Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Jovan, Birahi Anak Panti
Jovan, Birahi Anak Panti

Jovan, Birahi Anak Panti

5.0
12 Bab
14.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Semula aku menduga berumah tangga itu sesuatu yang simple. Cukup menyatukan dua jiwa raga yang berbeda, memenuhi nafkah lahir dan batin semampunya. Namun ternyata begitu kompleks eleman yang terkandung di dalamnya. Inilah kisah nyataku Pasutri -22.

Bab 1 Tak Sesimple Kata

Semula aku menduga berumah-tangga itu sesuatu yang indah dan simple. Cukup menyatukan dua jiwa raga yang berbeda, memenuhi nafkah lahir dan batin sekemampuannya. Namun ternyata begitu kompleks eleman yang terkandung di dalamnya. Asam garam dan romantikanya memang bukan kaleng-kalengan.

Namaku Arfan Pratama. Asli suku Sunda kelahiran Bogor. Biasa dipanggil Si Ambon, padahal penampilan dan raut wajahku tidak memiliki kemiripan dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air keturunan Ambon, Maluku. Namaku hampir mirip dengan salah satu bintang kebanggaan Timnas U-22, Pratama Arhan.

Inilah kisah nyataku Hasrat Liar Pasutri -22.

^*^

Beberapa bulan yang lalu.

Hari itu aku sedang asik mendendangkan lagi 'Ojo dibandingke,' ketika ponselku berdering karena adanya panggilan dari Tania.

"Hallo, Tan!"

"Hai Fan, lagi ngapain?" Suara lembut nan manis terdengar di ujung sana.

"Biasa, lagi nongkrong di kostan."

"Tumben, emang gak pulkam. Tapi emang udah feeling sih, hehehe."

"Iya, mau pulkam nanggung. Palingan minggu depan aja pulkannya. Ada apa, Tan?" tanyaku serius tapi santai.

"Beneran lu lagi gak sibuk, Fan?" Tania balik tanya.

"Biasa sih, ya sibuk main gitar aja, hahaha."

"Oh syukur deh, kebetulan banget. lu mau main gak ke rumah gue? Maksudnya ajarin gue main gitar." Suara Tania terdengar renyah dan ceria.

Untuk sejenak aku mengernyitkan dahi, "Serius lu mau belajar gitar?" tanyaku.

"Serius dong. Kayaknya lihat lu main gitar asik banget, makanya gue kepengen belajar, hehehe?" Suara Tania makin renyah.

Kembali aku berpikir sejenak. Tania salah satu fans beratku, berat banget. Tak jarang dia memintaku membawa gitar ke kampus untuk bernyanyi di depan dia dan gengnya. Aku tak ubahnya seperti pengamen yang dibayar dengan makan gratis di kantin.

"Ok, sekarang gua ngeluncur ke rumah lu, ya. Masih di sana kan rumahnya? hehehe."

"Masih dong ganteng. Thanks ya, see you, Fan!" Seperti biasa keceriaan Tania selalu tak bisa disembunyikannya.

Tania, seniorku di kampus, satu angkatan di atasku. Lebih dari setahun kami bersahabat sangat dekat. Pertemanan kami berawal ketika Opseks penerimaan mahasiswa baru. Tania jadi panitia, aku pesertanya. Pada saat malam keakraban aku tampil bersolo gitar mengiringi beberapa teman seangkatanku bernyanyi.

Sejak malam itulah Tania menjadi fans beratku. Lama-lama aku menduga jika kekaguman dia bukan sebatas pada permainan gitarku, namun pada diriku seutuhnya. Entahlah, aku merasa dia menaruh rasa special buatku. Susah diceritakan namun bisa dirasakan.

Selain cantik, aktif dan cerdas, Tania pun dikenal humble walau dari keluarga yang cukup berada. Karena itulah aku pun tidak lantas kegeeran atau nekad mengajaknya meningkatkan hubungan bukan hanya teman. Sadar diri karena keadaan kami bagai langit dan bumi.

