Ava menarik nafas panjang sebelum melepas penutup terakhir tubuhnya. Dan kali ini, yang hadir hanyalah ketelanjangan yang membebaskan, ketelanjangan yang membebaskannya dari pakaian kepalsuan yang menutupinya selama ini. Ava memejamkan mata, menikmati udara sore dan dingin air yang mengalir membasahi tubuhnya. Sore itu ia merasa menyatu dengan alam.
Ubud,
Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.
Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpȧkȧïȧn hitam-hitam di jalan itu.
"Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai?" Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.
Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.
"Oh, ini ada pengabenan," Kadek menyahut tanpa menoleh.
Kadek menganggukkan kepala kepada orang-orang itu, sekedar sopan santun saat melewati rombongan mereka. Aroma dupa dan alunan tetabuhan yang terdengar asing membuat bülü kuduk Ava merinding. Ava melirik ke arah patung lembu hitam yang diusung dan orang-orang berjalan dengan wajah murung.
Sebüȧh upacara pemakaman.
Ava menghela nafas. Mendȧdȧk dȧdȧnya dipenuhi dengan rasa takut yang purba. Pemuda itu tercenung lama, sampai akhirnya skuter mereka menjauhi rombongan itu.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di sebüȧh villa yang indah. Villa itu terletak di pinggir jurang yang menjorok ke sungai. Skuter mereka melewati candi bentar berukir dan memasuki halaman yang dipenuhi oleh tanaman tropis yang eksotis.
Kadek memarkir motor. Di halaman ada seorang laki-laki paruh baya berbadan subur sedang mengelus-elus ayam jago.
"Ajik, siapa yang di-aben?" tanya Kadek kepada orang itu.
"Oh, Pekak Gedang, dari banjar sebelah."
Kadek manggut-manggut, lalu meletakkan helmnya di bale-bale.
[Ajik = Bapak]
Pak De namanya. Pada awalnya Ava juga bingung, kenapa orang Bali sepertinya dipanggil Pak De, mungkin nama aslinya Pak Made, Pak Dewa, atau Pak Gede. Tapi cukup Pak De saja, itulah nama seniman yang digunakannya. Nama yang terkenal sampai ke luar negeri sebagai pelukis aliran realisme yang berpengaruh.
Ava ditawari Kadek untuk 'berguru' pada seniman yang kebetulan satu kampung dengannya. Sebagai gantinya, selama beberapa tahun Ava akan 'ngayah' di tempat itu; mengabdi tanpa pamrih kepada keluarga Pak De, dan selama itu pula Sang Maestro akan menurunkan ilmu yang dimiliki kepada Sang Murid. Jika beruntung karya-karya Ava akan ikut diorbitkan ke galer-galeri terkenal di Jakarta, bahkan ke tingkat Internasional, seperti murid-murid beliau terdahulu.
"Saya Ava." Ava menjulurkan tangannya ke arah orang itu, tampak canggung di depan tokoh yang diseganinya.
"Hahaha.. berbeda jauh seperti bayangan saya, saya Gede, ah panggil saja Pak De, Hahaha... Ah, maaf tangan saya kotor."
"Memang seperti apa bayangan bapak?"
"Ava Devine? Ava Lauren?"
"Hahahaha" Ava tertawa, tahu siapa yang dimaksud -pemain film panas-, "Bukan, Saya Mustava Ibrȧhïm..."
"Ah, ayahmu pasti penggemar Queen."
"Benar."
Suasana langsung cair, ternyata Pak De sangat humoris meskipun ia memiliki brewok lebat dan rambut panjang yang diikat ke belakang, yang sekilas mengingatkan Ava pada perawakan seniman Djaduk Ferianto.
"Nanti saja ngobrol-ngobrolnya, saya juga belum mandi. Kamu istirahat saja dulu," kata Pak De. "Dek, kamu antar Ava ke kamarnya."
Ava diantar Kadek melewati jalan setapak yang dirimbuni pepohonan tropis. Mereka melewati bangunan yang dicat tanah dengan atap jerami, dipisahkan oleh kolam renang kecil dari bangunan utama. Di dalamnya penuh dengan lukisan, ada pula yang belum jadi. Sepertinya itu studio Pak De, batin Ava.
