Amber melempar sweater
Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya na
sik ketenanganmu lagi. Berbahagialah
iannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pi
il berkedip lambat. "Baguslah. Dengan begitu, aku tida
di sana, ia membuka kotak merah lalu menyempal sweater putihnya ke
dalam sana," gumamnya sebelum me
uk ditebak. Apakah pria itu memikirkan teh yang akan diseduhnya? Ketenangan yang ia rindukan selama 24 jam terakhir? Atau
seraya menjepit pangkal hidung. "Baga
r. Selang beberapa saat, ia mulai menembus salju menuju jalan beraspal.
*
menyeka hidungnya yang merah. Bukannya menemukan rumah penduduk, ia malah tiba
ahaya hijau sedang menari-nari di antara bintang.
aku hidup? Karena itukah Tuhan memperlih
enurunkan pandangan. Sesaat kemudian, tatapannya
u! Apa
la. Sinar yang diperhatikannya tampak bergerak-gerak.
ang akan menyelamatkank
. "Hei!" teriaknya sembari melambai. Ia ingin berbicara lebih panjang, tetapi ene
bunan salju mendadak hilang dan permukaan danau hanya tertutupi lapisan es tipis. Begitu ia menginjakny
gerak-gerakkan badan, ia mencari pijakan. Akan t
am. Malangnya, rasa dingin telah membekukan otot. Tanganni padaku?" pikir wanita itu sambil ber
ga bergerak maju. Mantelnya yang
k. Bibirnya yang membiru mulai sulit digerakk
jarang keluar mengambil udara. Tak berapa lama, Amber kehabisan te
ergegas menggigit senter dan menjatuhkan mantel. Kemudian, dengan cekatan, pria itu meraih tangan yang masih
nya seraya menepuk-ne
endekatkan telinga ke hidung Amber. Wan
aw
uatan. Beruntung, Amber akhirnya terbatuk-batuk. Den
amat tanpa sadar. Dengan lembut,
kembali berbaring dengan mata terpejam. Kepala yang terasa berat dan tubuh yang menggigil membuatnya
Aku harus melepas
a mata. Namun, belum sempat ia menjawab, Tuan
alis. Ia ingin menghalangi tangan sang pr
idak bisa melihat," bohong sang pr
ngin memakaikan mantel lain di tubuhnya, ia hanya tertunduk.
jelas Tuan Dingin di sela desah napas yang bergemuruh. Sedeti
ingkuk menghadap pemanas. Meski suhu di dalam pa sang pria sembari menamb
ut Amber
. Begitu menyentuh kulit yang sedingin salju, ia bergegas memb
ncengkeram mantel yang membungkus t
ik selimut dari sofa dan ikut berbaring mi
a yang redup tampak begitu dingin dan menusuk. "Aku sudah berjanji untuk tidak mengg
ak menahan napas. Untuk pertama kalinya dal
sik apa pun di rumahmu." Setelah menyeka air mata yang mengalir di pelipis, Amber terpejam dan memeluk diri leb
engenakan pakaian. Dari sofa tidurnya, laki-laki itu memperhatikan punggung yang terus bergetar. Ia tidak berani merapatkan mata