Rumah Tania berada di kawasan perumahan elit di kota ini. Ayahnya seorang pengusaha kelas menangah, sedangkan ibunya pemilik salon dan boutiq yang cukup ternama. Sudah lebih dari dua kali main ke rumahnya, namun tak pernah bertemu dengan papa dan mama yang katanya selalu sibuk.

"Hai, Fan, cepet amat nyampenya. Masuk yu!" Tania berseru gembira sambil membuka pintu gerbang dan mempersilakan aku memarkirkan motor di garasi.

Untuk beberapa saat aku terpana memandangi Tania yang berbeda dari biasanya. Tampak lebih cantik dan seksi dalam balutan celana jeans pendek yang dipadu kaus putih ngepas di badannya. Mataku nyaris tak berkedip menatap dua tonjolan membusung di dadanya.

Rambutnya yang panjang sepunggung, diikat ke belakang, semakin mempertegas kecantikannya yang alami nan paripurna. Aku hanya bisa menelan ludah saat menatap paha dan kaki jenjangnya yang putih, mulus nan indah. Jantungku berdebar dengan darah yang mulai berdesir hangat.

'Andai bukan calon bini orang dan juga bukan anak orang kaya, pasti udah gua pacarin dari dulu!' batinku seraya tersenyum untuk mengendalikan nervousku. Baru kali ini melihat Tania berpakian seseksi itu.

"Ribet banget mau masuk kompleks elit gini, hehehe," ucapku basa-basi, sebelumnya aku bertamu ke sini selalu numpang mobil Tania dan barengan dengan beberapa teman gangnya Tania.

"Ooo, satpam depan ya? Emang udah gitu aturannya, demi keamanan katanya. Lu tadi bilang mau ke rumah gue kan?" Tania bertanya kalem.

"Ya ialah. Kalau gak nyebut nama lu, mana bisa gua masuk sini."

"Ya udah jangan ngambek dong. Sekarang kan udah ada di sini. Langsung ke kamar gue aja yu, biar santai and bebas," ajak Tania sambil menarik tanganku.

Sambil berjalan Tania menjelaskan jika di umahnya hanya ada dua orang pembantunya. Papa dan Mamanya selalu sibuk, sementara dik bungsunya yang baru kelas satu SMA, sedang main ke rumah Om-nya di Jakarta.

Sementara Tania terus bereleteh sambil menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, mataku tak bisa lepas dari paha dan goyangan pantatnya yang super menggiurkan. Otakku kembali menayangkan rekaman petulangan panasku dengan beberapa wanita sebelum kenal dengan Tania.

Lalu segera kubuang pikiran kotor itu. Tujuanku datang ke sini bukan untuk yang kotor-kotor, tapi mengajari Tania main gitar. Tania selalu menilaiku sebagai sahabatnya yang baik, alim, dan super polos. Aku wajib menjaga sikap, jangan sampai image baik itu menjadi rusak.

Ketika berada di kamar pribadinya, tak dapat kusembunyikan rasa kagumku. Kamarnya sangat rapi, indah, luas, fasilitasnya lebih dari memadai. Mungkin sekelas hotel bintang tiga atau lebih. Dari jendela kamar itu pun bisa kulihat kolam renang yang airnya sangat biru dan tenang.

"Gila, kamar lu keren banget, Tan." Aku tak bisa berhenti mengaguminya.

Tania tersenyum, "Aslinya ini kamar kakak gue, karena sekarang dia baru buka usaha di Labuan Bajo, ya gue pake deh kamarnya."

"Wow keren!" Aku kembali bergumam takjub.

"Duduk, Fan. Kalau mau minum ambil atau bikin aja sendiri. Tuh ada di sana!" ucap Tania sambil menujuk kulkas mini dekat meja bundar sudut ruangan. Di atas meja itu pun sudah tersedia aneka buah-buahan dan makanan kecil.

"Iya santai aja," balasku sambil duduk di sofa, sementara Tania mengambil sesuatu dari dalam lemarinya.

"Ini gitar gue Fan, baru kemarin dibeliin Papa, hehehe."

"Hah, masih baru? Wow, Yamaha! Keren banget ini!" seruku terkagum-kagum sambil menerima gitar yang disodorkannya. 'Harganya pasti sama dengan biaya semester gua ini,' lanjutku dalam hati.

