Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Crossing Faith
Crossing Faith

Crossing Faith

5.0
5 Bab
25 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Sebagai seorang CEO muda yang dingin dan ambisius, Dave tidak pernah mengira hidupnya akan berubah hanya karena kehadiran seorang wanita. Wafa, sekretaris barunya, adalah sosok yang berbeda dari semua wanita yang pernah ia kenal. Anggun, tegas, dan berprinsip kuat, Wafa bukan hanya sulit disentuh, tapi juga tak bisa digoyahkan. Pertemuan pertama mereka jauh dari kata menyenangkan. Namun, di balik bentrokan itu, tumbuh benih perasaan yang tak bisa Dave kendalikan. Perlahan, Wafa mengajarkannya sesuatu yang tak pernah ia sadari bahwa seorang wanita adalah mutiara yang harus dijaga, bukan sekadar dimiliki. Bersama Wafa, Dave menemukan sisi dirinya yang tak pernah ia kenal, sisi yang ingin menjadi lebih baik demi seseorang yang bahkan mungkin tak bisa ia miliki. Namun, di antara mereka terbentang jurang yang tak bisa dilompati. Keyakinan mereka berbeda, dan cinta dalam diam yang mereka rasakan hanya menjadi luka yang tak terucapkan. Bagi Wafa, cinta sejati bukan berarti harus bersatu. Terkadang, cinta sejati justru berarti melepaskan, karena apa artinya cinta jika orang yang kau cintai tak mencintai Tuhanmu? Mampukah Dave dan Wafa melawan takdir atau justru harus menyerah pada garis yang telah digoreskan sejak awal?

Bab 1 Awal Pertemuan

Sudah lima tahun aku bekerja di salah satu perusahaan ternama. Meskipun hanya sebagai karyawan biasa, aku tetap bersyukur atas setiap langkah yang telah kutempuh. Karena berada di titik ini bukanlah perkara mudah.

Proses masuk ke perusahaan besar seperti ini penuh tantangan. Ribuan kandidat terbaik bersaing, masing-masing membawa harapan dan ambisi. Aku melewati berbagai rintangan, ujian yang melelahkan, hingga akhirnya lolos seleksi dan mendapatkan tempatku di sini.

Namun, dunia kerja tak selalu tentang usaha dan kompetensi. Nepotisme dan kolusi masih merajalela, menjadi momok bagi mereka yang berjuang dengan keringat sendiri. Di zaman yang semakin keras ini, di mana pekerjaan lebih sedikit daripada pencari kerja, banyak yang memilih jalan pintas. Ada yang menyerah sebelum berjuang bahkan ada yang menjual harga diri demi sebuah posisi. Tapi aku selalu percaya satu hal, rezeki tak akan pernah tertukar. Jika Allah sudah berkehendak, tak ada satu tangan pun yang mampu menghalanginya.

Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, akhirnya ojek online yang kutumpangi tiba di perusahaan tempatku bekerja, The Golden Crown Company, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di berbagai bidang.

Saat hendak melangkah menuju ruangan, langkahku terhenti. Suara dari pengeras suara terdengar, menginstruksikan seluruh karyawan untuk segera berkumpul di auditorium.

"Anya! Ada apa?" Wanita berparas cantik itu tersentak kaget lalu berbalik.

"Ih, kamu ngagetin aja, Fa."

Aku mengulas senyum, sedikit merasa bersalah. "Maaf."

"Kamu nggak tahu kalau hari ini Pak Dave akan datang?"

Aku mengernyit, bingung. Nama itu tidak asing. Sepertinya aku pernah mendengarnya, tapi entah di mana.

"Dave?"

Anya mengangguk.

"Dave siapa?" Aku mencoba mengingat, tapi tidak mendapatkan gambaran apa pun.

