa menggelitik bukan main. Ekor netraku bahkan mengeluarkan setitik air mata. Men
g ke bawah dan membuatnya se
itu menaikkan tatapan datarnya, kemudian meneruskan, "Aku Stuart, omong-omong. Kura
an, mencondongkan kepala di dekat pemuda bernam
Ia berpura-pura meludah, melengos tepat aku menarik kerah kemeja putihnya untuk
kan kata 'Nona' sungg
seimbangannya lumayan. Stuart mendengkus selagi merapikan kemejanya-kemudian tatapanku jatuh kepada semaca
uk tidak mengetahui bila itu bukan lam
i oleh keheningan. "Lapar atau tidak, Yang Mulia sudah menyiapkan hid
ana seperti pelayan kafe di dekat kampusku. Ia mengenakan bando berenda putih yang terbuat dari satin, s
karena tak terjangkau oleh netraku, tetapi aromanya
nekat, seperti menerobos sel dan melarikan diri, misalnya. Sayang sekali, dungu-dungu begini, aku seorang pemikir rasional dan berorientasi kedep
an di dekat pintu sel, aku tidak menyentuh kudapan itu hingga malam tiba-yah, sepertinya malam karena aku sudah mulai mengantuk-dan yang tida
mengendurkan pertahanan netraku untuk tetap dibuka. Aku siap memasuki alam bawah sadarku dengan ter
ku akan membuatmu berakhir lebih dari s
r ranumku meloloskan tawa-tawa terpahit yang pernah kulontarkan kepada siapa pun. Mengusap kasar wajahku, aku mempertahan
ang lurus kepadaku. Aku bisa menangkap sorot keh
teredam oleh telapak tangan. "Jika kau memang tidak memercayaiku, seti
ta' itu. Tetapi, tidak sekarang. Kehadirannya cukup memicu ingatan itu kembali dan butuh waktu tidak singkat bagiku mem
, kau bisa menginterogasiku sepuas
ia mendengarnya. Kabar baiknya, Remus patuh. Ia tidak berusaha untuk kembali mengeritingkan otakku dan mencincangnya sampai tak berbe
li ke tempat persinggah
kah menjauh Remus tergantikan oleh suara maskulinnya, merangsek kembali k
a sikap menjengkelkan pria jelek
sa kesadaran hingga aku jatuh terlelap. Dan ketika pagi sudah datang, sia
"Kau sungguh
nku. Tanpa kuduga-duga, ia meremas kuat ruas-ruas jemariku sampai aku bisa mendengar gemeretak tulang yang tersusu
sama sekali, sorotnya ja
Roma halusku bergidik ketika wajahnya begitu dekat dan embusan napas menyapu halus milikku. Kesempurnaan yang s
neguk liur susah payah mendapa
rmukaan lantai oleh miliknya. Ia meremas tangan kananku sekali lagi, tanpa sadar netraku sudah berair. Perlu waktu bagiku
menenangkan diri. Tentu saja itu tidak mempan. Ketenangan macam apa yang bisa k
tu," Remus mengintimidasiku lagi melalui kilat tajamnya,
atas nama leluh
dra penglihatnya. "Siapa nama leluhurmu?
, bingung. Dengan nada skeptis, aku se
udah kewalahan menghadapiku-sama lelahnya dengan aku yang perlu menghadapi si pria p
yang sempat dimaksud oleh Remus tadi. Sepasang netra tabib itu mengilat ramah saat ia menjumpai milikku dari balik pagar besi sel. Remus ikut beral
ku, bagaikan aku barang antik saja. Tabib itu tampak mengarahkan telapak tangan dari kejauhan, m
Remus menjadi kertas dan kujadikan sebagai tempe
ryssant Elettra, si penggerak utama suku Ace. Tetapi, yang menempati tu
gira aku kerasukan setan! Tetapi ... seb
d tabib sompret it