Pancaka adalah musuh bagi seluruh sekte aliran putih, netral, dan hitam. Dia membuat onar dan meratakan semua sekte tanpa sebab. Namun, siapa sangka jika Panca sang pemegang pedang tanpa bilah yang sanggup menepis semua serangan itu berhasil dikalahkan. Ia dikalahkan dan dikirim kembali ke masa lalu. Akankah ia merubah sifatnya menjadi lebih baik setelah dikirim ke masa lalu, atau ia malah semakin menjadi jahat, siapa yang tahu?
Di sebuah lembah yang cukup luas, terdapat puluhan pendekar tingkat suci dan ratusan pendekar tingkat raja sedang mengepung seorang pendekar berambut panjang dengan parasnya yang di atas rata-rata. Para pendekar dari berbagai macam sekte dan aliran itu terlihat begitu murka dan kesal terhadap pendekar berwajah tampan dengan sebuah pedang tanpa bilah di tangannya itu.
"Hari ini kau akan menjemput ajalmu, Pendekar Pedang Patah!" teriak salah seorang dari ratusan pendekar yang ada di sana dengan geram.
Namun, berbanding terbalik dengan pendekar yang bergelar Pedang Patah itu. Dia tampak santai dengan eskpresi mengejek, menatap ke arah puluhan pendekar tingkat suci yang ada di depannya.
"Kau yakin aku akan menjemput ajalku? Mungkin kau salah tebak. Bisa saja kau yang lebih dulu pergi ke neraka, Pak Tua!" balas pemuda itu meneriaki pendekar yang tadi meneriakinya.
"Kurang ajar!" pekik pendekar yang kira-kira berumur tujuh puluh tahun ke atas. Namun, karena tenaga dalamnya yang tinggi, wajahnya terlihat jauh lebih muda dibandingkan usia sebenarnya. "Aku pendekar suci dari sekte Tapak, Genting Mahesa akan mengakhiri riwayat hidupmu hari ini juga."
"Oh! Seramnya. Aku bisa merasakan celanaku basah karena mengompol saking takutnya," ledek si pendekar yang bergelar Pedang Patah itu dengan ekspresi pura-pura ketakutan.
Lalu dari balik kerumunan pendekar tingkat suci dan raja itu, munculah seorang pria tua berjanggut dan berambut putih yang ia yakini berumur lebih dari seratus tahun. Sama seperti pendekar sebelumnya, pria tua ini juga pastilah dapat mempermuda penampilannya berkat tenaga dalam yang dimilikinya.
"Kau terlalu meremehkan orang, Anak Muda. Jangan salahkan kami jika kau meregang nyawa kemudian," ucap lelaki berperawakan seperti biksu itu.
Pendekar itu tersenyum dengan percaya diri dan membusungkan dadanya. "Apa yang perlu kutakutkan jika aku memiliki pedang ini?" Ia mengacungkan gagang pedang tanpa bilah itu tinggi-tinggi ke atas langit.
Berkat pedang itu, ia dijuluki sebagai Pendekar Pedang Patah. Bukan berarti pedang itu jelek sehingga mudah patah, justru karena itulah kekuatan sesungguhnya dari pedang tanpa bilah itu berasal. Setiap kali serangan-baik itu fisik atau tenaga dalam-dapat dihalau dengan mudah oleh pedang tanpa bilah itu. Sebuah gagang pedang yang memiliki kemampuan untuk mementalkan semua serangan yang terarah pada pemegangnya.
"Kalau begitu, kau belum bertegur sapa dengan Pedang Pembalik Takdir milikku, Anak Muda," ujar pria tua berambut putih tadi.
Pendekar Pedang Patah mengerutkan keningnya melihat sebuah pedang yang meliuk seperti sebuah keris yang tipis dan panjang. "Pedang aneh macam apa itu?" tanyanya sedikit mengolok. "Mari kita beradu saja kalau begitu, Kakek Tua!" teriaknya yang langsung melompat ke depan menerjang puluhan pendekar tingkat suci dan raja itu.