Wanita berambut coklat sebahu itu menepuk jidatnya, tampak frustasi. "Ya Allah, Fa, sudah berapa lama sih kamu kerja di sini? Sampai-sampai nggak tahu siapa pemilik perusahaan ini!" Ia menarik napas lalu melanjutkan, "Dave Davidson William, putra sulung Robert Davidson William, pemilik tunggal The Golden Crown Company."

"Loh, terus Pak Irawan?"

Selama ini, yang aku tahu, pemimpin The Golden Crown Company adalah Pak Irawan Sujatya. Bukan aku tidak ingin tahu, hanya saja aku tidak mau terlalu kepo terhadap hal-hal yang bukan menjadi ranahku. Tugasku hanyalah menjalankan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab. Mencari tahu seluk-beluk masalah keluarga pemilik atau pemimpin perusahaan bukanlah bagian dari tugasku.

Anya menghela napas, lalu menatapku dengan serius.

"Dengerin baik-baik, Wafa Nurul Alimah! Pak Irawan itu general manager, orang yang bertanggung jawab atas seluruh pejabat di perusahaan ini. Dia diberi tugas langsung oleh Direktur untuk memimpin perusahaan, menjadi fasilitator bagi seluruh karyawan di semua level jabatan, serta mengelola operasional harian kantor. Selain itu, dia juga merencanakan, melaksanakan, mengoordinasi, mengawasi, dan menganalisis semua aktivitas bisnis di perusahaan."

Aku hanya mengangguk-angguk, berusaha mencerna semua informasi yang baru saja kudengar.

Sejujurnya, aku belum terlalu paham tentang struktur organisasi The Golden Crown Company, meskipun aku sudah bekerja di sini cukup lama. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku hanya fokus menjalankan tugas dan tanggung jawabku tanpa terlalu memikirkan hal lain di luar pekerjaanku.

"Terus, Pak Dave?" tanyaku, masih penasaran.

"Pak Dave adalah CEO sekaligus pemilik saham mayoritas di perusahaan ini," jawab Anya.

Sebelum aku sempat merespons, suara sambutan dari pengeras suara menghentikan percakapanku dengan Anya. Seketika, seluruh mata tertuju pada MC yang berdiri di atas panggung.

Acara dibuka dengan sambutan dari Pak Irawan. Tak lama kemudian, dengan penuh hormat, beliau mempersilakan seseorang untuk naik ke atas panggung.

Sosok pria bertubuh tinggi dan tegap melangkah ke depan. Setelan suit hitam yang dikenakannya melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menambah kesan karismatik yang kuat.

Pak Irawan turun dari panggung, menyerahkan sepenuhnya momen itu kepada pria tersebut, yang kini bersiap memulai pidatonya.

Senyum tipis terukir di wajahnya sebelum ia mulai berbicara. Suaranya dalam dan tegas saat membahas berbagai aspek perusahaan, dari prosedur kerja hingga visi ke depan. Ia juga menyampaikan apresiasi atas dedikasi setiap karyawan dalam menjaga kinerja The Golden Crown Company.

Setelah beberapa jam duduk mendengarkan pidato dari para atasan dan pemimpin perusahaan, akhirnya acara itu berakhir juga.

"Bukankah Pak Dave sangat tampan?" tanya Anya saat aku, Rara, dan Andin tengah duduk di kantin kantor.

"Iya, kamu benar! Dan aku dengar kalau Pak Dave masih single, loh," timpal Andin penuh semangat.

"Menurutmu gimana, Fa?" Rara menoleh ke arahku dengan penasaran.

"Apanya?" tanyaku, lalu menyeruput orange juice milikku.

"Pak Dave. Menurutmu, dia itu gimana?"

Aku hanya mengangkat bahu, tak terlalu peduli dengan topik itu.

"Kamu nggak asik, ah," keluh Andin dengan wajah sedikit kecewa.

Aku tersenyum tipis lalu berkata, "Daripada kalian sibuk membahas orang lain yang bisa berujung ghibah, lebih baik kita shalat. Dengar, Allah sedang memanggil hamba-Nya."

