Desa Ciboeh digegerkan dengan penemuan jasad Mbah Atim dalam kondisi tanpa kepala. Setelah kematian penjaga makam tersebut, kejadian-kejadian di luar nalar mulai menghantui kehidupan warga desa. Rojali, pemuda 26 tahun lulusan pesantren di kabupaten, berusaha menyibak tabir misteri di balik kematian Mbah Atim. Namun, semakin jauh melangkah, semakin dekat pula pemuda itu dengan fakta dan realita yang tersembunyi di balik peristiwa hilangnya salah satu warga lima tahun lalu, kelompok misterius bernama Kalong Hideung, juga pada jalan takdirnya sendiri. "Silaing butuh bantuan kaula (kamu butuh bantuan saya)?"
Desa Ciboeh, 1985
"Apa saya harus benar-benar pergi?" ujar Ujang begitu sepedanya menepi ke sisi jalan. Tangannya segera menyeka peluh di dahi dengan kain sarung yang tersampir di bahu.
Ujang menoleh ke belakang, tepatnya pada cahaya dari perkampungan yang kian meredup seiring sepeda menggerus jarak. Di sisi kiri dan kanan, terhampar persawahan yang berselimut gelap karena tengah dicumbu malam. Kakinya kembali bersiap di pedal sepeda, tetapi pikiran dan hatinya masih terkunci pada nyaman dan hangatnya kediaman.
Tatapan Ujang teralih pada pekatnya kegelapan di depan. Pria itu cukup beruntung karena petromaks yang berada di keranjang sepeda masih memberikan cahaya, berbanding terbalik dengan rembulan yang hanya mengintip di balik awan tanpa sudi membagi sinar.
"Apa saya harus benar-benar pergi?" ulang Ujang. Tubuh dan jiwanya mendambakan kasur empuk di rumah, sedang sang mertua dan istri menuntutnya agar tak pulang sebelum melaksanakan permintaan.
Ujang hanya memiliki dua pilihan malam ini. Pertama, pria itu kembali ke rumah dan langsung dihadiahi amukan mertua dan wajah masam sang istri. Kedua, ia akan selamat dari amarah penghuni rumah, tetapi harus berdamai dengan rasa takut ketika dihadapkan kengerian Mak Lilin.
Setelah menimbang, Ujang mengambil pilihan kedua. Dengan wajah setengah pucat, ia kembali mengayuh sepeda menuju kegelapan jalan di depan. Sebenarnya, Ujang tak keberatan bila Mak Lilin yang dimaksud adalah seorang wanita tua renta. Akan tetapi, realita berkata bila sebutan itu tak lain ditujukan untuk sebuah pemakaman di utara desa.
Semakin dekat ke arah tujuan, Ujang kian dibuat terengah-engah. Dadanya kembang kempis seiring bahu yang naik-turun. Pria itu berhenti tepat di depan gapura kuburan untuk menstabilkan napas. Tatapannya lantas mendongak, tepatnya pada setitik cahaya di gubuk milik penjaga makam, dan di sanalah tempat tujuannya.
"Sepertinya saya harus benar-benar pergi," gumam Ujang sembari turun dari sepeda, kemudian menyimpan benda beroda dua itu di bawah pohon. Tak perlu takut akan dicuri, Ujang sadar kalau hanya orang bodoh yang akan menginjak tanah Mak Lilin di malam hari. Pencuri akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan aksi.
Untuk sampai ke gubuk milik penjaga makam, Ujang harus melewati jembatan, hamparan pusara, kemudian menaiki tangga. Jaraknya tak begitu jauh dari gapura, hanya saja tekanan kawasan ini benar-benar membuat langkah melambat, berbanding terbalik dengan degup jantungnya yang kian cepat.
Bau kamboja seketika tercium ketika Ujang melumat kegelapan. Sisi kanan dan kiri dipenuhi dengan pepohonan bambu liar. Saat angin menerobos celah-celah tanaman itu, suara memekakkan akan langsung bertamu ke pendengaran.
Ujang seketika terpejam saat pekikan gagak dan dehaman burung hantu hadir menemani perjalanan. Ia bisa merasakan burung-burung itu mengamatinya di suatu tempat. Ujang tak punya nyali untuk sekadar mencari tahu. Ia hanya tak ingin saat sinar petromaks terangkat lebih tinggi, sesuatu yang tak ingin ditemuinya akan menampakkan diri.
"Mbah Atim," ucap Ujang saat melihat siluet manusia bergerak menuju jembatan. Bukannya ketakutan, pria itu malah mempercepat langkah. Ketegangan di wajahnya sedikit mencair.