Melihat musuhnya melompat mendekat, para pendekar suci itu tentu saja tidak menyia-nyiakan waktu, mereka menarik keluar semua senjatanya mulai dari tombak, pedang, golok, dan lainnya.
"HYAAAAAH!"
Pertarungan tak terelakan, Pendekar Pedang Patah tampak menari-nari di tengah kerumunan pendekar tingkat tinggi itu. Setiap serangan yang terarah padanya dapat dengan mudah ia halau dengan pedang tanpa bilah miliknya.
"Hanya segini saja kemampuan dari para pendekar tingkat suci danr raja? Nenekku bahkan bisa melakukannya lebih baik," ejeknya sambil terus bergerak menghindari semua serangan yang terarah padanya.
Genting Mahesa yang melihat sedikit celah dari musuh segala pendekar itu langsung mengeluarkan sebuah jurus pamungkasnya. "Raungan Singa!"
Ia melepaskan tinjunya ke udara yang ditujukan pada Pendekar Pedang Patah. Sebuah gelombang udara tak kasat mata tampak bergerak cepat mengincar tubuh bagian belakangnya.
Seakan menyadari ada bahaya yang mendekatinya, Pendekar Pedang Patah lantas memutar tubuhnya dan melihat serangan itu. "Lambat," ucapnya melihat serangan dari Genting Mahesa yang memang terkesan lambat. Ia meletakan tangan kirinya di depan mulut seolah menahan kantuk menunggu serangan itu datang padanya.
Kemudian, saat serangan itu sudah mulai mendekat padanya, ia langsung memasang kuda-kuda siap siaga.
"Kembalilah ke pemilikmu," katanya dengan santai memukul gelombang serangan itu kembali pada Genting Mahesa seolah-olah sedang memukul bola bisbol.
Genting Mahesa yang melihat serangannya berbalik kembali padanya-dengan laju dua kali lebih cepat-sontak membulatkan matanya. "Ap-sial." Pak tua itu menggeram ketika jarak serangnya sudah tak mungkin dihindari lagi.
Namun, saat serangan itu hendak mengenainya, sebuah pedang berbentuk aneh seperti keris menahan dan menghilangkan serangan itu. "Lawanmu adalah aku, Pancaka sang Pendekar Pedang Patah yang menjadi biang onar di dunia persilatan."
Pancaka-nama dari si Pendekar Pedang Patah-mendecih sebal pura-pura marah ketika serangannya dihalau dengan mudah. "Kau benar-benar tak asik, Pak Tua Surawisesa," katanya dengan tampang cemberut.
Anggada Surawisesa-nama dari pendekar pemilik Pedang Pembalik Takdir-hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar hal itu. "Kau benar-benar anak nakal, Panca. Kemarilah. Pak Tua yang tak asik ini akan mendidikmu dengan benar." Setelah mengatakan itu, sebuah ledakan aura suci keluar dari tubuhnya.
Para pendekar suci yang melihat hal itu seketika mengambil satu langkah mundur. Mereka memang pendekar tingkat tinggi, tapi hanya segelintir pendekar suci saja yang memiliki tenaga dalam sebanyak tujuh gerbang seperti Anggada Surawisesa.
Dan salah satu yang bisa menyainginya tentu saja Panca. Pemuda berusia dua puluhan akhir itu balik menantang dengan meledakkan aura pembunuhnya yang berada di tingkat yang sama meskipun sedikit di bawah Surawisesa. Ia berada di gerbang keenam akhir.
"Boleh juga kau, Pak Tua. Mungkin aku akan meladenimu menari."
Surawisesa tidak menjawab, ia memberikan isyarat tangan agar Panca mendekat.
Panca menyeringai lebar melihat hal itu. "Aku datang, Pak Tua. Bersiaplah!" Setelahnya, Panca melayang di udara dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tingginya.