Yang di sebut 'kamarnya' ini lebih mirip gazebo, namun sudah difurnish halus. Bangunan ini berupa bale-bale di bawah, dengan tangga naik ke balik atapnya yang melambung tinggi seperti lumbung padi. Di dalam atap inilah Ava akan tidur.
Dengan susah payah Ava menaikkan tas berisi baju dan peralatan lukisnya menaiki tangga, sampai akhirnya ia menghempaskan punggungnya ke atas kasur busa empuk yang digeletakkan begitu saja di ruangan 2x3 meter itu. Ava jadi teringat tempat kost-nya di Jogja. Namun ini jauh lebih baik.
Ruangan itu terbuat dari kayu yang dipelitur mengkilap. Nyaris tanpa perabot kecuali sebüȧh meja kecil dan lemari kecil. Di ujungnya ada jendela kayu besar, Ava membukanya. Sontak udara persawahan mengalir masuk, segar.
Ava bisa melihat Gunung Batur di utara dengan kaldera rakasasanya yang diisi jutaan galon air, mengalirkan puluhan anak sungai yang melewati lembah-lembah hijau yang dipenuhi sawah bertingkat-tingkat.
Pemandangan dan udara Pulau Dewata ini begitu membius. Tahu-tahu Ava sudah terlelap dalam mimpi indah. Tidurnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi muluk seorang sarjana fresh graduate. Waktu itu Ava masih belum mengetahui apa yang akan menantinya di perantauan ini.
>>>
Senja mulai menjelang ketika Ava selesai berbincang dengan Kadek dan Pak De. Bergelas-gelas kopi yang sudah tandas dan pisang goreng yang tinggal bersisa sepotong menandakan lamanya percakapan Sang Maestro dan calon muridnya.
"Woi, rajin amat," goda Kadek pada juniornya itu.
"Jelas, dong," sahut Ava tanpa menoleh.
Ava sedang sibuk mencuci gelas bekas kopi, ketika Kadek menepuk pundaknya dari belakang. Sebenarnya sudah ada Mbok Ketut dan Mbok Nengah, pembantu rumah tangga di Villa Pak De, juga beberapa karyawan yang membantu di tempat itu, namun Ava terlalu tidak enak hati kalau tidak mencuci gelasnya sendiri.
"Ada apa, Dek?" Ava berkata acuh tak acuh.
"Ava, manjus, yuk!"
"Apa? Maknyus?"
"Manjus, artinya mandi!"
"Ooh, kamu duluan aja, Dek." Ava menjawab malas, karena masih harus membilas sebuah gelas kotor dengan ampas kopi di dasarnya.
"Ah, nggak seru! Ayo manjus sama-sama!"
"Hah!" Gelas yang sedang sedang dicucinya cuci jatuh di bak cuci piring, untung tidak pecah.
"Hahaha... Santai aja... aku sudah punya pacar kok!" kata Kadek.
"Pacarmu... cowok?" tanya Ava takut-takut.
"Hahaha..." Kadek malah tertawa-tawa sambil menyeret tangannya.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Skuter Kadek melewati jalan tanah yang agak menjauh dari desa. Di kiri-kanan terdapat areal persawahan yang menguning, siap untuk dipanen. Langit sudah mulai memerah, tanda matahari hampir beranjak ke peraduannya. Kumpulan burung melintas, menimbulkan bunyi dengung yang menggaung di udara. Suaranya ditenggelamkan bunyi skuter butut yang terkentut-kentut.
Handuk yang tergantung di leher Ava berkibar diterpa angin sore. Ava tidak habis pikir, kenapa dirinya mau-maunya menuruti ajakan Kadek. Mandi bersama-sama? Yang benar saja! batin sang pemuda.
Di ujung jalan, mereka berkelok menikung. Menyusuri pinggiran saluran irigasi yang terbuat dari beton.
Beberapa wanita sedang asyik mandi di saluran irigasi yang terletak di pinggir jalan kecil itu. Sebagian mengenakan kemben, sebagian dengan santainya mencuci baju sambil bertelanjang bulat di dalamya. Mereka cuek melihat Kadek dan Ava melintas, meskipun ada beberapa yang tampak rikuh menyadari kehadiran Ava yang notabene orang asing di desa itu sehingga langsung berjongkok ke bagian air yang lebih dalam.
