Jalan masuk desa Kayu Dawung yang rusak menjadi awal sebuah kisah panjang tentang keserakahan, ketamakan, kedengkian, cinta dan juga sihir yang begitu panjang. Jalan yang rusak itu mempertemukan begitu banyak jiwa dan ruh yang tak pernah mengenal sebelumnya.
Rani menyesal tidak menuruti nasihat ibunya untuk tidak pergi ke rumah paman terlalu sore. Tapi Rani ngeyel. Demi mengambil oleh-oleh lumpia basah dari Semarang, Rani langsung bergegas menuju ke rumah pamannya, padahal ketika berangkat tadi sudah hampir jam lima sore.
Rumah pamannya tidak jauh, sih, hanya sekitar seperempat jam dengan mengendarai motor. Tapi lihat hasilnya sekarang.
Rani terjatuh dari motor, celananya kotor, motornya lecet, kakinya sedikit berdarah, sepertinya tidak terlalu parah.
Tapi menjelang maghrib begini tidak ada orang yang berada di luar dan membantunya. Rani hampir menangis.
Untunglah ada seorang pria yang nampaknya baru pulang dari sawah. Dia segera membantu Rani.
"Nggak papa, mbak?" tanya pria itu.
Rani menggelengkan kepalanya.
"Kayaknya nggak papa, mas," jawab Rani.
Pria itu memperhatikan Rani menggerak-gerakkan pergelangan tangannya.
"Bisa naik motor? Apa saya antar ke rumah bu bidan? Nggak jauh, kok, dari sini?"
Rani langsung menggelengkan kepalanya. Gawat! Jangan sampai diperiksakan, dia takut jarum suntik.
"Atau saya antar, mbak?" tanya pria itu.
Rani menggeleng lagi.
"Insya Allah nggak papa, mas. Insya Allah saya bisa bawa motor sendiri, rumah saya deket, kok," jawab Rani, dia harus buru-buru pulang, ibunya pasti kebingungan.
"Oke, deh, kalau begitu," jawab pria itu, "Eh, tunggu, mbak! Ini tasnya ada yang jatuh!" Kata pria itu mengambil sebuah tas plastik dari tanah.
Rani menerimanya dengan suka cita. Aduh! Hampir saja lumpia basah penuh perjuangannya ketinggalan. Rani meringis sendiri, dan segera berpamitan, karena kumandang adzan maghrib sudah terdengar di kejauhan.
****
Rani sampai di rumah setelah maghrib. Dia langsung mandi dan mengambil air wudhu dan sholat maghrib di kamar. Alhamdulillah bapak dan ibunya masih di masjid, jadi tidak dimarahi karena pulang sore.
"Ran! Kamu sudah pulang?"
"Sudah, bu!"
"Paman gimana, sehat, kan?"
"Iya, bu. Alhamdulillah."
"Besok lagi kalau mau ambil oleh-oleh jangan sore-sore, ya, Nak?"
Rani mengangguk sambil tersipu malu. Malu mengakui kalau nasihat ibunya itu benar semua.
Rani segera mengambil kantung plastik berisi lumpia basah tadi. Dia keheranan ketika ada dua buah kantung plastik di motornya.
"Loh, kok ada dua? Tadi kan dikasih paman cuma satu?" gumam Rani penasaran.
Rani langsung membuka kedua kantung plastik itu. Yang satu memang isinya benar lumpia basah, yang membuat Rani rela jatuh dari motor.
Kantung yang kedua dibuka.
"Astaghfirullah!" seru Rani, "kok daun kering, sih? Nggak bener, nih, paman!" gumam Rani lagi. Tanpa basa basi dia langsung membuang kantung plastik itu ke tempat sampah dan masuk ke dalam rumah.
Dia melupakan kantung plastik berisi daun kering itu.
****
Nun jauh di suatu tempat. Seorang pria terhenyak. Korbannya kali ini seorang yang taat beribadah. Gagal rencananya mendapat tumbal. Dia harus mencoba lagi. Malam itu dia sengaja keluar dan menggali jalan di depan rumahnya, untuk menjebak kendaraan kecil seperti motor, agar jatuh atau terpeleset di sana, dan dia bisa mendapatkan tumbalnya.