Kegelapan memudar saat Ujang sudah berada di depan jembatan. Empat buah obor menyala di tiap sisi jembatan. "Mbah, saya ingin ... minta buah delima untuk istri saya yang sedang ngidam, boleh?" tanyanya.
Pria berpakaian serba hitam itu terus berjalan, tetapi Ujang menerjemahkan sebagai anggukan persetujuan. Untuk itu, ia segera berjalan di jembatan dengan penuh kehati-hatian. Rasa takutnya tak sekentara tadi.
"Mbah," panggil ujang saat berada di tengah jembatan. Begitu mengangkat petromaks lebih tinggi, ia sama sekali tak menemukan Mbah Atim. Namun, ia dengan jelas masih mendengar suara langkah kaki.
Begitu Ujang berhasil melewati jembatan, ia dengan tergesa-gesa menaiki gundukan tanah yang disusun menyerupai tangga. Sepintas, Ujang merasa bila ada seseorang yang tengah menatapnya. Namun, saat ia memastikan lebih jeli, nyatanya tak ada siapa pun di sana. Pemandangan yang tampak justru hamparan makam. Sialnya, tanah kuburan malah disiram cahaya rembulan yang kian memperjelas bentuk gundukan tanah dan batu nisan.
Ujang refleks menutup mulut begitu bau kamboja menyengat hidung. Sepanjang melumat tanah kuburan, ia tak berani mendongak, memilih mengikuti cahaya petromaks.
"Mbah," panggil Ujang.
Kali ini, Ujang memberanikan diri mendongak. Ia melihat orang yang dipanggilnya sudah lenyap ditelan kegelapan begitu melewati ujung pekuburan. Pria itu mengambil napas panjang, kemudian meneruskan perjalanan.
Cahaya bulan kini terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Suara burung dan serangga tak terdengar lagi saat Ujang mulai menaiki tangga. Suasananya teramat hening. Ujang bahkan bisa mendengar suara langkah kaki dan embusan napas sendiri. Namun, ada sesuatu yang ganjil menurut Ujang. Meski ia tengah berdiri di anak tangga terakhir dengan posisi tak bergerak, tetapi entah mengapa ia masih mendengar suara langkah kaki.
Apa mungkin ada seseorang di belakangnya?
Nyatanya tidak. Ujang hanya melihat kunang-kunang yang tiba-tiba muncul dari ujung tangga.
"Mbah." Panggilan Ujang berbalas dehaman seseorang.
Ujang sudah berada di depan gubuk. Delima yang diminta istrinya hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Ia lantas masuk, kemudian mulai memetik buah.
"Mbah, saya ambil tiga buah," kata Ujang sembari menyimpan sebungkus rokok yang berisi empat batang ke atas batu di depan gubuk, "nuhun."
Ujang menutup pintu pagar perlahan, lalu mengaitkan talinya pada paku. "Mbah-"
Mendadak wajah Ujang tertutup sarung saat angin tiba-tiba menerjang. Dedaunan ikut bergoyang karena aliran udara tadi. Pria itu kemudian melirik tempat terakhir ia melihat rokoknya. Rupanya batangan tembakau itu sudah tak berada di sana.
"Nuhun, Mbah," ujar Ujang sekali lagi.
Ujang kembali berjalan. Namun, baru saja ia menuruni dua buah anak tangga, pintu gubuk tiba-tiba terbuka kencang. Pria itu seketika meneguk saliva, menoleh ke arah suara, lalu memilih meninggalkan bangunan itu dengan segera.
Kunang-kunang menyambut Ujang saat dirinya menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Lolongan anjing tiba-tiba terdengar entah dari mana. Tangannya menghempas kerlipan cahaya milik kumpulan kunang-kunang tersebut dengan gerakan asal. Ujang benci makhluk itu. Kata orang tua dahulu, serangga itu adalah kuku orang mati, pertanda hal buruk akan terjadi.
Ujang kembali berada di area kuburan. Tubuhnya seketika menegang ketika mendengar suara raungan yang tiba-tiba. Sontak bulu kuduknya meremang dan jantungnya berdetak cepat seperti akan meledak.
Ujang dengan gemetar mengamati sekeliling, mencari pemilik suara raungan barusan. Ia dengan cepat menutup mulut dengan sarung ketika bau bangkai menyingkirkan aroma kamboja. Perutnya serasa diaduk-aduk dan ususnya laksana diluruskan paksa.
Ujang tak peduli lagi dengan lolongan anjing atau suara raungan itu. Ia hanya ingin cepat keluar dari area pemakaman. Saat berada di pertengahan arena kuburan, Ujang akhirnya memuntahkan isi perut. Ia sampai harus berjongkok untuk lebih mudah mengosongkan perut. Ia cukup terbantu berkat pijatan seseorang di lehernya.
