annya dari masalah rumah tangganya dengan Bima. Namun, perasaan kosong itu tetap ada. Rutinitas yang semula menjadi pelarian kini t
menjalin hubungan baik dengan banyak rekan kerja. Ada sesuatu tentang kehadiran Fajar yang berbeda. Dia perhatian, ramah, dan sel
eriksa beberapa laporan ketika Fajar
abar?" tanyanya sambil me
isa di wajahnya. "Pagi, Fajar. Baik, s
uk, ya? Tapi jangan khawatir, aku bawa amunisi,"
dengan rasa syukur. "Terima kasih, k
i beneran, kalau kamu butuh bantuan apa pun, bilang aja. Aku t
meja Sari berdering. Setelah beberapa detik b
n klien sore ini. Sepertinya kita akan kerja lebih dekat lagi h
n beberapa dokumen juga. Kebetulan, ini proyek pertam
aku senang bisa kerja s
rasakan saat bekerja dengan Fajar. Dia tidak hanya cerdas dan cepat tanggap, tapi juga membuat segalanya terasa lebih mudah. Set
kontribusi penting dalam diskusi, dan Sari merasa bahwa mereka berdua merupakan tim yang
r," kata Sari samb
persiapan kamu, kita nggak mungkin b
an halus antara mereka-sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Mereka diam-diam saling me
Fajar tak mau hilang dari pikirannya. Ketika lift sampai di lantai kantor, mereka melangkah keluar dan kem
selesai, Fajar menghamp
ini. Aku benar-benar belajar ba
lu rendah hati, Fajar. Kamu yang banyak memba
nada yang lebih lembut, "Dan... kalau kamu butuh teman bicara,
ebih cepat. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menyentuh perasaannya yan
wab Sari akhirnya, mencoba menjaga percakapan
, tapi di dalam dirinya ada badai kecil yang sedang terbentuk. Ia memikirkan Bima, memikirkan pernikahan mereka yang sem
mulai muncul di pikirannya: apakah ini hanya ketertarikan sesaat? Atau ada lebih dari sekadar perhatian yang Fajar tunjukkan? Dan yang lebih pentin
perti biasa. Ia melepas sepatu, menggantung tas, dan berjalan menuju ruang tengah. Televisi yang biasanya menyala, kini mati. Mej
enar merasa bahagia dalam pernikahan ini. Apakah sudah begitu lama hingga ia hampir lupa bagaimana rasanya? Dan, lebih mengkhaw
an. Nama **Fajar** muncul di layar. Jantungnya berdeb
, lalu mengangkat
baik aja setelah hari yang panjang tadi," suara Fajar terdengar han
jar. Aku baik-baik aja,
kamu benar-benar luar biasa hari ini," ujar Fajar, pujiann
. Aku senang kita bisa b
n dari Fajar. Bima adalah suaminya, dan ia masih ingin pernikahan ini berjalan baik. Namun, kenapa setiap
an?" tanya Fajar lagi,
sadar, lalu menyesali kata-katanya. Ia merasa terlalu terbuk
... kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, aku bis
un-tahun bersamanya tak pernah menyadari kesedihan yang ia rasakan? Tapi ini bukan hal yang bisa di
tahu harus mulai dari mana," akhirnya
siap. Tapi kalau kamu butuh teman b
ia merasakan ini dengan Bima. Semakin lama, Sari semakin sadar bahwa perhatian Fajar bukan hanya sekadar hubungan profe
ri pelan. "Aku hargai itu. Mung
u Sari tak bisa melihatnya. "Aku
lam diam, ia menatap cincin pernikahannya lagi. Cincin itu masih di jarinya, namun ikatan yang dulu begitu kuat kini terasa begitu rapuh. Ia tak b
rus berputar di benaknya. Apakah ia benar-benar bisa memperbaiki pernikahannya? At
n masuk. Dari Bima. Pesan singkat yang hanya menga
inya semakin berat. Malam itu, ia berbaring di tempat tidur, merenungi hidupnya yang ta
ambu