****
Hujan mengguyur desa Kayu Dawung sejak pagi. Pak Kades pusing. Begitu banyak jalan yang rusak dan berlubang di desanya. Beberapa warga telah melapor banyak terjadi kecelakaan kecil karena jalan yang berlubang itu. Dia harus segera bertindak. Besok dia akan merapatkan semua keluhan warga dengan stafnya.
"Pak! Pak Kades! Ada laporan warga yang hilang!" teriak pak Carik dari luar. Seluruh tubuh pak Carik basah kuyup. Dia tidak mau masuk, hanya menunggu di teras.
Pak Kades segera keluar menemuinya.
"Siapa, pak?"
"Saya kurang tahu namanya, tapi dia warga Kayu Gintung. Dekat rumah pak Kades," jawab pak Carik.
Pak Kades terperangah. Ini kali kedua warga di daerahnya menghilang. Mereka berdua berpandangan dalam diam.
"Saya pulang dulu saja, pak. Mau ganti baju, sekalian mau pamit pulang lebih awal," kata pak Carik memecah kesunyian.
Pak Kades mengiyakan. Memang kasihan melihat pak Carik yang basah kuyup seperti itu. Lebih kasihan lagi kalau pak Carik disuruh kembali ke kantor, bisa masuk angin nanti.
Setelah pak Carik pergi, Pak Kades pun segera masuk lagi ke dalam kantornya, cuaca semakin memburuk. Hujan angin bertambah deras. Pak Kades ingat rumahnya sendiri, dia berdoa semoga tidak bocor.
***
Kabar hilangnya pak Trubus menyebar dengan cepat. Warga berkumpul di rumah pak Trubus sore itu, setelah hujan reda. Halaman rumah pak Trubus yang becek dan licin tidak menyurutkan niat warga untuk membantu keluarga pak Trubus.
"Bisa cerita lagi, Mak, kejadiannya awalnya gimana?"
Mak Irah, istri pak Trubus pun mulai bercerita.
"Setelah mbantu aku menata dagangan di pasar, pak Trubus bilang mau ke bank. Alhamdulillah ada rejeki kemarin," kata mak Irah.
"Aku sempet tanya rejeki apa, dia bilang sudah dibayar oleh juragannya. Aku mikirnya tumben amat uang bayaran di tabung, biasanya dikasihkan aku semua. Waktu hujan mulai turun, kira-kira jam sepuluhan, dia bilang ada kerjaan sama Kardi, terus bilang nggak bisa bantuin saya pulang. Habis itu sampai sekarang belum pulang juga. Waktu aku nanya Kardi, katanya dia nggak pernah ngajak pak Trubus buat kerja bareng, karena pak Kardi juga lagi nggak ada kerjaan," cerita mak Irah panjang lebar.
Orang-orang berpandangan.
"Si Kardi di mana sekarang?" celetuk seseorang.
"Kardi lagi di tanyain pak polisi terkait kasus ini," jawab pak Kades yang langsung ke rumah pak Trubus setelah pulang dari kantor.
Orang-orang bergumam dan bercakap-cakap dengan suara rendah. Mereka saling bertanya kemana gerangan pak Trubus. Sebenarnya cukup mengkhawatirkan seandainya pak Trubus pergi jauh, karena dia sudah tua, tidak biasa pergi jauh, apalagi sampai ke luar desa atau ke kota sendirian tanpa teman. Mak Irah nampak sangat lelah dan sedih. Dia memang tidak menangis histeris, dia beberapa kali mengusap air matanya. Anak-anak pak Trubus yang tinggal di kota sudah berdatangan, berinisiatif melapor ke kantor polisi dan aparat desa setempat.
"Mak Irah, saya pamit ganti baju dulu, ya, Mak. Nanti saya ke sini lagi," kata pak Kades pamit pulang. Rasanya kurang pantas berlama-lama di sini.
"Iya, pak. Matur nuwun pak Kades," jawab Mak Irah.
