ilmu, di desa kecil di pinggiran Ubud. Di tempat itulah Ava ngayah; mengabdikan diri seba
i, bangun lagi, berebut tempat mandi dengan Indira, menjaga galeri, membantu Pak De melukis, disuruh ini-itu. Mungkin saja Av
k pernah mengerti, bagaimana bisa cowok gondrong brewokan yang tidak ada ganteng-gantengnya itu bisa selalu membuatnya men
leh lelucon Ava, -yang meskipun menurutnya norak- tapi en
a pada suatu hari pada Kadek dan Indira. "Na
anya Indira yang terpaksa pura-pu
kspresi seperti inilah yang membuat wajah Indira menjadi sem
yang rusuh dan slenge'an seolah menjadi b
rang di rumah itu tahu pasti: kehadiran Ava membuat Indira yang tadin
aku, tahu!" omel Indira dengan pinggang berkacak di atas tangga batu. Sebelah t
arap Ava belum bangun sehingga ia bisa menguasai spot mandi favoritnya itu. Tapi apa lacur, di
at bertapa yang lebih mbois, kek... Gua S
Aku juga mau mandi
kan hari
eg
udah ada kama
berapa kali juga, b
. " Ava mejaw
gan ricik air dan decit burung-burung yang berkicau di sela dahan, membuat tempat itu tak ubahnya surga tersembunyi. Ada air terjun kecil di sana, dengan ceruk dalam dan
, Ava malah sengaja merayakan kemenangannya dengan menceburkan diri di ceruk batu di bawah air terj
tan mandi... Kita belajar berbagi, hahaha..."
ira mengggembungkan pipi. Berpikir keras bagaimana cara membalas untuk menyamakan skor. Indira tak pernah tahu kapan saatnya dorongan primitif berna
sambil menahan senyum licik yang sudah tak sabar ingin menyungging begit
i dipaksa terperenyak ketika Indira mendȧdȧk melolosi baju barongnya,
au mandi, wek!" Indi
bergabung dengan rekan-rekannya yang sudah lebih dulu dilipat rapi. Indira membalik, mengikat rambut kecoklatannya dengan karet. Tangannya teran
berlarian melewati jari-jemarinya. Indira mendengus, sebelah tangannya disilangkan erat-erat di depan dȧdȧ untuk menghalangi pandangan Ava dari sepasang pütïng berwarna merah hati. Meski ta
mberi peringatan terakhir bagi si p
angan macam-macam! Nanti kubilangin
erani! Biar tahu aja, Hidupku ini berasaskan Pancasila: ketuhan
segera keluar dari tempat itu. Melepas penutup terakhir tübühnya di depan pemuda yang baru dikenalnya
ar saling berseteru. Tapi Indira sudah kepalang bȧsȧh, mundur teratur berarti mengaku kalah pada bedebah yang telah membuat dirinya gu
i bibir Indira, begitu menyadari tübüh rȧnümnya kini tinggal dibungkus oleh rona-rona merah yang mulai meruap dari kulitnya yang tėlȧnjȧng bulat. Tak ingin berada di udara terbuka terlalu lama, Indira
i terbenam di bawah permukaan air. Ava memang pernah mendengar cerita tentang 7 bidȧdȧri yang mandi. Kali ini satu bidȧdȧri tert
dira sewot, mulai jengah dengan tatapan Ava yang dirasanya
wek bügïl! Tapi mau giman
banget gombalanmu!" Indira terpaksa tertawa, menyemburkan a
awab asal, tersenyum sendiri meliha
a, bahwa di antara murid-murid ayahnya terdahulu, Ava adalah orang yang paling berani mengga
buat digangguin," jawab
itu ya! Mirip banget kayak Bli
udah. "Siapa
aka itu kakak aku yang udah nggak a
engge
nggak usah
i malu-malu bergerak kesana kemari di dalam air, seolah-olah tempat itu merupakan tempat bermainnya sejak kecil. "Coba kaya gini dari k
dari awal! Kita mandi bare
ang seputih pualam kini semakin merona kemerahan, nampak makin segar bagai setangkai teratai yan
i dinding-dinding tebing. Menciptakan dunia tanpa ru
timbul tenggelam. Setengah mati pemuda itu menahan diri agar tidak ereksi, namun Indira terlalu seksi: puting merah hati yang mengintip dari balik permukaan air, payudara ranum yang baru saja bertumbuh, dan sepasang pantat mon
ah cukup bagi Indira untuk menangkap sebentuk batang berotot yang kini mengacung tegak dan menantang. Indira menelan ludah, jantungnya melewatkan detaknya sekali. Berkali-kali ga
'berpengalaman' dengan lawan jenis. Namun kali ini, bugil di depan pemuda yang sama sekali asing dan jelas-jelas terangsang melihat tubuh
kujur tubuh Indira malah seperti disetrum dengan tegangan 220 volt. Jemarinya yang licin oleh sabun tak sengaja mengenai ujung-ujung saraf-saraf sensitifnya! Indirnggak udahan.
ak... k
sam