ik. Namun, dia paling tidak suka keheningan dan sekarang dia mengalaminya
ah-olah tidak melakukan apa pun. Tas hitam di pangkuannya dia pegang erat, setelah mengataka
bisa menunjukkan senyum kecut yang dia paksakan. Saat Pandu menoleh dia akan mencoba
ik-baik saja. Kan, meman
avara
aik-baik saja, mereka
.
nt
ru yang membentang di hadapannya, senyum manis membelai bibirnya lebar. Pagar pembatas di at
ekedar membasahi kaki dengan kamera di tangan. Dia bahkan tertawa geli, ketika mencoba melebarkan matanya, hanya untuk melihat butiran pasir di bawah sana. Sedetik kemudian
n dan menikmati bagaimana dingin air di pantai ini. Kedua kakinya bahkan sudah berger
terbang, tersapu dengan lembut. Dia menoleh ke kanan dan melihat nama pantai yang terpasang apik dan berdiri dengan gagah berwarna merah menyala. Inilah alasan kenapa Pravar
n buku di tangannya. Wajah Pandu yang serius membuat dua orang itu sedikit kikuk. Pravara ingin sekali tertawa dengan itu, di mana
telah berganti pakaian yang mereka beli, saat perjalanan kemari. Sebuah dress batik coklat pendek, tanpa lengan, dengan kerah renda
k me
i dress Pravara yang ternyata cukup terbuka. Laki-laki dewasa itu mengalihkan panda
ra melirik Pandu
u memakai jasku di dalam
k apa-apa. Aku suka baju ini," ucap Pravara yang
engeluarkan ponsel dan melihat pesan beruntun yang masuk ke dalam ponselnya, dia membalas cepat dan men
ngung, tetapi dengan mata yang tanpa sadar bersinar menat
yang ada di atas bukit, tidak jauh dar
a tersenyum simpul dan menganggukkan kepala. "Ah, oke.
elakang Pandu. Sebenarnya dia sangat berharap Pandu akan membawanya ke bawah dan sedikit bermain pasir. Sudah terlalu lam
an. Seper
u
oleh punggung lebar Pandu. Dia menunduk dengan perasaan ke
keras menabrak punggungnya. Laki-laki itu menyerngitkan dahi dengan tangan yang
lebih maju. "Sudah," ucapnya seraya menghentikan aksinya. "Lain kali, berjalan di samping saya. Seperti saat kita ber
datar tanpa senyum. Pandangannya lurus ke depan, mengamati tanjakan
Pravara m
dipkan matan cepat dengan kepala yang menoleh ke samping. Hal itu membuatnya tidak sadar dengan pijakan di depannya,
matanya melotot menatap wajah datar d
elihat ke depan dan apa-apaan dengan sepatu itu? Buka
-iy
avara untuk duduk di anak tangga. Dia melepaskan juga pelukan pada pinggang istrinya, lalu be
du telah menuruni tangga dengan cepat dan hilan
h Pandu? Pandu, suaminya? Ah,
ra masih di tempat yang tadi dia suruh. "Pintar," ujarnya saat tiba di depan Pravara. Kemudian laki-laki itu menu
wa suaminya adalah sepasang sandal tipis be
antong dan berdiri lagi. "Tunggu di sini,
T
ya yang tengah berlari kencang hingga menghilang dari pandangannya. "Padahal kan,
esa-gesa suaminya, yang baru saja memarahinya. Kini, Pandu t
Saya ha
*