ota. Mereka memintaku untuk bekerja di sana. Sebelum mengambil keputusan, aku terbiasa untu
ah sakit ini?" Mama nampak ber
ut bibirnya ke atas. Ah, senyuman itu tak
a boleh nga
bange
ke Tante Alena buat kerja di sana, soalnya beliau sedang m
embuka cabang berarti aku ak
eratan, y
ggak ko
eh bertanya satu
itu
gin jadi dokt
orang dengan bida
a saat ini. Menjadi seorang dokter adalah tugas mulia, Sayang. Jika tujuan kamu untuk mencari u
it paham dengan apa y
an tanpa bertanya kesiapan kamu." Ah, mama. Sungguh aku
arena dengan bekerja di Tante Alena, Rully jadi terdid
ersedia?" tanya
n jika sudah waktunya. Yang jelas, tugasku sekarang adalah mengabdi pada rumah sakit Tante Alena dan membantu masyara
ma bangga sama kamu," uc
h karena sudah mau menerima Rully di keluarga ini." Suasana menjadi
y saja yan
k, lantas aku berjalan
u dengan antusias. Wanita paruh baya berkacamata inilah yan
papa kamu m
, Tante Sayang," sambutku
lupa ia mencubit pipiku. Memang kebiasaan beliau dari duk
sementara aku pamit untuk membuatkan beliau minum. Setelah usai, aku menyajikannya dan ikut berg
ng ataupun kota, seorang dokter harus siap bertugas di manapun diperintahkan. Namun, saat beliau menyebutkan nama tempat itu, hatiku cemas. Bagaimana bisa takdi
sedang papa, dia hanya tersenyum. Dari air mukanya aku tahu jika beliau sedang menyembunyikan kesedihan. Seb
di dunia dan akhirat. Juga berkali-kali mengingatk
Tante Alena mengklakson. Aku berpamitan dan pergi
ngga mempunyai orangtua seperti mereka, yang selalu sabar dan berkata baik di saat aku melakukan kesal
*
ju. Jika saja Tante Alena tak mempunyai hubungan apapun den
ghapus raut bahagia dari wajah mereka. Oleh sebab itu aku m
n cemas. Aku berharap, ibu dan bapak sudah pindah dari sana. Dengan sep
apa? Koq kelihat
u gak apa-
lanan ini, ya? Bawa santai, Rully. Kamu bis
ni saja," jawabku pada wanit
kali ini akan memakan waktu tiga
n izin untuk beristirahat. Sebenarnya, itu hanya alasan saja,
ermenung, memikirkan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya. Ibu, bapak, adikku. A
mereka. Sebegini mengenaskan kah nasibku? Berusaha berdamai denga
yang berarti di antara kami. Kurasa Tante Alena mengerti dengan apa y
ngatannya masih sanggup menyapa kulit. Kulirik jam yang melingkar di tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas p
batasan antara jalan desa dan kota telah nampak di depan mata. Di gapura itu pul
u kerap membuatku tergelincir. Kini, yang ada hanya barisan gedun
ah sampai
ran udah s
u ketua kampung di
an juga membawa tas. Lalu turun d
Ibu Alena," sa
ling kasak-kusuk membicarakan kedatangan kami. Jantungku berdegup kencang, saking kencangnya seperti hendak melompat saat aku melihat wanita yang dulu t
*
cont