Aku segera menyetem gitar baru Tania, menistandarkan dengan gitar tuaku. Setelah beberapa menit kemudian aku pun sudah mulai memberikan pengajaran dasar main gitar pada Tania.

Dengan serius Tania mengikuti semua arahanku, mulai dari cara memegang gitar dan seterusnya. Walau masih jauh api dari panggang, namun aku sangat salut dengan semangatnya.

"Aduh gila! Ternyata susah banget ya main gitar itu, Fan!" ucap Tania setelah cukup lama kami bersama.

"Santai aja. Baru juga sejam. Semua juga begitu kalau baru belajar, wajar. Gua waktu pertama belajar, malah sampai sebulan belum tahu grip, hehehe," responku merendah agar tidak menjatuhkan semangatnya..

Kami terus berlatih dan ngobrol, tak terasa sudah lebih dari tiga jam bersama. Selalu tak bosan saat berada didekatnya. Menikmati debaran-debaran aneh yang susah untuk dikendalikan. Tania pun terkadang memberikan sentuhan-sentuhan kecil pada diriku yang sontak membuatku semakin... Ah, sudahlah jangan terlalu kegeeran!

Setelah lelah latihan karena lebih banyak bercanda dan nyanyi bebasnya, Tania mengajak makan siang. Lalu nongkrong di balkon sambil memandangi kolam renang yang airnya sangat tenang. Beberapa kali, Tania memandangku sayu dan lemmbut tanpa berucap. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Eh, Tan, gak kerasa udah sore, nih. Gua pamit dulu ya," ucapku seraya menatap wajah cantiknya yang terlihat mendadak mendung.

"Yaah, kok gitu suh? Tapi ya udah deh." Tania sedikit mendengus, mungkin dia kecewa tak punya alasan untuk menahanku lebih lama lagi.

"Besok atau lusa kita lanjut latihan di kampus aja ya. Sekarang latihan aja dulu yang tadi gua ajarin, oke?' ucapku sambil beranjak dari duduk.

"Oke deh!" balas Tania dengan wajah yang tak bersemangat.

Tania mengantarku keluar, saat sedang menuruni anak tangga, dia menyelipkan sesuatu ke dalam kantong celanaku. Sebenarnya tak enak hati menerimanya, namun dia pasti marah kalau sampai aku menolak pemberiannya.

'Alhamdulillah, lumayan bisa buat makan seminggu.' Aku hanya bisa bersyukur dalam hati dan menduga-duga berapa uang yang dia selipkan.

"Makasih untuk segalanya, Kakak Cantik," ucapku menirukan gaya saat kami baru pertama kenal.

"Iya Adik Ganteng. Hati-hati ya bawa motornya, nanti-nanti jangan lupa pake helmnya," balas Tania seraya memegangi lengan kiriku yang sedang memegangi stang motor.

Sesampainya di kamar kost, aku terus memikirkan apa yang telah kami lewati berdua hampir lima jam itu. Gambaran cinta dengan segala isyaratnya dengan sangat mudah kutangkap dari sorot mata dan gestur tubuh Tania.

"Fan, lu cowok terbodoh sedunia! Tania itu dari tadi mandangin selangkangan elu terus. Gua yakin dia sangat kagum sama pisang ambon lu yang super jumbo. Sikat, Bro! Tembak dia segera dan nikmati segalanya, hahaha...." Sisi kotor hatiku terus berceloteh menebar hasutan.

"Alah, jangan ngimpi lu, Fan! Tania itu udah punya calon, anak orang kaya pula mereka. Gak level sama lu! Tania cuma kagum sama permainan gitar lu aja! Sadar Bro, sadar! Tuh ada kaca di dinding!" sergah sisi hatiku yang masih waras.

"Hehehe iya, sorry, Ti." Si hati kotor dalam jiwaku pun akirnya mengalah.

Ya, aku wajib sadar diri. Cukup mengagumi dan menikmati segala yang sudah tercipta indah. Jangan berbuat konyol yang bisa merusak keadaan, karena hanya akan membuatku kehilangan segalanya.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY