g, namun hatinya terasa kosong, seperti ada ruang yang hilang dari dalam dirinya. Sudah sepuluh tahun ia menikah dengan Ardi, lelaki
Tawa mereka selalu menghiasi rumah, dan Ardi selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. "Kamu satu-satunya," kata-kata Ardi yan
kantor. Pada awalnya, Lina mengerti. Setiap kali Ardi berkata sibuk, ia selalu berpikir bahwa ini hanyalah fase ya
buka percakapan, Ardi selalu terburu-buru mengakhiri, mengatakan bahwa dia lelah dan hanya ingin beristirahat. Begitu banya
berbicara?" tanyanya pada diri sendiri. Rasa sepi mulai merasuk lebih dalam, menggantikan semua kenangan manis yang dulu m
asa hampa. Meski ia masih mencintai Ardi, ia tak bisa memungkiri bahwa hatinya terasa kosong. Ada jarak yang perlahan tercipta di anta
ng. Lagi-lagi alasan sibuk menjadi tameng untuk setiap kepergian Ardi. Perlahan, Lina mulai bertanya-tanya, apa y
rdi tak lagi mencintainya seperti dulu. Tapi, ia menolak menyerah. Di balik semua keraguan dan rasa sepi, Lina masih berharap. Masih ada sedikit keyakinan da
atau panggilan dari Ardi, meski ia tahu bahwa harapan itu akan berakhir sia-sia. Di teras yang sunyi, hanya desiran angin yang me
. Detik berikutnya, Ardi muncul di pintu, wajahnya lelah, matanya terlihat sedikit sayu. Tanpa banya
na pelan, mencoba
menoleh dengan mata s
n pertanyaan itu terasa sia-sia. Waktu
rdekat. Ada jeda hening yang menggantung di udara, dan Lina merasa perih. Dulu, setiap kali Ardi p
i. Apa ada masalah di kantor?" L
b, "Iya, banyak proyek yang harus diselesa
h meskipun berdiri hanya beberapa langkah di depannya. "Kita ja
ri tatapan Lina. "Aku lelah, Lin. Mungkin kita bis
ni. "Kamu selalu bilang begitu," katanya pelan, nadanya hampir putus asa. "Kapan kita akan
ng sulit diartikan. "Apa lagi yang mau dibicarakan? Aku kerja
gemetar. "Aku butuh kamu di sini, bersamaku. Kamu tahu rasanya nggak pernah tahu kapan ka
tekan. "Aku capek, Lina. Aku nggak tahu apa lagi y
ayang di sudut matanya. "Aku mengerti kamu capek, Ardi. Tapi apa
ua. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak, seol
rkata, suaranya rendah. "Semua ini akan
rus bertahan dengan perasaan seperti ini?" Lina tak bisa lagi menahan emosinya
tahu harus berbuat apa. "Lina... aku nggak tahu," ja
eka. Pintu kamar tertutup dengan suara yang berat, meninggalkan Lina se
eras terdengar di keheningan malam. Ia tidak pernah menyangka bahwa sepuluh tahun
ap hari, ia menanti Ardi pulang, berharap suaminya akan duduk bersamanya, bercerita tentang pekerjaannya, atau s
di belakang rumah mereka, taman yang dulu mereka rawat bersama. Kini, tanaman-tanaman itu
kali pindah ke rumah ini, saat segala sesuatu terasa seperti mimpi indah yang tak akan pernah be
h ponsel dan melihat nama di layar-**Ivan**. Sebuah nama yang baru saja muncul k
at telepon ini, atau membiarkannya berdering? Dengan terang sana, lembut namun terdengar
masih terdengar bergetar. "Aku... aku nggak tahu, Ivan. Aku
waktu kita ketemu kemarin," jawab Ivan, nadanya
makin memburuk, tentang perasaannya yang makin tak terarah? Ivan bukan orang asing. Mereka pernah dekat, pernah memiliki hubungan emosional ya
. Ardi, dia-dia bukan lagi orang yang sama. Kami jarang berbicara, dan ak
selalu ada kalau kamu butuh seseorang untuk bicara. Aku tahu
lama mengungkung Lina. "Terima kasih, Ivan. Aku... a
mendengarkan. Kalau kamu ingin cerita lebih banyak
angatan dalam suara Ivan membuatnya merasa lebih nyaman, lebih didengar, sesuatu yang sudah
ik, hampir tak terdengar. "Aku nggak mau kehilangan pernikahan ini
eri ruang pada diri kita untuk merasakan, untuk merenung, sebelum kita bisa
hatinya. Mungkin benar, ia perlu waktu untuk memahami apa yang ia rasakan, untuk memutuskan apa yang sebaiknya
ba," kata Lina akhirnya, berusaha menutup
kapanpun kamu butuh, ya?" kat
kannya, dan rasa bersalah karena perasaannya terhadap Ivan mulai tumbuh kembali. Malam itu, Lina merasa lebih terombang-ambing
ambu