Salah seorang anak pak Trubus mengantarkan pak Kades keluar.
"Pak, menurut pak Kades, bapak saya ke mana, ya? Bapak kayaknya nggak pernah ada masalah sama emak," kata Indro dengan sedih.
"Sabar, ya, Ndro. Memang biasanya bapakmu nggak pernah nganeh-nganehi. Biasanya ya biasa saja, sering bareng ke musholla, sering ngobrol masalah desa juga. Aku kaget denger yang hilang itu bapakmu," jawab pak Kades menghibur.
"Apa ke rumah gendaane (gundik), ya pak?"
Pak Kades kaget.
"Halah! Pikiran apa itu, Ndro? Jangan suudzon." tegas pak kades.
Indro hanya tersenyum tipis. Tapi dia lebih berharap bapaknya pergi ke rumah wanita lain, daripada tidak jelas seperti ini.
***
Malam hari Kayu Gintung hujan lagi, bahkan lebih deras daripada tadi siang. Semua orang lebih memilih berada di dalam rumah daripada membantu mencari pak Trubus yang hilang. Keluarga pak Trubus benar-benar sedih.
Tapi nun juah di sana, seorang pria tersenyum lebar dan sangat berbahagia melihat sebuah karung teronggok di tengah kamar kosong di rumahnya. Berarti tumbalnya sudah diterima oleh para penghuni curug.
Pria itu membuka karung itu dengan hati-hati. Ketika melihat isinya, senyumnya tambah lebar. Uangnya bertambah sekarung lagi.
****
Pak Kades baru saja menuruni satu anak tangga musholla, ketika mendengar seseorang berteriak.
"Pak Trubus ketemu! Pak Trubus ketemu!" teriak orang itu sambil berlari ke rumah pak Trubus. Segera saja terjadi keributan, karena orang-orang berlarian ke rumah pak Trubus, termasuk pak Kades.
Di sana sudah ramai warga yang berdatangan. Mereka kebanyakan penasaran dan ingin tahu kondisi pak Trubus. Banyak gumaman yang mengatakan pak Trubus tenggelam di sungai, ada yang bilang pak Trubus ditemukan tersangkut di pohon bambu. Belum ada yang tahu mana yang benar.
Pak Kades merangsek ke depan. Orang-orang segera memberi jalan.
"Polisi sudah dipanggil?" tanya pak Kades pada beberapa orang.
"Sudah, Pak. Mereka langsung ke sini," jawab Marwan.
"Siapa yang menemukan pak Trubus?" tanya seseorang.
"Saya, pak," jawab seseorang di tengah keramaian. Secara perlahan orang-orang diam, dan mencari sumber suara.
"Lho, kamu Nang?" teriak pak Kades.
"Njih, pak. Ketika saya hendak berangkat ke sawah saya menyebrangi sungai perbatasan, waktu saya sudah sampai di tepi sungai saya melihat jenazah pak Trubus disampirkan di batang pohon bambu," jelas Nanang, keributan tercetus lagi.
"Sungai perbatasan Kali Kuning, Nang?" tanya pak Kades.
"Iya, pak," jawab Nanang lagi.
"Wah, Kali Kuning, kan sungainya angker, pak Kades!"
"Wah, digondol wewe itu."
"Bener! Pohon bambu kan, rumahnya wewe."
"Astaghfirullah! Kok bisa, ya orang tua digondol wewe. Biasanya kan, anak-anak."
Gumaman itu meluas, seperti suara dengungan lebah. Pak Kades tak kuasa, dia segera masuk ke dalam rumah.
Jenazah pak Trubus yang ditutup kain seadanya terlihat sudah menggelembung, mungkin sudah sejak kemarin siang atau sore dia tenggelam. Baunya sudah busuk.
Mak Irah pingsan di kamar, ditemani beberapa tetangga dan anak perempuannya. Yang menunggui jenazah pak Trubus hanya Indro dan Suryo, anak pak Trubus.
Ketika melihat pak Kades, Indro langsung bangkit.