"Nuhun, Mbah," ucapnya.
Saat menyadari hal yang tak semestinya terjadi, mata Ujang seketika terbelalak. Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras. Lehernya terasa basah karena cairan kental. Ujang yakin itu bukan balsem seperti dugaan sebelumnya, tetapi ia tak sudi untuk sekadar menerka jawaban. Ia lebih memilih berdiri dan segera enyah dari kawasan ini.
Saking tergesa-gesa, Ujang tak sengaja menjatuhkan keresek yang berisi buah delima hingga isinya menggelinding ke tanah. Dua buah delima tergelatak tak jauh darinya, tetapi sisanya terlempar agak jauh. Saat akan mengambilnya, lolongan anjing kembali terdengar.
Ujang merasakan lehernya kembali basah. Namun, ia memilih untuk mengambil buah delima terakhir. Di luar dugaan, rasa mual mengocok perutnya lagi. Bau busuk kian menyengat bersamaan dengan langkahnya yang semakin dekat dengan buah delima ketiga. Rasanya seperti ada ratusan ulat bulu yang berkumpul di tenggorokan.
Napas Ujang mendadak berhenti saat buah delima itu tiba-tiba terbang ke atas. Mau tak mau matanya mengikuti pergerakan benda itu. Ia terpaksa menggigit bibir saat melihat sesosok makhluk hitam berdiri di depannya. Pria itu dengan segara menahan teriakan yang akan meledak. Di saat seperti ini, entah mengapa kakinya malah mendadak tak bisa digerakan. Sekujur tubuhnya laksana batu yang tertancap kuat. Buah delima yang lebih dahulu ia pungut malah terjatuh kembali.
Dengan sisa tenaga dan kesadaran yang ada, Ujang memunguti kembali delima dan memasukkannya ke dalam keresek. Ia berharap bila apa yang dilihatnya barusan hanyalah bayangan. Namun, saat tubuhnya sudah setengah berdiri, makhluk hitam penuh borok itu malah menyodorkan buah delima terakhir ke arahnya. Bersamaan dengan itu, nanah dan darah menetes saat sosok itu tersenyum. Hanya manusia yang sangat bodoh saja yang mau menerima pemberian dari makhluk hitam itu, pikir Ujang.
"Ju-jurig!"
Ujang seketika pontang-panting di tengah area pemakaman. Lampu petromaksnya terombang-ambing hingga nyaris padam. Sekilas, ia menengok ke belakang. Makhluk itu masih berada di tempatnya semula, memelotot dengan mata merah menyala. Saking takutnya, Ujang tak sadar menangis. Ia tak peduli lagi dengan delima yang diminta istrinya.
Ujang yang dilanda panik tak menyadari jika kain sarungnya melilit kaki. Alhasil, ia terjatuh dari atas anak tangga hingga tersungkur ke bawah. Petromaksnya mati seketika. Ujang menggeliat bak cacing kepanasan, mengaduh di sisi jembatan.
Ujang mengelus kakinya yang terkilir. Berbekal pencahayaan dua lampu minyak dan paksaan kuat, ia berjalan dengan tergesa-gesa menuju jembatan. Langkahnya terkesan diseret.
Namun, kesialan Ujang nyatanya tak berhenti di sana. Jembatan kayu yang tengah ia pijak malah bergoyang-goyang karena diterjang angin. Ujang terombang-ambing di tengah jembatan.
"Ampun!" Ujang memegang kuat tali jembatan saat perantara dua jalan itu berguncang seakan hendak terbalik. Saat akan lari, kakinya malah terperosok. Berkali-kali ia berusaha menarik kaki. Namun, semakin kuat berusaha, kian dekat pula ia dengan makhluk hitam berbau busuk itu.
"Ampun!" Ujang tak berani melihat. Ia menangis sembari memeluk satu lutut, sedang satu tangannya berpegangan kuat pada tali jembatan. "Sa-saya tidak ada niatan ganggu. Jangan bunuh saya," ucapnya gemetar.
Ujang kian menunduk dalam, sedang tangisnya semakin menjadi. Ia menyesali kepergiannya malam ini. Kalau saja kejadiannya akan seperti ini, ia lebih baik menerima wajah masam istri dan omelan mertua selama seminggu.
Ujang mendongak saat merasa bau busuk mulai menghilang. Rupanya makhluk hitam itu sudah pergi. Pria itu mencoba kembali berdiri. Namun, nahas, saat ia menarik kakinya kuat-kuat, pijakannya tiba-tiba ambruk. Dalam satu tarikan napas, tubuh Ujang terjatuh. Untungnya, ia masih mampu berpegangan pada pijakan jembatan.
"Tolong saya!" Ujang berteriak. Raganya terayun-ayun di tengah jembatan.
