yentuh mampu mengacaukan keharmonisan sistem pancaindra. Karena itulah,
dan menggigit, se-sakti itukah Handoko? Oh My God, seketika diri ini berubah menjadi penggila sesk karena dia! Tidak! Ini mer
n diri, lalu mengalihkan pandanga
k boleh minum alkohol. Bersembunyi di dalam lautan penari sampai mencapai tengah, memastikan Handoko tidak bisa melihat. Bebe
engan nada. Beberapa kali terasa ada tangan di pinggang, tetapi aku melepaskannya begitu saja. Aku sudah ter
yang memegang pinggangku. Rasanya semua orang menjauh dan seseorang mencegahku mendekat. Lebih
i dada orang yang menarikku saat lengannya melingkari pinggang. Aku mendongak untuk men
ia ... Han
i pinggangku. Lalu menarik lebih dekat, membuatku tenggelam ke dada hingga bisa mencium aroma tub
ndoko!? Aku menarik napas dalam-dalam, seraya menghirup aroma tubuhnya. Lalu semakin menundukan wajahku, hingga terdengar detak jantung. Lucu, nadanya sinkron dengan mili
a aku bi
endur di pinggangku. Aku menelan ludah, melihat wajahnya. Oh God! Aku
dan tampak geli
kirkan kata yang tepat, aku menahan napas. Handoko membungkuk dan menangkup wa
rim di mataku. Sialan! Napas panasnya semakin menghipnotisku, larut dalam angan d dalam himpitan waktu. Karena gugup, kugigit bibir bawah. Dia mengerang. Dengan ibu
kelezatan es krim
belakang punggungku, menarik lebih dekat padanya sementara yang lain, tetap memegang wajahku saat mencium. Entah mengapa
ciuman. Lidahnya menyapu lipatan bibir, mencari jalan masuk-yang tidak kuberikan padanya. Dengan geraman, dia menyerang bibir bawahku. Mengisap lalu menggigitnya, menariknya dengan
uman adalah pernyataan yang meremehkan
Berani-ber
, aku teringat wanita di acara wisuda tadi. Untungnya, aroma Handoko lebih dominan sehing
membuat jarak. Kulirik wanita itu, matanya mel
keributan, tetapi itu bagus. Sepertinya tidak ada yang memperhatikan, karena teria
siapa-siapa," kat
gue malam ini!" Wanita itu menatapku taj
rnah janji
udah ci
n tubuh ke gue!" ucapnya
nya mengepal. Jika bukan karena kege
lik, tetapi Handoko menghentikannya. Rahangnya bergetar, tangan mengepal dan m
kayak gitu lagi, gue bakal bunuh lo," kata Handoko, kemar
nya. Meskipun gelap, pucatnya terlihat jelas. Langkahnya
gnya. Dia menghela sebelum menatapku. "Maaf soal itu, Es Krim. Lo baik-baik aja kan?" Dia mengangkat t
bisa berdalih dan membela diri, saat tidur dengannya bulan lalu. Namun apa alasanku
rena tidak ingin menjadi seperti para wanita, yang hampir memamerkan diri padanya. Nyatanya, aku tidak terlihat berbeda da