"Dua hal kebahagiaan yang kupunya, telah kamu ambil. Apa itu belum cukup jika aku adalah selanjutnya?" tanya anak itu sambil duduk menengadah, seulas senyum terbit dengan tatapan mengejek. Ia sudah tak sanggup berdiri, tubuhnya penuh memar, kekuatan yang tersisa masih disimpannya untuk hari esok. Akankah ada hari esok? Entahlah .... Hari esok yang penuh misteri selalu diharapkan oleh mereka yang menginginkan masa depan. "Jika, ya? Apa yang akan kamu lakukan?" "Apa kamu akan kabur?" "Atau menangis seperti hari ini?" "Bocah tau apa? Harusnya kau bersyukur masih bisa hidup enak!"
Penyesalan datang setelah semua kesempatan habis. Perasaan saat lenyapnya nyawa dalam raga ketika manusia tak sengaja berbuat ceroboh. Saat mata sang bidadari tertutup bersamaan dengan lisannya yang cerewet diam untuk selamanya.
Penyesalan itu semakin menumpuk. Menjadi gunung yang suatu saat akan meletus. Mengeluarkan semua yang terpendam. Di mana rasa kecewa, cinta, obsesi, keluar menjadi sebuah alasan pembelaan diri.
Pemuda berkulit eksotis itu bukan seorang atlet, ia adalah perampok sekaligus pembunuh berantai. Tubuhnya diikat di kursi besi dengan kabel terbuka yang terhubung pada kursi besi itu. Jika saja ia menjawab salah, atau berkilah, aliran listrik akan menyengat tubuhnya. Ia duduk di bawah sinar lampu putih, sorot matanya menatap penuh kebencian pada seorang detektif di depannya.
Rusli, pria tambun itu menghela napas panjang. Ruang sempit yang sering dikunjungi bersama para narapidana itu seakan menyerap oksigen yang dibutuhkannya. "Kamu orang aneh," ucapnya sambil terkekeh, terdengar seperti ejekan. "Bagaimana cara berpikirmu, anak muda? Bagaimana ibumu bisa bahagia jika anak satu-satunya begini?"
"Diam kau, bangsat!"
Rusli terdiam sejenak, ia menatap datar ke arah pemuda itu beberapa detik, lalu tersenyum ramah.
"Rupanya aliran listrik yang menyengat tubuhmu seperti sebuah kemoceng yang menggelitik, ya?" Rusli menatap pemuda di depannya sambil tersenyum.
"Apa yang kau inginkan sebelum sidang terakhir dilaksanakan. Kamu tahu, tidak ada kesempatan saat itu! Dan hukuman mati adalah hal pasti." Rusli berkata dengan tegas. Ia mulai berdiri. Remot kontrol berukuran kecil yang sedari tadi ia pegang, segera dimasukan ke dalam saku.
Raut wajah yang sedang marah itu perlahan melunak, wajahnya ditekuk dengan mata yang mulai berembun. "Pulang," jawab pemuda itu dengan suara parau.
Rusli memalingkan wajah sambil menahan tawa. Lalu ia mencondongkan tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada meja kayu yang dingin, ia menatap ke arah pemuda di depannya. "Kalau begitu, banyak-banyaklah berdoa!" Rusli kembali berdiri tegak, lalu beranjak meninggalkan ruang interogasi.
Dalam kesendirian yang hanya beberapa menit saja, pemuda itu tersenyum tipis. "Bagaimana bisa Tuhan mengabulkan doaku, hidupku saja sangat jauh darinya."
Dua orang petugas masuk dan melepas rantai yang mengikat tubuh pemuda itu pada kursi besi, tapi tidak dengan borgolnya. Sipir penjara itu sikapnya sangat dingin, setiap ucapannya yang keluar bagaikan petir.
"Jalan!" titah salah satu sipir penjara. Pemuda itu berjalan dengan tenang menuju sel tempat ia ditahan. Melewati lorong gelap yang di kiri dan kanannya adalah para tahanan di balik jeruji besi, lalu melewati lorong temaram yang sepi dan dingin. Lorong bawah tanah, lembab dan sesak.
Pintu besi yang berlapis itu dibuka, pemuda itu masuk tanpa menunggu disuruh. Ruangan yang ia tempati sangat sempit, hanya cukup untuknya duduk dengan kaki menjulur. Sementara tinggi ruangan tersebut tiga kali lipat dari tinggi badannya yang hanya 187cm.
Pemuda itu menengadah ke arah langit-langit, matanya menatap ke sudut kanannya, di sana ada ventilasi, sempit dan tak mungkin diraih. Kedua tangannya mengepal, matanya sulit untuk dipejamkan kemudian memerah, bibirnya berkedut dan akhirnya melukiskan senyum serta air mata yang mengalir deras.
Pemuda itu bernama Fauzan, seorang narapidana atas kasus pembunuhan berantai serta perampokan. Sebenarnya, cukup sulit untuk polisi menangkapnya. Jejaknya selalu terhapus. Namun, saat terakhir ia melakukan perbuatannya, saat itulah nasib sialnya. Atau mungkin, dia berniat mengakhiri perbuatannya. Karena pada saat ia ditemukan, ia sedang duduk terkulai di hadapan seorang gadis.