Begitu suara adzan Dzuhur berkumandang, aku segera melangkah menuju masjid yang berseberangan dengan kantor, diikuti oleh Anya, Rara, dan Andin.

Setelah shalat Dzuhur dan memunajatkan doa kepada Sang Khaliq, menumpahkan segala kerinduan dan keluh kesahku. Seperti biasa, aku tak pernah lupa membaca Ayat Kursi setelah shalat.

Dari Abu Umamah, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"Barang siapa yang membaca Ayat Kursi setelah setiap shalat fardu, maka tiada penghalang baginya untuk memasuki surga kecuali hanya mati."

"Wafa!"

Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggil namaku. Seorang wanita dengan rok hitam selutut dan high heels setinggi tiga sentimeter berlari kecil menghampiriku.

"Apa kamu sibuk hari ini?" tanya Mbak Faridah, Chief Marketing Officer di The Golden Crown Company.

"Tidak, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sopan.

Mbak Faridah tersenyum. "Bisa bantu Mbak menganalisis data pengeluaran produk untuk bulan ini? Sebenarnya ini tugas Mbak Susi, tapi dia sedang cuti melahirkan, sementara Mbak harus ke kantor cabang di Bandung untuk mengurus pengembangan produk."

"In syaa Allah, bisa, Mbak."

"Terima kasih ya, Wafa. Maaf merepotkan," ucapnya sambil menyerahkan map biru berisi dokumen.

"Iya, enggak apa-apa, Mbak," jawabku dengan senyum tipis.

Aku kembali ke meja kerja, membuka map yang baru saja kuterima. Mataku melirik jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul setengah lima sore. Itu artinya, hanya tersisa tiga puluh menit sebelum jam kerja usai.

Namun, setumpuk dokumen di hadapanku seolah memberi tahu bahwa hari ini aku harus lembur.

"Wafa!" Kudongakkan kepala.

"Kamu dipanggil sama Pak Irawan ke ruangannya. Sekarang!" ujar Sintia, asisten manajer, yang berdiri di depan cubicle-ku.

Aku mengangguk cepat, lalu bergegas menuju ruangan beliau.

Setelah diperbolehkan masuk dan tak lupa mengucapkan salam, aku melangkah mendekat. Pak Irawan tampak sibuk memeriksa beberapa berkas di mejanya.

"Maaf, apa Bapak memanggil saya?" tanyaku sopan.

Pak Irawan mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Ah, Wafa. Silakan duduk!"

Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan beliau, hanya terpisah oleh meja kerja besar yang penuh dengan dokumen.

Pria berumur setengah abad itu melepas kacamata minusnya, lalu melipat kedua tangannya di atas meja. Tatapannya tajam, namun terasa hangat.

"Kamu tahu kalau aku sangat bangga dengan kinerjamu selama ini, kan?"

"Iya, Pak," jawabku sambil tersenyum.

Selama bekerja di perusahaan ini, aku sudah tiga kali menerima piagam Model Employee. Penghargaan itu menjadi salah satu alasan yang membuatku semakin giat dalam bekerja. Namun, yang paling memotivasiku adalah dukungan Ibu, sosok yang selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkahku.

Ayah telah berpulang ke rahmatullah sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu, Ibu adalah segalanya bagiku.

Pak Irawan membuka laci di sisi kirinya, lalu mengeluarkan sebuah amplop putih. Ia menyodorkannya kepadaku dan memberi isyarat agar aku membukanya.

Tanganku merobek bagian tepinya dengan hati-hati, lalu menarik selembar kertas di dalamnya. Mataku membelalak saat membaca isinya.

"London, Pak?" tanyaku tak percaya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Apa yang terjadi   03-17 11:49
img
2 Bab 2 London
15/03/2025
3 Bab 3 Hari Pertama
15/03/2025
4 Bab 4 Midnight
15/03/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY