mukan. Beberapa hari yang lalu, Sintia menagih pekerjaan padanya. Namun, Radit berkata bahwa jadwalnya masih padat dengan beberapa model lain. Lagi pula, dia juga
na sudah termasuk model yang profesion
merah menyala, sumpah mati para lelaki hidung belang akan selalu berakhir dalam mimpi yang tak berujung. Sebetulnya, tak hanya itu, dan yang paling memabukkan darinya ialah ketika senyumannya merekah seperti kuncup bunga mekar di pagi hari. Pada saat itu terjadi, para istri akan selalu
etangga tidak tahu ke mana perginya wanita itu, juga tidak pernah melihat rumah Sintia terbuka pintunya. Sebagaiman
b. Dia mondar-mandir di dalam, lalu berdiri di pintu masuk yang pada saat itu para pengunjung ramai berdatangan. Tak menemuka
erus matanya sipit, kulitnya putih, rambut panjang sepunggung, dan mukan
mengernyit. Seolah-olah, salah satu dari mere
kan?" kata salah satunya sambil mencari persetujuan teman-temannya yang lain. Semuan
lo Sin
jika dia tahu nama Sintia, pasti dia juga mengenalnya. Setidak-tidaknya itu yang ada di pikiran Radi
? Dan sekarang kira-kira lo
an yang sebenarnya tidak terkubur terlalu dalam. Dia punya ingatan yang
ggak salah, sih. Terus dia tumben banget pulang cepet. Jam tiga udah pulang. Pa
na?" Radit berharap banyak dengan jaw
anita itu berkata, "Maaf,
ka meminta pekerjaan, Sintia juga pernah berkata butuh uang untuk dikirim ke kampung agar adiknya bisa kembali berkuliah setelah melunasi bia
Kalau gitu, gu
natapnya dari lantai atas, tepatnya dari sebuah ruangan khusus manajemen. Mata kuning setajam elang itu mengeko
I
belenggu. Tak ingin membuang-buang waktu, cepat-cepat dia berlari keluar dari gubuk kumuh dan entah pergi ke mana. Tak mungkin hutan itu tanpa ujung, dia pasti bisa keluar hingga
ya tampak lebam dan bengkak. Namun, itu tak membuatnya menyerah meskipun terluka di lutut dan kepala. Apa pun itu, yang penting dia tak keburu mati di tempat tersebut. Karena dia masih ingin hid
ggali siapa pun; dugaannya salah besar setelah melihat cahaya kehidupan di sana. Tebakannya bisa benar, pun bisa salah. Atau dia hanya sedang berhalusinasi karena pikirannya tertekan oleh segala hal misterius
Dia berjalan terpincang-pincang. Padahal hutan sanga
Buta arah dan terlalu buru-buru sehingga memperhatikan sekitar pun jadi agak sembrono. Sintia tersaruk sebuah batu dan itu sudah me
! Si
ahan. Sebisa mungkin dia menahan jerit yang senantiasa memecah kesunyia
k boleh nyerah! Laki-laki sialan
percaya. Dia berusaha memupuk keyakinan. Jika tidak berusaha menahan semua kesengsaraan itu, maka artinya
ik keringat menghiasi wajah, bercucuran di sana-sini, serta lumpur menutupi tubuhnya hingga leher. Jikalau ada lelaki melintas, memangnya dia akan tergoda dengan Sintia setelah melihat wajah kumal dan mencium bau busukny
ub
, dan tingkat kelusuhan; benar-benar persis. Tugas Sintia bertambah seiring bertambahnya pertanyaan di kepala. Kendati demikian, dia tidak mau buang-buang waktu, setidaknya dia bisa meminta bantuan pa
ungkiri bahwa degup jantungnya tengah berdentum secepat genderang perang ditabuh. Berkali-kali
itu pertanyaannya dalam hati. Tak ada pilihan lain. Rasa penasaran juga telah menerobos masuk membanjiri benaknya.
emang hanya dihasilkan dari bohlam lampu yang terpasang di depan pi
i teter dan kumbang kayu, dia mengambil napas sedalam mungkin. Sintia har
dalam," katanya, me
dan kelelawar menghambur keluar setelah pintu membuka. Sintia melejit menahan jerit. Dia
an jerit sambil membekap mulut. Langkahnya terus berlanjut hingga menemukan sebuah ruangan tak berpintu.
h suara makhluk hidup yang entah dia juga tak tahu apakah iblis, setan, demit, atau bahkan hewan buas yang jauh lebih mengancam nyawa. Beberapa detik kemu
batinnya sambil m
s pergi, tetapi saat kembali mepmosisikan pandangan ke depan, sesosok makhluk berpakaian serba putih dengan rambut panjang kusut menutupi wajah,
g ...
h itu tersenyum getir. Bulir
...
I