Fauzan menghela napas berat. Ia mengubah duduknya menjadi duduk jongkok menghadap tembok, tangannya mendekat ke dinding yang cat putihnya sudah menguning. Tangannya bergerak, menempelkan besi borgol ke dinding, lalu membuat coretan-coretan abstrak. Jika dilihat lebih dekat, itu adalah gambar yang sudah ia buat selama satu tahun di penjara sempit ini. Fauzan melanjutkan karya seninya itu sambil tersenyum getir.
Setiap coretan abstrak itu memiliki arti dan ceritanya masing-masing. Fauzan selalu bergumam saat mencoret dinding yang dingin itu. Gumaman yang jika didengarkan dengan baik merupakan ceritanya sendiri. Cerita yang mungkin ingin ia bagi, meski hanya dirinya sendiri sebagai pendengar yang baik.
"Anak muda yang malang," ucap sebuah suara berat.
Fauzan yang sedang berkutat dengan coretannya dan menggumamkan cerita itu segera menoleh ke belakangnya. Lalu memindai sekeliling ruangan sempit itu. Tidak ada siapapun di sana. Ia tersenyum getir, lalu kembali menatap tembok yang sudah ia coret.
"Memaafkan masa lalu itu tidak mudah, tapi berusahalah." Suara itu kembali muncul.
Fauzan bergeming, ia menghentikan kembali aktivitasnya. Namun, kali ini ia tidak menoleh ke belakangnya. Ia pikir, mana mungkin ada orang lain di ruangan isolasi ini.
"Kamu siapa? Apa hanya halusinasiku saja?" tanya Fauzan menatap dinding yang hanya berjarak dua puluh senti itu.
"Aku? Bisa saja dirimu, atau apapun yang ingin kamu anggap."
Fauzan menyunggingkan senyum tipis. Kini ia berdiri lalu memutar badannya. Kembali ia memindai ruangan sempit tempatnya berdiri. Tidak ada siapapun selain dirinya di sini.
"Jangan bercanda!" teriak Fauzan frustrasi.
"Aku tidak bercanda. Oh, bukannya dunia hanyalah sebuah panggung sandiwara? Bagaimana kalau aku menawarkan sesuatu yang menarik untukmu?" Suara itu menggema di ruangan sempit. Fauzan menelisik ruangan yang dingin dan pengap itu. Ia mencari sosok yang terus mengajaknya bicara.
"Kau masih saja mencariku, apa kau ingin melihatku?" tanya suara itu.
Fauzan tak memedulikan pertanyaan dari suara itu. Ia mencoba mencari suara tanpa sosok yang berputar di kepalanya.
"Ah, baiklah. Aku di sini!" serunya.
Fauzan segera menoleh ke arah kanan dari tempatnya berdiri. Tempat asal suara itu berada.
Sosok bening perlahan muncul dari dinding yang bercat putih pudar. Sosok itu membentuk wajah dengan tubuh seperti manusia. Berdiri sejajar dengan Fauzan. Rambutnya hitam kemerahan, warna kulitnya putih kemerahan. Matanya hitam pekat menatap Fauzan. Ia tersenyum lebar, menimbulkan lesung pipit di sisi kanan pipinya.
Fauzan menatap sosok itu. Ia seolah sedang bercermin. Hanya saja sosok itu tak diborgol seperti dirinya.
"Aku sudah bilang, bahwa aku adalah dirimu!" ucapnya sambil menunjukan jari telunjuknya ke arah Fauzan.
Fauzan masih bergeming. Sedetik kemudian ia tersenyum mengejek. "Tak mungkin!" gumamnya sambil memalingkan wajah. "Apa yang kau tawarkan itu?" tanya Fauzan dengan nada pelan.
"Mencari anak kunci di tumpukan jerami."
"Hahaha! Konyol!" umpat Fauzan. Lalu ia tertawa tanpa henti.
"Ayolah. Bukannya kamu kangen pada sosok ibumu?"
Fauzan menoleh ke arah sosok itu. "Bercandamu tidak seru."
"Baiklah. Nikmati masa-masa terakhirmu sebelum hukuman mati di mulai." Sosok itu perlahan memudar. Luruh seperti kertas puzzle yang berhamburan. Senyumnya masih terlukis.
Fauzan menghela napas. "Baiklah, aku mau dengan tawaranmu itu," gumam Fauzan.
Sosok itu tersenyum lebar. Lalu lenyap menjadi tumpukan kertas puzzle dan berserakan di lantai yang dingin. Kertas itu memudar, menimbulkan semburat cahaya yang menyilaukan.
Fauzan berusaha menutupi pandangannya dari cahaya yang menyilaukan itu. Namun, tanpa ia sadari, tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai. Matanya terpejam dengan tubuh tengkurap.
