inta pertolongan. Seolah-olah dia sedang melihat malaikat penyelamat yang datang dari doa-doa yang sebenarnya telah tanggal sejak amat sangat lelah menghadapi detik-detik kehancuran. Secara
membusuk di tempat itu. Sintia tidak ingin menyelamatkan diri sendiri. Setidak-tidaknya dia harus melakukan sesuatu. Perasaan tak enak hati
arapan untuk sebuah keselamatan. Dia tahu seperti apa rasanya di
n kesedihan yang didorong empati dengan tingkat paling tinggi. Wanita b
litan untuk menentukan pilihan.
ku harus
putih itu kembali menghentikan. "Lelaki itu," kata
i yang dimaksud wanita berpakaian putih itu adalah orang misterius yang telah menelanjangi h
ebaskanmu. Tun
tersebut untuk digunakan? Dia bahkan bukan manusia super yang dapat membengkokkan besi dengan mudah. Sintia mengedarkan pandangan ke sekitar sambil berusaha mencari sesuatu yang dapat digun
rang itu belum masuk ke gubuk. Wanita yang berusaha dia selamatkan itu pun terlihat sangat
i balik debu dan kotoran yang menempel di wajah mereka,
membenturkan batu ke rantai besi paten berkarat. Sedikit pun tida
menelusup dalam benak. Dan seketika segala pikiran buruk menghampiri. Sintia memeluk wanita itu, kemudian berangsur-angsur mundur hingga punggungnya mentok pada dinding. Sesungguhnya, tak a
a lelaki itu. Sintia berusaha menelan semua rasa takut. Dia memang harus melawan jika ingin bebas dan mendapatkan kembali kehidupan normalnya. Jika t
wajah bengis yang dibuat-buat hanya untuk menakut-nakuti lelaki di depannya. Matanya membelalak. Nap
elera humornya terlalu rendah untuk seorang manusia kejam. Atau mungkin juga dia hanya berpura-pura tertawa untuk memuaskan dirinya sendiri, dan j
tanya makin awas. Dia mendekap
rtanyaan basi. Tida
ari kehendak atau mungkin hatinya yang tak setuju melakukan hal itu. Bukannya hal wajar melakukan perlawanan jika dalam keadaan terdesak? Dia sedang teranca
pa? Ayo, lempar saja kalau kamu bisa melakukannya,
sabar melihat lelaki itu bercucur cairan kental. Bisa d
elaki itu. Dia tak lupa dengan semua hal yang lelaki itu lakukan. Hanya saja, kata hati kecilnya: dia tidak bisa membalas dendam dengan amara
nyak kemungkinan yang tidak bisa dia kendalikan dalam pikiran, batu terlepas. Dendam tak bisa dia balas
ehilangan kesucian. Lelaki itu yang merampasnya, menjebol gawang pertahanan Sintia, lalu menyisakan luka perih yang tertanam di kedalaman hati
i dengan harapan tepat mengenai sasaran. Sayang, harapan itu kandas. Mungkin karena wanita itu tak punya banyak tenaga. Bahkan untuk berd
ena angin bertiup kencang. Raut wajah wanita itu berubah kecewa. Nasibnya begi
elaki itu mencekik leher merek
katanya. "Seharusnya kalian bersyukur karena
nggunakan hatinya untuk mengambil keputusan yang salah. Kebaikan hatinya tidak digubris lelaki itu sedikit pun. Sintia betul-betul sadar dengan kebodohanny
pas
Bau kalian menjijikkan!" katanya sambil
adaan. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat kayu tinggi-tinggi, dan diayunkan satu per satu ke kepala kedua perempuan itu tanpa belas kasihan. Me
pasangkan cukup berkarat dan sulit terpasang. Memakan banyak waktu sehingga Sintia lebih dulu sadar. Dia membuka mata, menemukan lelaki itu sedang berusaha membelenggunya sebagaimana perempuan berbaju putih. Karena tidak ingin ketahuan, dia menyetabilkan napas, s
terius, dia seolah tersihir dengan ketampanan yang tiada tara. Tak menyangka seseorang yang berbuat kejam layaknya setan itu adalah pria bermata kuning setajam elang. Juga dengan
selang lama, lelaki itu mendorong, lalu menekan kepala Sintia ke dinding. Dia bermaksud agar Sintia
a? Masih banyak sekali pertanyaan lain yang tentu belum dapat Sintia temukan jawabannya. Mungkin tak hanya Sintia yang menjadi sasaran kejahatan lelaki itu. Bisa jadi masih banyak lagi yang menjadi korban dan berada di te
!" teriak Ste
I