saat ini-buas, brutal, dan liar. Otakku mencitrakan mentimun itu sebagai aset berharga Putra Mahkota, bernafsu memotongnya terus-terusan tan
an pisau. Dengan asal-asalan, aku mencincang hingga sayur lonjong hijau itu tidak berbentuk lagi. Bisa kurasakan kehebohan yang sedikit kuciptakan
menuju hasil potongan beragam sayurku ke dalam mangkuk kaca. "Huek! It
u. Ini resep khusus dariku untuk Yang Mulia," balasku enteng, selagi menahan muntah kare
itu lanjutkan. Aku tidak ikut campur bila Yang Mulia memecatmu di hari pertama kau bekerja,"
berakhir muntah-muntah dan bolak-balik ke kamar kecil sepanjang aku mengurus kudapan malam untuk pria jelek itu. Bila ia sengaja
nggi keselarasan, bukan
makin rapi-dan voilà! Selada Bau sudah siap disajikan untuk Putra Mahkota Tersayang. Tatanan lapisan teratas selada kubentuk seperti sebuah wajah jel
dan beragam sayur-mayur lain yang sudah
hkan kepala ke wastafel sambil memegang leher jenjangnya. Seburuk itukah tampilan Selada Bau buatanku? Aku menunduk ke mangkuk. Respons tubuh
hama, aku bertolak menuju Arael dan bu
s menderita. Hingga aku baru dapat ingat bahwa aku sendiri tidak doyan memakan semua yang berbau sayur-sayuran. Jangankan makan, membaui arom
mangkuk kaca yang masih tertutup talenan. Lengannya terulur p
ang membuatkan selada untuk Yang Mulia malam ini. Kau tetap di sampingku. Pelajari baik-baik, lalu antarkan kudapan ma
Nenek
a-apa lagi. Aku mengamati si gadis pelayan mulai memotong kecil-kecil beragam sayur menjadi dadu. Jemarinya bergerak santai, tidak s
dengan kegiatan itu? Uh,
bun. Baguslah. Kuhabiskan waktuku menunggu Arael dengan kegiatan itu, merasakan berpasang-pasang netra menatapku jijik. Di mata mereka, mungkin
ja dengan hanya berbaring
mamerkan mangkuk kaca yang kini sudah dipenuhi Selada Bau versi bersinarnya. Namun, tetap saja bau! "
an kambing, misalnya, imbuhku dalam batin. Menahan senyum culasku, aku menerima o
r segera bertolak dari dapur manor. Tidak seperti aku akan betah di ruanga
Itu bersumber dari kaca patri di langit-langit manor yang terjangkau oleh netra. Bergeser ke kanan sedikit, terdapat separasi pada masing-masing
Putra Mahkota. Kami ada di lantai teratas alias lantai tiga. Sedangkan lantai dua, terdiri dari kumpulan ruangan yang kerap dipakai ol
ak begitu banyak membuat kamar itu ditempatkan beramai-ramai. Selain dua ruang kamar untuk para pengurus manor, terdapat dapur
u sempat meluangkan waktu untuk mengintip ruangan tersebut. Secara mengejutkan, kamar kecil para pengurus mano
ain, memang. Hanya saja, ada satu kekurangan dari manor Putra Mahkota. Tidak ada elevator. Jadi, aku harus
a kecil saja perlu memakai metode kunyahan daun herbal! Aku jadi teringat Stuart, si pemedis kekaisaran. Apa i
agak gemetaran, namun tidak berlangsung lama usai aku sampai di undakan teratas. Menjorok ke kiri, kujatuhkan netra ke salah satu pintu. Aku
k santai di sofa menaikkan satu alisnya, menginspeksiku dari atas sampai bawah. Jangan lupakan sorot hidung belangnya. Karena aku tidak sedang dalam suasana ingin
dengan at
an atribut pelayan manornya. Entah pria jelek ini sedang memujiku atau menghinaku. Sepertinya lebih ke 'menghina', sih. Tidak
ahankan senyum kucingku dengan senatural mungkin. "Akan semakin cocok jika aku tidak ber
esinya, pria itu kentara sedang memikirkan hal-hal liar. Aku segera menggulirkan netra, tidak berniat lebih lama berada di sini-apalagi berduaan dengan p
tu yang sudah ia tutup dengan satu kakinya,
atar, tepatnya leb
seringai. Apa lagi yang ia inginkan
ak senang. "Tida
aku bisa tahu selad
" Kupelototi Remus
an pintu tanpa melecutkan arogansinya. Sok keren! "Aku mungkin percaya kau sedang menumpang di tubuh itu
h kalau
gurat si Putra Mahkota berubah dongkol, "aku tidak ingin mere
tergerak untuk mendekatinya. Dengan telunjuk kanan, aku mengetukkan dada berbalut kaos rumahannya s
hir seperti kotoran sapi." Yang satu ini, aku tidak berniat untuk melawak. "Ketiga, aku pem
ngejap usai mendengar akh
kubuat sendiri. Jangankan memakan daging manusia, sup kambing saja o
Remus, sedangkan tangan kiriku mengusap dadanya penuh sensual. Dapat kurasakan deru napas pria itu terasa lebih berat. Debar jant
isa merasakan ketegangan luar biasa di sekujur tubuhnya. Ini membuatku
ndesis di depan cuping telinga memerahnya. "Satu kartumu a
am pria itu memandangku gusar. "Jangan sembarang berbicara, Ysee. Kau hanya tidak tahu aku," balasnya, me
u-menekan keras-keras pipiku dengan kuku-kuku tajamnya. Dapat kurasakan penopang tubuhku mulai melemah, namun a
i Putra Mahkota dalam visualku berga
uh dari indra pendengarku. "Jika kau mencoba memanipu
rnah mengatakan hal seperti itu-tetapi tidak k
rmain-main deng
us, tanpa sekali pun berminat menoleh atau melawannya. Yang kutahu, aku tidak lagi bertenaga selama aku berada di dalam k
u memaksakan diri mendongak, cermin sudah meretak tidak karuan. Cairan merah beraroma anyir melekat be
khir, sebab aku tidak in