eberapa baju sekalian mengerjakan skripsi di sana biar lebih tenang
mau menginap, biasanya dia segan dengan Mas Bima kalau dia d
tu rumah terbuka lebar un
u ibu memintanya untuk tinggal bersama kami. Saat berziarah ke makam bapak,
ia enam tahun yang lalu. Sebelumnya, ibu sudah berpesan agar Mas Bima mau menerima Dinda untuk tinggal b
umah sederhana ibu, sengaja kusewakan bulanan untuk kuliah Dinda. Meski masih
ari kampus karena sudah semester akhir. Lagipula dia ingin bel
k nggak ke mana-mana kan hari ini? Takutnya M
kembali masuk ke
bak di rumah aja. Mas Bima
ntuk memastikan aku tak ak
e,
arinya. Aku juga ta
at. Jarum jam menunjuk angka sembilan. Sat
*
k mewarnai di kamarnya. Sedangkan Bik Marni sudah te
embur. Dinda juga sama saja, bilang habis isya' sampai ruma
ut. Ponsel mereka sama-sama mati. Entah kena
a? Tadi makan dulu sebelum pulang. S
yar ponsel. Kuhembuskan napas le
dapet bengkel mobilnya b
asih ada bengkel yang buka, hingga Mas Bima tak perlu b
misal ngantuk kamu tidur duluan a
a,
a tapi tetap saja aku ingin menunggunya sampai pulang. Aku nggak mungkin bisa m
nina bobokan sambil menceritakan kisah Nabi. Kali ini kuceritakan kisah Nabi Nu
elap. Kutarik selimut untuk menutup tubuhnya hingga ke dada. Memat
g frozen food sekalian membuat jahe panas untuk menghang
, Dinda tersenyum menatapku. Badannya basah kuyub. Kuminta dia seger
dia sedikit salah tingkah. Ada bercak merah-merah di leher
n soal itu padanya namun urung kulakukan. Aku t
m masuk ke kamar mandi. Dia terlihat agak
capku sambil menyerupu
a menoleh ke arahku. Di
gkin karena sering di kost jadi nge
salah tingkah begini saat mengobrol denganku. Ah, atau ini hanya pe
i, Mbak sudah buatkan jahe
terlihat sedikit buncit, apa benar itu karena dia seka
h. Pikiranku
arasi. Hanya kebetulan kah jika Dinda
arus berpura-pura untuk biasa saja. Kita lihat saja n
*