kancing kubuka perlahan, merasakan kain katun yang lembut itu meluncur turun dari tubuhku. Bra berwarna krem yang menopang payudaraku menyus
inggangku yang melengkung, lalu turun ke paha dan betis. Tiba-tiba, bayangan Meilani muncul di benakku. Aku masih ingat jelas momen saat kami berdua berdiri telanjang di depan cermin yang sama di kamar kosnya dulu. Payudar
lit yang halus dan hangat. Sentuhan itu mengirimkan sengatan geli yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuat bulu kudukku mere
pacarnya menjilati, menghisap, dan meremas payudaranya. Aku selalu menutup telinga, tapi entah ken
da putingku yang mulai terasa mengeras. Sentuhan ringan berubah menjadi sedikit tekanan, lalu sedikit cubit
ku terus membelai diriku sendiri, sesekali memijat lembut, sesekali mencubit gemas. Pikiranku dipenuhi bayangan tentang sentuhan-sentuhan yang perna
ebih seksama. Meskipun tidak sebesar milik Meilani, tapi kurasa cukup indah. Putingk
u cukup berisi. Aku masih ingat bagaimana Meilani pernah bercerita kalau Jimmy sangat suka memukul pelan bokongnya saat
an tubuhku yang paling intim. Sentuhan awal terasa sedikit basah. Aku memejamkan mata, menikmati sensasi geli yang menjalar. Ini bukan pertama kal
cil lolos dari bibirku. Sensasi yang kurasakan semakin intens, membuatku sedikit kehil
tu akhirnya datang. Tubuhku mengejang sesaat, lalu l
ibir sedikit bengkak, dan rona merah di pipi. Aku merasa sedikit malu, tapi juga sedikit... puas. R
kulitku dengan sabun beraroma lavender, mencoba menghilangkan jejak-jejak kebodohan pagiku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku
l sedikit berbeda. Mungkin, ini efek dari kebodohan pagi tadi. Atau mungkin, aku hanya ingin merasa sedikit lebih... menggoda. Siapa ta
EMPA
Meil
i
uspita. "Mei, gimana kabarmu? Maaf ya baru sem
rti kakak sendiri, meskipun usia kami tidak terpaut jauh. Aku merasa bersalah karena tidak me
Jimmy. Dasar aku memang bodoh. Bahkan saat ini, di pagi buta yang masih diselimuti kegelapan... Jimmy masih memompa t
langsung terbuka lebar, menatap langit-langit kamar apartemennya yang remang-remang. Sempat tadi aku berontak, mencoba mendorong bahunya yang kekar menjauh, namun lagi-lagi rasa nikmat itu menga
an sedikit protes yang sebenarnya basa-basi. Jantungku berdegup kencang, bukan hanya
gairah. Aku bisa merasakan seringai nakalnya di bibirnya, meskipun aku tidak bisa melihat
usukan Jimmy dengan hangat. Kutahan sekuat tenaga untuk tidak mendesah terlalu keras, takut membangunkan tetangga, nam
agi membendung luapan rasa yang menjalar
s. Tawa yang selalu membuatku kesal sek
ghujam dalam ke vaginaku, membelai dinding-dinding vaginaku dengan kasar namun memabukkan. Hanya desahan dan erangan tertahan yang lolos dari bibirku. Posisiku sek
pemandangan yang memabukkan, setidaknya untuk Jimmy. Aku bisa merasakan penis Jimmy menghantam titik terdalam di va
mengakui kenikmatan yang kurasakan. Mata terpejam, aku hany
iap sentuhan, setiap gesekan, terasa begitu intens. Sepertinya aku akan se
mbuatku semakin kehilangan kendali. Aku mencengkeram sprei denga
itu semakin mende
atapnya dengan bingung. Apa dia sudah keluar? "Please Jim, terusin..." pikirku penuh harap, merasakan