di mulai gelisah. Saat ini, mereka tengah duduk di sebuah pos ronda yang terletak tak jauh da
u lagi merangkak di kulit. Meski begitu, kopi yang terhidang belu
uar rumah sejak dia menemukan jasad Mba
ingin mencicipi kopi. Ia merasa segan untuk menyeruputnya di saat seperti ini,
ren ke desa?" tanya Pak Harun yang sejak tadi duduk di sudut pos
ya orang yang meninggal adalah Mbah Atim yang misterius seperti kemati
sore, pria itu sudah berselimut sarung. "Lalu siapa
Pria itu memandang langit-langit pos ronda yang dipenuhi sarang lab
Sebenarnya, ia hanya ditunjuk untuk menggantikan tugas sang bapak yang sakit. Kalau saja bisa me
kesedihan hampir berbulan-bulan, membuat hidupnya hambar hingga sekarang. Ia belum mau men
ihat istri dan anaknya tengah tersenyum dan melambaikan tangan. Berkali-kali pula Aep menggeleng hingga akh
tua yang kini jadi perbincangan seisi desa. Mbah Atim menatap dingin padanya. Aep dengan cepat me
, Aep?" tanya Pak Yayat s
, Ep." Pak Har
ya mendarat di pos ronda. Pria itu dengan cepat menggosok mata, berkali-k
e tengah jalan atuh?" Pak Yay
ketabrak mobil, E
dannya juga terasa pegal dan ingin muntah secara bersamaan. "Saya
p. Tak ada lagi yang berbicara setelah itu s
yang duduk di kursi depan, "kami s
um saat mendengar kata pesantren. Syukurlah Ustaz Rojali berhasil membawa bantu
mengikuti dari belakang. Jenazah Mbah Atim segera diturunkan dari ambulans saat tiba di
ntri lantas membawa
Rojali memberanikan diri bertanya, "
awab santri yang me
gak jauh dengan masjid. Entah mengapa ia merasa ada kejanggalan da
ingat perkataan Aep tadi. Ia jadi ragu, apakah ia harus menceritakan kalau ia juga melihat bayangan Mbah
*
tetap di rumah, mengunci pintu rapat-rapat. Biasanya, selepas waktu magrib, anak-anak akan ramai mengaji bersama Rojali d
ra ayam di bawah kolong rumah, nyanyian serangga yang bertengger di dahan pohon, pekik kodok sawah y
pos ronda karena kendaraan itu tiba-tiba mogok. Helaan napasnya terdengar berat sei
n. Beberapa kali ia menggosok tangan, lalu menempelkanny
tan tinggi. Menyadari hal itu, Rojali tiba-tiba berdiri. Mobil polisi dan ambulans itu pasti baru saja mengantar jenazah Mb
li hidup. Sebelum ia melahap jalanan desa, ia sempat menoleh ke arah dua mobil tadi pergi. Syukurlah ia tak terlambat. M
apati keheningan seperti saat pertengahan malam. Cimenyan ikut menyuguhkan pemandangan serupa. Tak ada aktivitas
belakang bangunan, peralatan pemandian jenazah masih di tempat semula. Bersamaan dengan moto