natan di
n. Meski lelap, tubuhnya sesekali bergerak gelisah, mungkin mimpi buruk terus menghantui pikirannya. Dalam kegelapan itu, meski lelah, aku tak bisa menahan diriku dari memikirkan betapa manis wajah Regina saat tertidur. Rambutnya yang kusut d
sudah bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada suara ketukan di pintu atau massa yang mengejar kami di malam buta. Tapi aku tahu, kami belum sepenuhnya aman. Di luar sana, si
ria tua yang tadi malam menolong kami dengan baik hati, berdiri di sana, menatap kami dengan tatapan koson
erak. "Apa yang kalian lakukan di sini?! Kalian ini pasangan
yang sebenarnya sedang terjadi. Pak Darman, pria tua yang tadi malam menyelamatkan kami, sekarang berteriak seperti orang yang melihat sesuatu yang salah. Lalu aku sadar. Pak Darm
gangkat kedua tanganku sebagai tanda menyerah. "Kami bukan seperti yan
curiga, dan tangannya terus menunjuk ke arah kami seolah menuduh. "Kalian! Kalian membawa
atangan. Aku bisa mendengar langkah kaki mendekat, suara-suara orang yang penasaran, dan bisikan mereka di luar mulai rama
tan kembali merayap ke dalam dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia menatapku, seolah meminta pertolongan atau setidaknya penjela
ngar pintu rumahnya diketuk dari luar. Suara-suara semakin jelas, dan aku tahu kami tidak punya banyak waktu lagi. Jika massa yang berkumpul di
gup kencang. Regina mengangguk lemah, masih tampak bingung dan ketakutan. Kami berdua segera melangkah ke pintu belakang rumah Pak Darman yang
a yang sedang terjadi di dalam. Sambil berusaha tetap tenang, aku menggandeng Regina melewati gang-gang kecil yang sepi. Gang-gang ini
jika massa yang mengejar kami tadi malam tiba-tiba muncul? Bagaimana jika Regina benar-benar dianggap bersalah? Atau bagaimana jika aku sen
dengan suara lemah, suaranya hampir tak terdengar. Aku berbalik dan menatapnya. Wajahnya tampak semakin
berat di pundaknya. Meski aku ingin mengatakan sesuatu yang menen
ya, meski aku sendiri tak yakin dengan apa yang aku katakan. "Kit
banyak. Aku menoleh, dan dari ujung gang, terlihat sekelompok orang berjalan cepat menuju kami. Wajah mer
ni!" teriak salah
ara suara orang-orang di belakang semakin keras. Kaki kami membawa kami ke gang-gang yang lebih kecil dan sempit, mencoba menjauh dari massa
tembok tinggi menghadang. Tak ada jalan keluar. Regina dan aku berdiri di sana, teren
u, wajahnya penuh ketakutan. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa membiarkannya terjebak di sini. Tapi sebelum
kan menjadi har