Memang tak semuanya memiliki tubuh yang indah, namun di mata Ava –dengan segala keindahan alamnya- semua tampak begitu indah, seperti cerita orang-orang dulu, seperti lukisan yang sering dilihatnya!
"Dek! Aku pikir sekarang sudah nggak ada orang mandi di sungai!" jerit Ava takjub.
"Di Bali Barat memang sudah nggak ada! Tapi semakin ke Timur semakin kaya gini!"
"O-oooh."
"Melestarikan budaya," kata Kadek lagi, dan Ava hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Sepengetahuannya di daerah pedesaan memang masih ada penduduk yang mandi di tempat terbuka, namun ia benar-benar tidak menyangka di pulau yang diserbu arus modernisasi seperti Bali, dirinya masih bisa menjumpai pemandangan seperti ini.
Kadek memarkir motornya di pinggir jalan, di samping berapa motor yang sudah lebih dulu terparkir. Ava mengikuti Kadek dari belakang. Mereka berjalan di jalan setapak yang sedikit curam, menuruni tebing yang diteduhi tanaman paku-pakuan, hingga akhirnya terdengar suara bergemericik dari kejauhan. Ava menyibak daun pisang yang menutupi jalan, dan dia segera disambut oleh pemandangan yang eksotis. Sungai kecil yang dipenuhi batu dan dirimbuni pepohonan. Airnya mengalir jernih, sehingga dasar sungai yang dipenuhi batu tampak jelas. Suara air mengalir bergemericik menyelinap di antara batu besar.
Beberapa orang dalam berbagai usia, tua-muda, anak-anak, laki-laki, perempuan menikmati suasana senja tanpa apapun menutupi tubuh mereka. Beberapa merendam tubuh telanjangnya di bawah arus sungai yang mengalir pelan. Beberapa lagi sambil berjongkok sambil melipat tangan di depan puting susunya.
Kadek menjelaskan bahwa, ada norma kesopanan di mana wajib menutupi bagian terlarang dengan tangan. Masing-masing daerah di Bali berbeda-beda adat istiadatnya. Di desa itu tempat mandi lelaki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah batu besar, namun tetap saja, di mata Ava sekat itu tidak bisa memberikan segregasi seksual yang memadai karena beberapa remaja nampak berbincang santai, saling meminjam sabun ataupun shampo, seolah masih berpakaian lengkap dan rapi.
Memang tak semuanya memiliki tubuh yang indah, namun di mata Ava –dengan segala keindahan alamnya- semua tampak begitu indah, seperti cerita orang-orang dulu, seperti lukisan yang sering dilihatnya!
Lembayung senja memantul di riak air, ke tubuh sintal seorang perempuan muda yang sedang membasuh diri di bawah pancuran. Payudaranya yang bulat sekal berwarna sawo matang menjadi berkilat kekuningan, dihimpit lengan yang menutup rapat bagian-bagian intimnya.
Ava menelan ludah, merasakan sesak di balik celananya. Sadar sedang diperhatikan, perempuan itu segera berbalik memunggungi, sedikit rikuh dengan tatapan Ava.
"Jangan diliatin! Dimarah nanti. Cool aja," tegur Kadek, lalu mengucapkan salam pada keluarga yang sedang mencuci pakaian di sebelahnya.
Ava terkekeh pelan, menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Dek! Kadek" Suara seorang wanita memanggil dari kejauhan. Ava baru saja mencelupkan sebelah kakinya di permukaan air yang jernih berkilauan, ketika seorang wanita muda menuruni jalan setapak yang mereka lewati tadi. Usia belasan akhir mungkin, taksir Ava. Tubuhnya montok sintal dengan kulit sawo matang nan eksotis, cukup manis menurut pandangan Ava. Di belakangnya menyusul beberapa gadis dengan wajah khas Bali sambil menenteng ember dan peralatan mandi.
"Hei, Luh!" kadek melambaikan tangan. "Kenalin, ini Ava, muridnya Pak De yang baru."
"Ava," Ava berkata sambil mengulurkan sebelah tangannya.
"Luh Sari," sahut gadis itu, menjabat tangan Ava.
"Luh Sari pacarku, Va," kata Kadek enteng.
Nafas lega menghembus. Ternyata pacar Kadek bukan cowok! jerit Ava dalam hati, menertawakan kebodohannya sendiri.
= = = = = = = = = = = = = = =
Para gadis mengambil posisi agak jauh dari tempat para pemuda, terpisah oleh batu besar dan rimbunan daun pisang yang menjuntai sampai bawah. Sementara Kadek menyapa kumpulan pemuda tanpa busana yang sudah lebih dulu ada di situ. Mereka berbincang dengan bahasa yang tak dimengerti Ava, namun yang sepenangkapannya ada kata "Pak De," dan "Murid." Ava tersenyum geli, entah kenapa, kata-kata 'murid' membuatnya membayangkan Pak De sebagai seorang petapa sakti.
Tanpa banyak basa-basi, Kadek melepas pakaian dan bergabung dengan rekan-rekannya. Agak rikuh sebenarnya, maka Ava menyisakan celana dalam, ikut menggabungkan diri di tengah tengah kumpulan batangan yang asyik bercanda dan mengumpat dalam bahasa setempat. Sebenarnya pemuda-pemuda desa itu sangat ramah, namun segala ketelanjangan ini membuat semuanya menjadi canggung.
"Va, kamu pasti belum pernah lihat yang kayak gini." Kadek menolehkan kepalanya ke arah para gadis, berbisik ke arah sahabatnya.
Ava terhenyak. Luh Sari menyilangkan tangan dan menarik lepas kaus yang dikenakannya. Sepasang gundukan indah segera menyembul dari balik kaus kutang warna krem yang nampak kesempitan. Perempuan berkulit sawo matang itu lalu berjingkat, melepas celana pendek dan diikuti kaus kutang yang segera menyusul terlipat, sehingga tubuh montok dan sintalnya kini hanya tertutup celana dalam tipis yang menampakkan bayangan rambut kemaluan yang menyemburat dari baliknya. Belum cukup Ava terperangah, gadis-gadis di belakang Luh Sari juga melakuan hal serupa, ada yang menyisakan kemben ketat dan pula yang sudah telanjang bulat dan menceburkan tubuh ke dalam aliran sungai.
Menyadari tatapan sang pemuda, Luh Sari menutupi bagian-bagian terpenting tubuhnya sambil tersipu. Namun jemarinya yang membuka secelah, seolah membiarkan aerola yang berwarna kehitaman itu mengintip ke dalam pupil mata Ava yang seketika membesar.
Ava terpaksa menahan nafas, bahkan menelannya bila perlu.
Luh Sari melirik ke arahnya, hingga tanpa disengaja pandangan mereka saling bersitatap. Sepersekian detik saja, namun itu saja sudah cukup bagi Ava untuk menangkap kilasan senyum di bibir manis kekasih sahabatnya.
Gadis manis itu tersenyum dalam hati begitu melihat Ava yang cepat-cepat mengalihkan pandangannya dengan wajah tersipu. Tawa kecil membersit di hati Luh Sari, menyadari Ava diam-diam memperhatikannya.
Sudah banyak orang melihatnya telanjang, namun satu orang ini sepertinya begitu lugu dan lucu. Hal ini pun menimbulkan gejolak di hati Luh Sari. Gadis bertubuh sintal itu lalu duduk di atas batu sambil menaikkan paha. Seolah tak ingin berlekas-lekas, Luh Sari menurunkan celana dalamnya dalam gerakan perlahan, seolah sengaja menjadikan batu itu laksana sebuah panggung dengan dirinya sebagai primadona!
Darah Ava semakin berdesir. Adrenalin yang memenuhi aliran darahnya membuat segalanya bergerak dalam gerakan slow motion. Termasuk saat Luh Sari mengerling manis ke arahnya, sambil menutupi area pubis yang ditumbuhi bulu lebat dengan tangan kiri. Tanpa bisa diantisipasi, sesuatu yang terletak di antara dua paha Ava mulai bereaksi dan makin lama makin mengeras. Cepat-cepat ia menceburkan diri ke dalam air, hanya agar reaksi fisiologisnya tidak tampak oleh yang lain.