Melihat hal itu, Surawisesa pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua melakukan jual beli serangan di udara. Para pendekar suci yang lain hanya bisa menatap hal itu dengan decak kagum.
Sebenarnya, Panca adalah pendekar yang cukup hebat. Namun, dia menyalahgunakan kemampuannya itu dengan melakukan perbuatan onar, merusak sekte, dan bertindak semaunya. Selama beberapa tahun ini, ia benar-benar membuat dunia persilatan kacau balau berkat pedangnya yang patah itu.
Pertarungan berlangsung sengit. Panca menyerang para puluhan pendekar tingkat tinggi di sana selagi ia bertukar serangan dengan Surawisesa. Akibatnya, hanya tersisa mereka berdua yang masih sadar di lembah yang kini tampak porak poranda itu.
"Kau ... apa yang menimpamu sehingga kau berbuat sejauh ini, Panca?" tanya Surawisesa dengan napasnya yang terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya di mana para rekannya tergeletak, sebagian tewas dan sebagian tak bisa bertarung lagi.
Sudah seharian mereka bertarung, dan keadaan cukup imbang karena perbedaan usia yang cukup jauh di antara mereka. Kalau saja Surawisesa berada di usia puncaknya, maka hampir mustahil Panca dapat bertarung seimbang dengannya.
Panca mendecih kesal mendengar Surawisesa berusaha mengulik masa lalunya. "Kupikir kau datang ke sini untuk bertarung, Pak Tua. Pergilah ke tempat lain kalau kau hanya ingin mengocehkan sesuatu yang tak penting." Panca kembali melompat tinggi dan menukik tepat ke arah Surawisesa.
Surawisesa tampak tersenyum sekilas di wajah tuanya. "Kalau begitu, tidak ada cara lain. Aku harap kau bisa berubah setelah ini, Panca," ucapnya. Ia lalu merapalkan sesuatu di depan pedang berkeloknya. "Pembalik Waktu!"
Sebuah gelombang dahsyat keluar dari hunusan pedang berkelok itu, membuat Panca yang sedang berada di udara terpental dibuatnya.
"AAAAKHHH!"
BRUK
Panca terpental cukup jauh lalu terjatuh dan tak sadarkan diri.
***
Hari sudah pagi ketika Panca tersadar dari pingsannya, ia mengerang sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. "Emh, di mana ini?"
Namun, betapa terkejutnya ketika ia merasakan tangannya menyusut di balik baju yang kini membuatnya tenggelam di dalamnya.
"Apa-apaan ini!" serunya panik ketika ia mengarahkan kedua tangannya ke depan. "Aku berubah jadi bayi?!" Ia lantas berlari ke sungai yang berada tak jauh dariya dan melihat pantulan dirinya di air.
"Tidak, ini pasti mimpi. Tidak mungkin!"
Pancaka sang Pendekar Pedang Patah yang terkenal di seantero jagat dunia persilatan karena ilmu kanuragannya yang tinggi, serta sepak terjangnya yang begitu buruk di dunia persilatan, kini sedang terpaku di tepi sungai, menatap pantulan dirinya yang kini berubah menjadi anak kecil berusia lima tahun.
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
Anne mengikuti kontrak tertentu: dia akan menikah dengan Kevin dan melahirkan anaknya pada akhir tahun. Kalau tidak, dia akan kehilangan semuanya. Namun, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Menghadapi penghinaan hari demi hari, dia sudah kehabisan kesabaran. Kali ini, dia tidak mau menyerah. Pada hari kecelakaan Kevil, Anne mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya. Meskipun dia hidup, dia akan segera menghilang di hadapan dunia. Nasib mereka terikat sekali lagi setelah bayi mereka tumbuh. Anne mungkin telah kembali kepadanya, tetapi dia bukan lagi wanita yang sedang mengejar cinta Kevin. Sekarang, Anne siap berjuang untuk putranya.
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"