ggunung, pikirannya terus melayang kembali pada masa lalu. Siang itu, di ruang kerjanya yang sepi, Lina duduk di
pria yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya muncul kembali,
rsi. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya tenggelam ke m
kecil. Setiap sore, mereka selalu bermain bersama di taman dekat rumahnya. Taman kecil yang penuh dengan po
tika mereka berdua bersandar di batang pohon besar di sudut t
n senyum hangat khasnya. "Aku mau jadi petual
mau pergi jauh? Nanti siapa yang ak
nanti aku pergi, aku pasti bakal balik. Lagipula, kalau aku
di dadanya. Sejak dulu, Ivan adalah seseorang yang ia andal
ucapkan. Ketika SMA, Ivan mulai dikenal sebagai sosok yang populer di kalangan teman-teman mereka-tampan, cerdas, dan selalu
di pinggir kota yang ramai, Lina ingat betul percakapan mereka. Mereka
masa depan, Lin?" t
a menoleh, mena
setelah kita lulus nanti. Kamu bakal ke mana? Ak
selalu bersama, dan pikiran bahwa Ivan akan pergi membuatnya merasa hampa. "
sulit diartikan. "Lin, apa kamu pernah berpikir... kalau mung
nnya terhadap Ivan tak pernah diucapkan, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih di hatinya. Tapi pada saat itu, L
Mungkin," jawab Lina pelan
dan waktu berlalu begitu saja. Setelah lulus, Ivan benar-benar pergi ke luar negeri, dan mereka perlah
anya. Bagaimana jika saat itu ia menjawab berbeda? Bagaimana jika ia
g keseimbangan yang selama ini ia coba pertahankan. Ardi, yang dulu adalah sosok yang membuatnya jatuh cinta, kini tera
Ivan dulu? Pikiran itu t
u sisi, ia merasa bersalah karena memikirkan pria lain di luar suaminya. Namun, di sisi
a aku inginkan?" ta
ah yang berbahaya. Namun, perasaan yang muncul setiap kali memikirkan Iva
elnya dan menuli
nang bisa ngobrol lagi. Mungkin ki
bahwa pertemuan berikutnya dengan Ivan mungkin akan membuka lebih
us berputar, antara kenangan masa lalu dan realita yang ia hadapi sekarang. Ada sesuatu tentang Ivan yang menariknya kembali ke masa lalu, sebuah masa
kirimkan tadi hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang ia takuti sek
ya. Ardi duduk di seberangnya, tenggelam dalam ponselnya seperti biasa, tanpa ada percakapan di antara mereka. Mereka te
rcakapan. "Hari ini kam
, "Kerja, seperti biasa. Ada meeting penting s
ai mendingin. Ia menunggu Ardi menanyakan rencananya, atau mun
ya meletakkan ponselnya dan me
egitu antusias. "Aku ada beberapa pekerjaan di kantor, dan mungkin mau k
k banyak bereaksi. "Oke, ja
dan Lina hanya bisa termenung. **Inikah yang disebut pernikahan?** batin
erasaan yang selama ini terkubur kembali muncul ke permukaan. Setiap detik yang ia habiskan be
eka baru berusia sepuluh tahun, dan Ivan baru saja mendapatkan sepeda baru dari oran
cil tempat mereka tinggal. Lina masih bisa merasakan angin lembut yang meniup rambutnya, tawa Iv
ak kamu keliling dunia, Lin," kat
ecil saat itu. "Ya,
pergi melanjutkan studi di luar negeri, sementara Lina memilih kuliah di kota yang sama dengan keluargan
takdir sedang mempermainkannya. Bagaimana jika ia memilih Ivan dulu? A
an masuk. Lina membuka pesan itu,
tepat. Ngobrol sama kamu kemarin bikin aku banyak ingat masa
dulu kita nggak pernah bicarain. Seolah-olah Ivan sedang m
kini berada di persimpangan besar dalam hidupnya. Apakah ia akan membuka pintu itu dan membiarkan kenangan masa lalu k
n itu, suara panggilan telepon dari su
n nggak bisa pulang cepat.
formal seperti telepon bisnis semakin membua
alam hatinya, ia bertanya-tanya apakah
agi, melihat pesan Ivan yang masih menunggu balasan. Taampur aduk, Lina
um selesai, Ivan. Mungkin kita harus bicara
tahun-tahun terhadap Ivan tidak lagi bisa ia abaikan. Masa lalu mereka tidak hanya
ambu