dak terlalu cepat, konstan sambil terus menciumi bibirnya. Bu Haryadi gelagapan karena di dalam kuluman bibir
ayaknya sekitar 10 menit dia mulai mengejang lalu menjerit sekeras-kerasnya dan memelukku erat s
ak lama kemudian dia sudah memekik kembali. Vaginanya sangat nikmat karena jika aku berhenti Bu
mua lampu sehingga ruangan jadi terang benderang. Sejauh ini aku sudah membuat Bu Hary
ah. Dilepasnya penisku dari pepknya lalu aku didorong telentang. Otomatis aku telentang dalam keadaan bugil dan penis masih ker
besar kali, pantas aku mau
idak muat, akhirnya seluruh penisku dijilati sa
i mungkin hanya sekitar 12 cm dan kelihatan kurus. Bu Haryadi merangkak menjilati penisku sementara Pa
ina bu Haryadi terasa ada lendir bekas mani. Aku ajak bu Haryadi menaiki tubuhku dan aku menancapkan penisku memacak di dalam lub
ga aku memberi kode bahwa aku akan segera ejakulasi. Bu Haryadi makin seru bergerak sehingga akhirnya aku tidak tahan lagi menembak dengan
dia berpesan agar aku jangan melepas pelukannya dan dia minta tidur bersamanya.
n perlahan-lahan. Aku tanya apakah masih mau lagi pagi ini. Dia berbisik aku gak kuat, sebetulnya ke
di. Aku membatin di dalam hati dan akhirnya paham kenapa Bu Haryadi kurang puas dengan perm
di yang kelihatannya tak mau rugi punya kesempatan main den
a datang ke rumah manager. Urusannya tidak lain dari
emberikan hasil tambahan diberikan kepadaku. Di luar gaji aku mendapat tambahan pendapata
*
tasnya aku sudah berumah tangga. Banyak sekali yang menanyakan kapan aku beristri. Pertanyaan yang paling membuatku risih. Aku membayangkan kira-kira siapa wanita yang b
tidak ikut, karena masih ada kerjaan yang belum diselesaikan. Agar tidak terendus karyawan, Bu Haryadi berangkat ke Medan le
ggil Mbak Lies, karena namanya Liestiani. Aku sampai di Medan sekitar jam 1 s
Lies. Isinya dia akan mengajakku untuk bertemu orang penting kata
a nikmat sekali istirahat 3 jam, badan segar otak juga segar. Rasanya k
gajak turun ke basement tempat parkir. Mbak Lies berdandan cantik sekali menjadi tidak sebanding dengan aku yang hanya mengenakan jea
erdua duduk di meja yang agak terlindung dari pandangan. Tidak lama kemudian Mbak Lies menjawab telepon dan dia menjelaskan posisi kami. Tidak lama kemudian muncul seo
sedang aku memanggilnya "bu". Isi obrolannya juga tinggi semua. Gayanya seperti ibu pejabat. Wajahnya sih terawat, mungkin karena
an, karena Bu Shinta banyak mengetahui soal perkebunan. Sambil ngobrol aku sering memergoki dia melirikku. Seben
kir ada masalah bisnis atau masalah apa lah, tapi pembicaraan tadi nyaris ti
u menghindar menjelaskan. Aku pasrah saja dan melupakan saja. Aku h
ng Mbak Lies juga kembali ke kamarnya. Mbak Lies berpesan agar aku j