Sekilas saja barangkali, tapi Luh Sari sempat menangkap kelebatan kejantanan Ava yang mengacung dari balik celana dalamnya. Terdengar tertawa berderai ketika gadis manis itu menggabungkan diri dengan teman-temannya yang sudah tertawa-tawa sambil melirik ke sang pemuda yang kini hanya bisa meringkuk dengan wajah merah padam!
= = = = = = = = = = = = = = =
Manusia kehilangan keluguannya ketika memakan Buah Pohon Pengetahuan. Bersamanya hadir mortalitas, sensasi yang membuatmu bisa merasa malu dan birahi pada saat yang sama.
Konon manusia diciptakan tanpa sehelai benangpun di Paradiso. Ketika Bapa Adam dan Bunda Hawa memakan Buah Pengetahuan, barulah hadir perasaan jengah atas ketelanjangan mereka, sehingga masing-masing terpaksa mencari dedaunan untuk menutupi bagian intim yang terbuka.
The Last Lost Paradise . Ratusan tahun lalu, Bali pernah disebut firdaus terakhir di muka bumi oleh para petualang dari seberang benua, karena di tempat inilah engkau masih bisa menghargai tubuh manusia tanpa perlu dinodai birahi.
Cahaya langit senja yang kemerahan memantul pada riak-riak air sungai ke arah orang-orang tanpa busana. Tidak, mereka tidak nampak seperti manusia-manusia di Sodom dan Gomorah, namun lebih mirip dengan penghuni pertama taman firdaus.
Para penduduk desa telanjang begitu saja, apa adanya tanpa ada kepalsuan yang ditutupi. Mereka hanyalah penduduk-penduduk desa yang polos, yang hanya ingin melestarikan budaya mandi yang tua, yang semakin lama semakin tergerus oleh modernisasi dan vila-vila yang merengsek ke dalam teritori mereka.
Keadaan ini membuat Ava merenung. Mereka telanjang begitu saja, apa adanya tanpa ada kepalsuan yang ditutupi. Mereka hanyalah penduduk-penduduk desa yang polos, yang hanya ingin melestarikan budaya mandi yang tua, yang semakin lama semakin tergerus oleh modernisasi dan vila-vila yang merengsek ke dalam teritori mereka.
Ava menghela nafas, mencpba menghayati segala pemandangan di depannya. Sungai yang mengalir indah, pepohonan yang merindangi sungai itu, dengan segala keindahan panoramanya, membuat semuanya tampak seperti lukisan Michelangelo.
Ava menarik nafas panjang sebelum melepas penutup terakhir tubuhnya. Dan kali ini, yang hadir hanyalah ketelanjangan yang membebaskan, ketelanjangan yang membebaskannya dari pakaian kepalsuan yang menutupinya selama ini. Ava memejamkan mata, menikmati udara sore dan dingin air yang mengalir membasahi tubuhnya. Sore itu ia merasa menyatu dengan alam.
Senyum Ava tersungging, membayangkan hari-harinya di sini. Ava membaringkan tubuhnya, membiarkan arus sungai menghanyutkan telanjang tubuh itu. Ava memandangi langit yang berwarna kemerahan tanda Sandyakala hampir tiba. Ava, Sang Pelukis Mimpi larut dalam indah panorama lukisan yang serasa nyata.
Indah.
Bersambung
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Memang benar perkataan adrian tentang dirinya, dia wanita yang sangat cantik nan rupawan, aroma tubuhnya sampai tercium meskipun jarak di antara kita cukup jauh. tubuhnya juga sangat terawat, pantatnya yang besar dan nampak sekel, dan lagi payudara miliknya nampak begitu bulat berisi. "Ehmm... dia itu yaa wanita yang mendapat IP tertinggi sekampus ini !", gumamku. "Cantik, kaya dan pintar.. dia seperti mutiara di kampus ini !", lanjut gumamku.
