tap
ku yang paling dalam, aku merasa kasihan padanya.
pannya, menelisik wa
bahunya dengan ragu, memastika
samping kirinya. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar ha
" Tanpa pikir panjang, aku mero
elanganku, mencengkeramnya lemah. Matanya menatapku tajam, menyiratk
kau tidak bisa menolongku..." suaranya nyaris
agi, jatuh lagi. Napasnya semakin berat, pundaknya berg
u meraih lengannya, meli
Aku nggak bisa gendong kalau nant
atapku sejenak, lalu
pe orang yang tega membiarkan seseorang kesakitan tanpa berbuat a
wanya keluar dari lorong sempit menuju jalan raya. Keringat dingin m
cari kendaraan yang melintas. Setiap ada mobil mendekat, aku m
g kulambaikan tangan justru melaju lebih k
setengah jam menunggu, tapi tak satu pun kendaraan yang sudi berhenti. Pergelangan tanganku mulai pe
alu perlahan membantunya duduk di atas rerumputan. Kalau aku t
kejauhan, seberkas cahaya lampu mobil menembus
gku be
dua...
tengah jalan, merentangkan kedua tan
belum siap bertemu Malaikat Munkar dan Nakir. Tapi kalau aku tidak mel
menggema keras di udara. M
dah bosan h
yang satunya. Dari balik jendela yang sedikit terbuka, seorang pria pa
e-memelas mungkin. Dengan suara penuh harap, aku mem
a. Hati bapak
" tanyanya sembari melirik ke ara
entikan ucapanku saat merasakan
leh ke samping dan mendapati tatapannya yang tegas
sebenarnya? Kenapa dia me
coba menekan rasa penasar
" akhirnya aku berkata, menye
n sepasang
menggeleng
am nadanya yang membuatku membeku. Untuk kesekian kalinya, tatapan kami be
y wife," imb
go. Apa m
rtentu untuk berbohong, dan jujur saja, aku tidak punya energi untuk mengurus h
l itu akhirnya berhenti di
h, Sir!" seruku lal
angguk kecil, tersenyum tipis
ang. Selesai satu urusa
besarnya, menyeret langkah berat menuju lift. Jemaringgalkan bayangan samar-samar wa
kamar. Tas punggung kulempar asal ke atas tempat tidur, lalu segera menga
saha terdengar setenang mungkin meskipu
memperbaiki posisi duduknya. Dengan g
ngsung me
tem
tnya, menghitamkan kain di sekitarnya. Aku menelan
punya
kini semakin pucat. Keringat dingin memba
uk apa?" suar
unnya bergerak naik turun. "Aku
ak. Mengelu
iya, se
mbuka laci-laci dengan panik. Chef knife. Aku menggeleng. Terlalu
lipat! Aku sering
gungku dengan tangan gemetar, hingga akhirnya
a kembali, duduk di sampingnya, dan meny
pasnya berat, wajahnya semakin pucat. Perlah
ujung pisau itu mulai menembus kulitnya
diri, melihat luka jahitan biasa saja s
ertahan terdeng
aku, suara ny
da ja
elirik ke samping dan l
enggam pisau yang kini sudah berlumur merah pekat. Di telapak tangannya ya
, menuangkannya ke kapas dengan tangan sedikit gemet
uhnya menegang sesaat. Pa
mengobati luka tembakan, tapi
l kain kasa, berusaha tetap fokus meski kepalaku te
ertembak? Siapa y
a mengusir ketakutan yang
Tuan lagi?" tanyaku
uknya. Kali ini, ia mengangkat kaus dan blazernya le
yang tidak diinginkan," kataku sambil membalut lukanya dengan kain kasa. Dengan pisau lipat yang t
ya menyandarkan kepalanya ke
kanan spesial yang bisa kusuguhkan. Kalau
ng tanpa me
a napas. "I
menatap wajahnya sejenak. Wajah yang kini terlihat semakin p
erayapi dadaku. Apa aku sudah mengambil keputus
Aku sendir
nuju tempat tidur, mengambil bantal dan s
r seperti itu. Tubuh T
tetap dalam posisi duduk t
enggeser tubuhnya perlahan hingga ia akhirnya berb
as di wajahnya. Napasnya masih terdengar berat,
a selama beberapa detik. Apa y