"Pak, kami ingin memandikan jenazah bapak," kata Indro.
Pak Kades mengangguk.
"Tunggu sebentar, ya, Ndro. Kita tunggu pak polisi dulu sebentar," jawab pak Kades. Indro mendesah dan terduduk lemas lagi.
Dia sedih karena kemarin berpikiran mungkin bapaknya pergi ke rumah wanita lain, tapi daripada seperti ini, mungkin lebih baik bapaknya masih hidup walaupun mungkin dia pergi ke rumah wanita lain.
Indro menghembuskan nafas panjang. Dia memikirkan ibunya. Dengan siapa ibunya akan tinggal di rumah ini nantinya? Dia dan adik-adiknya semua tinggal di kota, mereka tidak tahan dengan jalan di desa Kayu Dawung yang selalu rusak parah dan membuat perjalanan ke kota semakin lama.
****
Sebelum jam tujuh rombongan polisi dan tenaga medis sudah tiba. Mereka segera mendirikan tenda di depan rumah pak Trubus. Mereka memasang garis polisi dan melarang orang-orang untuk masuk.
Keluarga pak Trubus dan warga dusun Kayu Gintung menunggu di jalan dengan resah. Termasuk pak kades dan pak kadus. Mereka agak menjauh dari warga, mereka berbisik-bisik.
"No! Gimana ini? Ini sudah kasus kedua, lo di Kayu Gintung," kata pak Kadus yang kebetulan adalah kakak kelas pak Kades di SMA dulu.
Pak Kades menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku nggak, tahu, Mas. Pusing aku! Mikirin komplenan setiap hari. Ada saja yang jatuh di jalan masuk desa kita. Dari arah Kali Kuning, Kayu Giyang sama Kayu Gintung, semua jalannya jebol. Padahal sudah tiga kali perbaikan tahun ini. Permohonan bantuan perbaikan jalan yang keempat ditolak, Mas. Mumet aku!" kata pak Kades meremas-meremas rambutnya.
Pak Kadus tertawa.
"Kok bisa, ya? Kalau dari Kali Kuning mungkin bisa. Kan, ada peternakan sapi di sana. Setiap hari ada truk besar yang lewat, kan?" kata pak Kadus.
Pak Kades mengangguk.
"Entahlah, Mas. Nanti sekalian kita lapor lagi sama pak polisi saja, ya, Mas," kata pak Kades, pak Kadus mengangguk setuju.
****
Mereka berkumpul di rumah pak Kades beberapa hari kemudian. Ada pak Kapolsek, ada beberapa ajudan pak Kapolsek, ada seorang dokter, bidan dan tenaga paramedis, ada pak Kadus Kayu Gintung, beberapa sesepuh desa dan pak Kades. Mereka mengelilingi meja tamu pak Kades yang besar.
"Jadi kami sudah selesai melakukan pemeriksaan," kata pak kapolsek membuka pertemuan itu, "kami sudah memiliki hasilnya yang nanti akan diberitahukan pak dokter nanti. Kami mengucapkan terima kasih atas kerja samanya dan bantuan yang diberikan warga Kayu Dawung."
"Sama-sama, pak. Kami sangat berterima kasih bapak kapolsek sendiri sudah bersedia datang ke sini," jawab pak Kades.
"Iya, pak. Ini kedua kalinya warga Kayu Gintung hilang dan meninggal, ya pak?"
"Ini baru pertama yang meninggal, pak. Korban hilang yang pertama belum ketemu," jawab pak Kades. Hatinya mencelos, sedih, marah sekaligus bingung.
"Monggo, pak dokter. Silahkan dibacakan hasil pemeriksaan hari ini," kata pak Kapolres kemudian.
Pak dokter itu mengangguk, berterima kasih dan membacakan laporan kematian yang penuh dengan istilah-istilah kedokteran yang panjang dan membingungkan para penontonnya. Rupanya pak dokter paham. Dia berhenti membaca dan tersenyum.
