kedua tangannya sebagai bantalan. Pandangannya menerawang pada tirai jendel
nya. Malu sebenarnya, tetapi Rojali tak punya pilihan lain. Di sisi lain, jemaah di masjid mendadak mengh
ya diisi dengan lantunan ceramah dari radio tua yang bertengger di b
kepolisian. Semua mengangguk setuju tanpa terkecuali dirinya. Pembunuhan dan
akat. Setiap kali Rojali bertemu warga yang kebetulan ada di luar, mer
i bibir kasur sembari memijat kepala perlahan. Langkah mengantarnya ke luar rumah untuk mengamb
ya kemudian menyisir sekeliling. Rumahnya berada di ujung perkampungan, berdampingan d
ila seseorang meniup tengkuknya. Dingin sekali. Beberapa kali ia harus menahan
la kamar mendadak terbuka. Rojali mematung sesaat, lalu bergerak untuk menu
sir dahaga. Pintu diketuk dari luar. Kencang sekali. Kening pemuda ber
dari balik tirai. Tak ada siapa-siapa di halaman rumah. Saat ber
ong
Bangunan berdinding bilik ini tak menampilkan sosok siapa pun se
ng s
hingga tengkuk. Bulu kuduknya meremang seketika. Mata pemuda itu melebar saat melihat pantula
ong
eringat segera mengucur deras selaras dengan debar jantung yang s
nggalkan rumah. Pemuda itu seketika jatuh terduduk. Kakinya bak kehilangan tulang saat sosok itu tiba-tiba berbalik. Kini, makhluk y
ong
mar ketika embusan angin dingin menerjang kulit kepala. Ya Allah, kenapa wa
*
uh di gerbang masuk perkampungan, sebuah motor yang membawa dua orang warga tengah melewati bec
kang pria paruh baya itu bicara. "Biasanya jam seg
da tahi lalat kecil di atas bibir dan lesung pipi yang timbul ketika te
opir yang juga bapak
uk. Euis mengeratkan pegangan pada pinggang bapaknya, sedang satu tangannya memegang keresek pem
menyapu pandangan ke dalam surau,
paknya sembari m
udian. Setelah salat subuh dan membersihkan diri, gadis itu membuk
apu halaman depan. Beres dengan satu pekerjaan, gadis itu kembali ke
" ucap Euis ramah m
atanya kosong dan wajahnya tampak pucat. Euis tak berani berkomentar meski sebenarnya merasa aneh. Pelang
gan. Ia meyampirkan jilbab ke bahu begitu dua wanita mengunjun
anita berciput kuning, Ceu Cucu. Matanya be
eu Ikoh. Kedua wanita itu saling melempar p
Tangannya kini menuangkan air p
eu Cucu cepat. Suaranya men
?" timpal
eu," jawab Euis terbat
riak Ceu Ikoh dan C
arung dengan langkah tergesa-gesa. Dasternya sengaja ia angkat untuk memudahk
ieu? ba
g. Rona wajahnya berubah. Beberapa kali ia melonggo
tanya menyisir sekeliling sebelum bicara. "K
a memang, Ceu? Memang t
Mati!" Wanita itu menekan sua
pi
ya berubah jadi batang pisang. Orang seperti dia pa
idak bohong,
indai sekeliling. "Sekarang kamu
cek, ia bergegas keluar dari pekarangan. Tubuhnya bergidik
nya masih denga
berang jalan, ia melihat bapaknya berjalan terges
" perintah bapaknya d
Euis membuntuti
ngan tergesa-gesa. "Bapak
ngat yang mengucur ia seka dengan ujung baju. Matanya bergerak gelisah dan se
k dalam. Napasnya tiba-tiba memburu. Sekilas ia meliha