"Apa yang kau sesali? Sejauh mana penyesalan itu sehingga memaafkan begitu sulit? Ayo kita kembali, kembali mengingat di mana kejadian itu dimulai. Akar dari sebuah kekecewaan. Kau akan merasakan sakit yang bertubi-tubi, tapi nikmatilah! Hal ini tak akan terulang dua kali. Jika kamu sudah menemukan kunci itu, cari tahu namaku, dan kamu akan tersadar kembali. Dan bila kamu tidak berhasil mengetahui namaku, kamu akan mati. Satu hal yang perlu kamu ingat baik-baik. 'Jangan mengulangi kesalahan yang sama'. Mulai sekarang, ingatanmu kuhapus semua!" Suara itu menggema kembali, lalu bernyanyi. Membuat kesadaran Fauzan perlahan menghilang.
Nina bobo ooo nina bobo.
Bobolah yang nyenyak, sampai sakitmu hilang ....
warning! Zona 21+, anak kecil jangan mendekat! "Dia bukan Tuan Muda, melainkan Bayi Besar yang manja dan menyusahkan!" Mona Latea, harus menggantikan Kakaknya, karena ELisa tidak menyetujui untuk dijodohkan. Bekerja tanpa digaji? nasib sial itu harus ia terima.
Cerita ini 18++ Tidak untuk anak kecil. Mohon bijak dalam memilih bacaan. Sheril, Gadis cantik berusia 25 tahun. Berstatus jomblo sejak lahir. Kehidupan di dunia kerjanya yang mengharuskan ia pulang malam, pun menjadi bahan gosip ibu-ibu di komplek 14. Di luar dugaan, dia adalah wanita yang dikelilingi pria tampan. Rey teman kerjanya, Vero pekerja baru dan Tedi yang merupakan tetangganya. Namun, Sheril memilih Anon sebagai pacarnya. Padahal Anon hanya sebuah nama akun di aplikasi Minsta. Seseorang yang belum ditemuinya. Apa alasan Sheril memilih Anon? Siapakah seseorang pemilik akun Alnonim itu?
Arsyla adalah seorang wanita berumur 23 tahun, dan dia sudah memiliki suami yang bernama Edi. Usia Edi terpaut 3 tahun lebih tua dari Arsyla. Meski pernikahan mreka sudah beranjak 2 tahun, tetapi mereka belum di karuniai seorang anak. Edi maupun Arsyla tidak memusingkan akan hal itu, karna menurut mereka ekonomi keluarga harus bagus terlebih dahulu. Edi yang hanya bekerja sebagai OB di salah satu supermarket, dengan gajih pas-pasan masih harus menanggung kebutuhan sekolah adik adik-nya yang yatim, dan Arsyla pun tidak keberatan dengan keputusan itu. Sore itu Edi baru pulang dari kerja, iya pulang ke kontrakan yang dia tinggali bersama arsyla. Walaupun kontrakannya
Julita diadopsi ketika dia masih kecil -- mimpi yang menjadi kenyataan bagi anak yatim. Namun, hidupnya sama sekali tidak bahagia. Ibu angkatnya mengejek dan menindasnya sepanjang hidupnya. Julita mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua dari pelayan tua yang membesarkannya. Sayangnya, wanita tua itu jatuh sakit, dan Julita harus menikah dengan pria yang tidak berguna, menggantikan putri kandung orang tua angkatnya untuk memenuhi biaya pengobatan sang pelayan. Mungkinkah ini kisah Cinderella? Tapi pria itu jauh dari seorang pangeran, kecuali penampilannya yang tampan. Erwin adalah anak haram dari keluarga kaya yang menjalani kehidupan sembrono dan nyaris tidak memenuhi kebutuhan. Dia menikah untuk memenuhi keinginan terakhir ibunya. Namun, pada malam pernikahannya, dia memiliki firasat bahwa istrinya berbeda dari apa yang dia dengar tentangnya. Takdir telah menyatukan kedua orang itu dengan rahasia yang dalam. Apakah Erwin benar-benar pria yang kita kira? Anehnya, dia memiliki kemiripan yang luar biasa dengan orang terkaya yang tak tertandingi di kota. Akankah dia mengetahui bahwa Julita menikahinya menggantikan saudara perempuannya? Akankah pernikahan mereka menjadi kisah romantis atau bencana? Baca terus untuk mengungkap perjalanan Julita dan Erwin.
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Novel Ena-Ena 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti CEO, Janda, Duda, Mertua, Menantu, Satpam, Tentara, Dokter, Pengusaha dan lain-lain. Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."
Luna tidak pernah menyangka bahwa cinta pertamanya harus berakhir tragis. Reno, pria yang dia cintai ternyata adalah calon kakak tirinya. Romansa yang baru akan dimulai itu pun seolah pupus dalam sekejap. Kendati begitu, cinta yang menggebu antara Luna dan Reno tak dapat dihentikan begitu saja. Mereka memilih berjalan di atas bara api, meski tau perlahan-lahan terbakar bersama. Jika hubungan terlarang diantara mereka terungkap, akankah mereka bisa terus bersama? Dan bagaimana nasib Luna ketika dia harus merelakan masa depannya karena mengandung buah dari hubungan terlarang mereka?