"Intinya pak Trubus diperkirakan sudah meninggal sekitar pukul dua atau tiga sore kemarin. Sebab kematian adalah kurangnya sirkulasi atau penyebaran oksigen di otak. Bukan hal yang biasa terjadi pada orang yang meninggal tenggelam. Biasanya kalau orang tenggelam akan meninggal karena paru-parunya penuh dengan air, baru menyebabkan kekurangan oksigen pada otak. Tapi tidak pada pak Trubus. Dan juga nampak ada jaringan kulit yang terkelupas di daerah leher seperti tercakar, luka khas pada orang yang tercekik."
Orang yang berada di ruangan itu berseru terkejut.
"Astaghfirullah!"
"Innalillahi! Berarti ini pembunuhan, pak?"
"Ya Allah, berarti pak Trubus sudah meninggal sebelum diceburkan ke sungai, pak?"
Pak dokter mengangguk.
"Dugaan bapak-bapak benar. Pak Trubus sudah meninggal sebelum ditenggelamkan di sungai. Penyebab meninggalnya adalah karena dicekik," jawab pak dokter.
Pak Kades beristighfar beberapa kali. Ya Allah, ujian apa lagi ini? Tiba-tiba pak Kades ingat tentang Kardi.
"Bagaimana dengan Kardi, pak? Kemarin, kan, dia yang mengajak pak Trubus untuk bekerja bersama, kan?"
Salah seorang ajudan pak Kapolres mengangguk.
"Benar, pak Kades. Kemarin hasil interogasi dengan Kardi adalah bahwa Kardi mendapat SMS dari nomor yang tidak dikenal, diminta untuk mencarikan orang untuk menambal jalan di arah Kali Kuning. Kemudian Kardi menyuruh pak Trubus untuk membantu orang misterius itu. Pak Trubus nanti diminta menunggu di depan musholla Kali Kuning, nanti katanya akan ada yang menemui di sana. Nomor yang menghubungi Kardi sudah kamu coba hubungi, tapi tentu saja sudah tidak aktif. Kami mencoba mencari keterangan warga sekitar Kali Kuning, tapi nihil, karena pagi itu hujan deras, hampir tidak ada warga yang berada di luar rumah."
Penjelasan polisi itu membuat pak Kades tambah pusing dan memijit-mijit pelipisnya. Dia merasa sangat lelah.
****
Kisah sebuah lukisan misterius yang ternyata memiliki sejarah yang sangat panjang Dan berliku
Impian seorang ibuuntuk membahagiakan anak-anaknya ternyata tidak selamanya berakhir dengan baik.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Memiliki wajak cantik dan tubuh sempurna justru mengundang bencana. Sherly, Livy dan Hanny adalah kakak beradik yang memiliki wajah cantik jelita. Masing-masing dari mereka sudah berkeluarga. Tapi sayangnya pernikahan mereka tak semulus wajah yang dimilikinya. Masalah demi masalah kerap muncul di dalam hubungan mereka. Kecantikan dan kesempurnaan tubuh mereka justru menjadi awal dari semua masalah. Dapatkah mereka melewati masalah itu semua ?
BACAAN KHUSUS DEWASA Siapapun tidak akan pernah tahu, apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh seseorang tentang sensasi nikmatnya bercinta. Sama seperti Andre dan Nadia istrinya. Banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari. Atau memang sengaja tidak pernah mau tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang sensasi bercinta dirinya sendiri. Seseorang bukan tidak punya fantasi dan sensasi bercinta. Bahkan yang paling liar sekalipun. Namun norma, aturan dan tata susila yang berlaku di sekitranya dan sudah tertanam sejak lama, telah mengkungkungnya. Padahal sesungguhnya imajinasi bisa tanpa batas. Siapapun bisa menjadi orang lain dan menyembunyikan segala imajinasi dan sensasinya di balik aturan itu. Namun ketika kesempatan untuk mengeksplornya tiba, maka di sana akan terlihat apa sesungguhnya sensasi yang didambanya. Kisah ini akan menceritakan betapa banyak orang-orang yang telah berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan dogma yang mengikat dan membatasi ruang imajinasi itu dengan tetap berpegang pada batasan-batasan susila