Ujang menatap tajam ke lawannya tersebut "Datok lo harus tau seberapa greget nya gue?!" "Gue baru 20 tahun, terus kontol gue cuman dipake kencing doang" "Tisu Magic mode", Ujang bersiap kembali kali ini semua badannya sudah berlapis baja , ilmu pamungkas pun sudah diaktivkan, "TELO RASA MEKi" sang datok pun bersiap dengan ilmu pamungkasnya terlihat semua badannya mengeluarkan uap panas Dan keduanya bagai petir melesat dengan kecepatan tak kasat mata mengeluarkan ajian pamungkasss "BOOOOOMMMMMMMMMM"
Kupejamkan mataku, dan kukecup bibirnya dengan lembut, dia menyambutnya. Bibir kami saling terpaut, saling mengecup. Pelan dan lembut, aku tidak ingin terburu-buru. Sejenak hatiku berkecamuk, shit! She got a boyfriend! Tapi sepertinya pikiranku mulai buyar, semakin larut dalam ciuman ini, malah dalam pikiranku, hanya ada Nita. My logic kick in, ku hentikan ciuman itu, kutarik bibirku mejauh darinya. Mata Nita terpejam, menikmati setiap detik ciuman kami, bibir merahnya begitu menggoda, begitu indah. Fu*k the logic, kusambar lagi bibir yang terpampang di depanku itu. Kejadian ini jelas akan mengubah hubungan kami, yang seharusnya hanya sebatas kerjaan, menjadi lebih dari kerjaan, sebatas teman dan lebih dari teman.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Kisah yang penuh intrik, romantisme dan pengorbanan. Yi Yuen, gadis yang terlahir sebagai reinkarnasi Dewi Keabadian yang mencari jati dirinya. Perlahan, Zhi Ruo membuka matanya dan mendapati lelaki tampan yang kini mendekapnya. Sejenak, dia tersenyum saat mengelus alis hitam yang terukir rapi di wajah tampan yang masih terpejam. Tak hanya itu, dengan gemasnya dia mencubit lembut pipi dengan tulang rahang yang terlihat kokoh. Li Quan perlahan membuka matanya dan menatap lurus ke arah Zhi Ruo yang kini terdiam. Sontak, Zhi Ruo menyembunyikan wajahnya yang merona di balik selimut, tetapi terlambat. Li Quan dengan cepat meraih bibirnya dan mengecupnya hingga membuat Zhi Ruo tersenyum manja. "Istriku, apa kamu bahagia?" tanya Li Quan yang kini memeluk istrinya dengan erat. "Aku bahagia karena penantianku tidak sia-sia. Apa kamu juga bahagia?"
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Pada hari ulang tahun pernikahan mereka, simpanan Jordan membius Alisha, dan dia berakhir di ranjang orang asing. Dalam satu malam, Alisha kehilangan kepolosannya, sementara wanita simpanan itu hamil. Patah hati dan terhina, Alisha menuntut cerai, tapi Jordan melihatnya sebagai amukan lain. Ketika mereka akhirnya berpisah, Alisha kemudian menjadi artis terkenal, dicari dan dikagumi oleh semua orang. Karena penuh penyesalan, Jordan menghampirinya dengan harapan akan rujuk, tetapi dia justru mendapati wanita itu berada di pelukan seorang taipan yang berkuasa. "Ayo, sapa kakak iparmu."
Selama tiga tahun yang sulit, Emilia berusaha untuk menjadi istri Brandon yang sempurna, tetapi kasih sayang pria itu tetap jauh. Ketika Brandon menuntut perceraian untuk wanita lain, Emilia menghilang, dan kemudian muncul kembali sebagai fantasi tertinggi pria itu. Menepis mantannya dengan seringai, dia menantang, "Tertarik dengan kolaborasi? Siapa kamu, sih?" Pria tidak ada gunanya, Emilia lebih menyukai kebebasan. Saat Brandon mengejarnya tanpa henti, dia menemukan banyak identitas rahasia Emilia: peretas top, koki, dokter, pemahat batu giok, pembalap bawah tanah ... Setiap wahyu meningkatkan kebingungan Brandon. Mengapa keahlian Emilia tampak tak terbatas? Pesan Emilia jelas: dia unggul dalam segala hal. Biarkan pengejaran berlanjut!