Namun, setelah sadar kalau ia berada di area pemakaman, Ujang hanya bisa pasrah. Dalam keputusaasaannya, pria itu melihat makhluk itu berlari ke arahnya.
Ujang sudah tak kuat untuk terus berpegangan. Tangannya mulai mati rasa. Dalam hitungan detik, jemarinya satu per satu terlepas dari pegangan hingga akhirnya raganya jatuh ke jurang yang dipenuhi tumpukan batu.
"Anda tidak akan pernah mengahargai apa yang Anda miliki sampai Anda kehilangannya!" Inilah yang terjadi pada Satya yang membenci istrinya sepanjang pernikahan mereka. Tamara mencintai Satya dengan sepenuh hati dan memberikan segalanya untuknya. Namun, apa yang dia dapatkan sebagai balasannya? Suaminya memperlakukannya seperti kain yang tidak berguna. Di mata Satya, Tamara adalah wanita yang egois, menjijikkan, dan tidak bermoral. Dia selalu ingin menjauh darinya, jadi dia sangat senang ketika akhirnya menceraikannya. Kebahagiaannya tidak bertahan lama karena dia segera menyadari bahwa dia telah melepaskan sebuah permata yang tak ternilai harganya. Namun, Tamara telah berhasil membalik halaman saat itu. "Sayang, aku tahu aku memang brengsek, tapi aku sudah belajar dari kesalahan. Tolong beri aku kesempatan lagi," pinta Satya dengan mata berkaca-kaca. "Ha ha! Lucu sekali, Satya. Bukankah kamu selalu menganggapku menjijikkan? Kenapa kamu berubah pikiran sekarang?" Tamara mencibir. "Aku salah, sayang. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku tidak akan menyerah sampai kamu setuju."Dengan marah, Tamara berteriak, "Menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Selama tiga tahun yang sulit, Emilia berusaha untuk menjadi istri Brandon yang sempurna, tetapi kasih sayang pria itu tetap jauh. Ketika Brandon menuntut perceraian untuk wanita lain, Emilia menghilang, dan kemudian muncul kembali sebagai fantasi tertinggi pria itu. Menepis mantannya dengan seringai, dia menantang, "Tertarik dengan kolaborasi? Siapa kamu, sih?" Pria tidak ada gunanya, Emilia lebih menyukai kebebasan. Saat Brandon mengejarnya tanpa henti, dia menemukan banyak identitas rahasia Emilia: peretas top, koki, dokter, pemahat batu giok, pembalap bawah tanah ... Setiap wahyu meningkatkan kebingungan Brandon. Mengapa keahlian Emilia tampak tak terbatas? Pesan Emilia jelas: dia unggul dalam segala hal. Biarkan pengejaran berlanjut!
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. “Umurmu berapa ?” tanya Mamih “Sembilanbelas, “ sahutku. “Sudah punya pengalaman dalam sex ?” tanyanya dengan tatapan menyelidik. “Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... “ “Dengan perempuan nakal ?” “Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. “ “Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?” “Dengan ... dengan saudara sepupu, “ sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. “Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?” “Iya, saya berminat. “ “Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?” “Pertama karena saya butuh uang. “ “Kedua ?” “Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. “ “Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. “ “Saya siap Mam. “ “Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. “ Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Alicia adalah istri yang menyedihkan selama tiga tahun. Yang dia dapatkan dari apa yang disebut suaminya hanyalah ketidakpedulian, rasa jijik, dan lebih banyak ketidakpedulian. Sebuah kesempatan bersatu memicu harapan dalam dirinya bahwa Erick akhirnya berubah pikiran. Sayangnya, dia menemukan bahwa niat pria itu yang sebenarnya adalah untuk berdamai dengan cintanya yang hilang. Baik cinta dan kesabaran memiliki tanggal kedaluwarsa. Alicia tidak tahan lagi. Dia melemparkan surat cerai ke wajahnya. Alih-alih segera menandatanganinya, Erick menekannya ke dinding dan meludahi wajahnya, "Kamu ingin menceraikanku? Tidak akan terjadi!" Terlepas dari keengganannya, Alicia memutuskan untuk mengubah hidupnya. Dia mulai menaiki tangga kesuksesan dan segera menarik banyak pengagum. Erick tidak senang dengan ini. Ketika mereka bertemu satu sama lain suatu hari, Alicia ditemani beberapa anak. Sesuatu yang mendorong Erick untuk bertindak di luar karakter. "Biarkan aku menjadi ayah mereka," tawarnya. Alicia memutar mata ke atas padanya. "Aku tidak butuh bantuanmu, Tuan Ellis. Aku bisa mengurus anak-anakku sendiri." Namun, Erick tidak menerima jawaban tidak ....