an memasukkannya ke dalam tas. Hari ini, aku sangat ingin segera pulang dan merebahkan diri di kasur empukku.
k. Aku menghela napas panjang. Ruangan bus terasa sempit dan pengap, dipenuhi oleh penumpang yang didominasi kaum pria. Aku ragu
ang saling berhimpitan, mencoba untuk tidak bersentuhan dengan penumpang lain. Akhirnya, aku berhasil mencapai bagian tengah bu
kusadari, seorang pria di belakangku mulai menempelkan tubuhnya. Awalnya, aku mengira itu hanya karena sempitnya bus. Namun, lama-kelamaan,
ruang yang cukup. Tiba-tiba, aku merasakan tangan pria di belakangku menyentuh pahaku. Aku terkejut dan sege
i luar rok sekolahku. Aku merasa jijik dan takut, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Bus terus bergoyang, membuat tubuhku ikut bergerak. Pria itu memanfaa
tetapi sentuhan itu terlalu kuat. Aku mulai mengeluarkan suara-suara aneh, yang kutahan sekuat tenaga. Pria itu semakin berani. Ia meraba payudaraku
engan suara bergetar, namun suara
bisiknya di telingaku, mem
bisa menahan desahan, yang keluar begitu saja dari mulutku. Pria itu terus
h, tak mampu menahan sensas
iknya, semakin gencar
a bisa mengerang dan men
rus memanjakanku hingga aku mencapai klimaks berkali-kali. Setelah itu, ia
berusaha merapikan diri, tetapi tanganku gemetar. Setelah itu, aku keluar dari bus, berja
" tanyaku dalam hati, air m
ampainya dirumah aku langsung masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya. Aku merasa sangat k
*
emacam kerinduan aneh. Aku sendiri tidak mengerti mengapa bisa begitu. Keesokan harinya, dengan sengaja aku meng
yang sama, dengan harapan yang sama. Tapi, pria itu tak kunjung muncul. Aku mulai
epat ketika aku mulai melupakan kejadian itu, dia muncul lagi. Hari itu hujan deras, dan bus sedang sep
gi liar seperti waktu itu. Aku ragu sejenak, apakah harus mendekatinya atau tidak. Tapi, rasa penasaran
sapak
lat saat melihatku. "Kamu...?"
is. "Aku sering melihatmu di bus ini, tap
k enak badan," j
, hanya suara rintik hujan yang terdengar. Aku menatapnya, dan dia menatapku balik. Tatapan kami bertemu, dan
ucapnya tiba-tiba. "Aku tidak tahu apa y
idak menyangka dia akan meminta maaf. "Tidak apa-
aku, tapi bukan rasa jijik atau takut yang kurasakan. Ada rasa penasaran, bahka
dak takut denganku?"
k," jawabku jujur. "A
ipis. "Penasara
bku. "Tentang apa ya
hu," ucapnya. "Aku merasa seperti orang lain waktu itu. Aku... aku t
akukannya dengan cara
tidak tahu," jawabnya. "Ak
pi aku merasa ada sesuatu yang tulus dalam ucapannya. "
. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh," ucap
um. "Aku ju
dak lagi canggung. Ada semacam kehangatan dan ketertarikan yang mengalir di antara kami. Aku t
dan merasa nyaman satu sama lain. Ketika bus tiba di halte tujuanku, dia menawarkan untuk mengantarku pulang. A
mpatku dulu?" tanyanya tiba-tiba.
akut. Aku mengangguk lagi, dan kami berbelok ke sebuah gang kecil. Ru
i sofa, saling berhadapan, dan kembali melanjutkan percakapan kami. Waktu
menatap matanya, dan dia menatapku balik. Ada hasrat yang
in menciummu,"
ertemu, dan ciuman itu terasa lembut dan penuh gairah. Kam
ur. Kami saling melepaskan pakaian kami, dan tubuh kami bersen
m. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kuar
n?" tanyanya pelan, se
u berdebar kencang. "Aku yakin,"
mi bertemu, dan ciuman itu terasa lebih dalam, lebih penuh gairah dar
bisiknya di telingak
rih, tanganku mulai mel
hku, saat dia mul
nya, tangannya bergerak turun
lai mengerang. Dia tersenyum, lalu menciumk
mu," bisiknya di
idak sabar untuk meras
desah keras. Sensasi itu begitu nikmat, begitu memabukk
cepat," desahku, tid
ya, gerakannya semaki
atan yang membuat kami lemas. Kami berbaring dalam
encium keningku.
. "Aku tidak pernah meras
pi kami tidak bisa menahan diri. Kami terbawa oleh hasrat dan
u lagi," ucapnya,
bku. "Tapi, kita
awabnya. "Aku a
momen yang kami miliki bersama. Kami tahu bahwa ini mungkin hanya persinggahan, tapi kami