Merlyn Diwangkara-si Princess irit dengan tingkat keonengannya yang hakiki-ingin lepas dari bayang-bayang nama besar Diwangkara's. Kehidupannya yang selama ini bagaikan burung dalam sangkar emas, membuatnya bertekad untuk menunjukkan pada dunia, kalau ia mampu hidup mandiri di atas kakinya sendiri. Sementara itu, Galih Kurniawan Jati-polisi galak namun berprestasi negeri ini-selalu saja ketiban sial setiap kali bersinggungan dengan gadis berpemikiran 'minimalis' ini. Alih-alih menghukumnya, Galih malah acap kali menjadi kesatria berbaju zirahnya. "Anda ini bahkan tidak bisa membedakan mana kucing dan mana serigala. Bagaimana mungkin, Anda bisa survive hidup sendirian di luar sana?" -Galih Kurniawan Jati "Mungkin saya memang tidak bisa membedakan mana kucing dan mana serigala. Tapi, saya tahu apa persamaan mereka ; sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Saya benar, kan, Pak Polisi?" -Merlyn Diwangkara
"Bang, Mer pengen banget nonton X-Man Dark Phoenix. Mer boleh nonton kan, Bang? Cinema 21 deket ini. Mer tinggal ngesot aja udah nyampe sono. Boleh nggak, Bang? Boleh ya? Ya ya ya?"
Merlyn mengguncang-guncang bahu abangnya yang tengah membuatkan susu hamil untuk Bintang, istri tercintanya. Semenjak kedua orang tuanya tahu bahwa menantu kesayangan mereka hamil, mereka meminta agar abangnya dan Bintang tinggal bersama mereka semua. Kedua orang tuanya ingin agar Bintang ada yang memperhatikan dan menjaga. Beginilah keposesifan para pria-pria Diwangkara dalam menjaga wanita-wanita mereka. Mirip banget kayak kehidupan garingnya si Birdy, burung Kenari Yorkshire kesayangan ayahnya. Disayang-sayang, dielus-elus, untung aja nggak dijemur-jemur. Kalau Bintang beneran dijemur kayak si Birdy, bisa kering kerontang dia kalau habis dijemur tapi lupa diangkat. Kan gawat?
"Abang lagi mual-mual ini, Mer. Nggak bisa nemenin kamu. Bintang juga kurang begitu enak badan. Kamu tega apa kita ninggalin Bintang sama si bibik aja di rumah?"
Tian mengangsurkan susunya pada Bintang yang dengan patuh segera mengosongkan isi gelasnya. Ia tidak mau membuat Tian kecewa. Karena walaupun sedang mual-mual parah, suaminya itu tetap saja dengan telaten mengurusnya. Tian ini memang benar-benar suami siaga.
"Lah yang minta Abang nemenin Mer, siapa? Mer cuma minta izin pergi sendiri, Bang. Bukan minta Abang temenin. Kalau Mer nggak boleh bawa si Thunder juga nggak apa-apa kok. Mer pesen Gra* aja. Ya, Bang ya?"
Merlyn kembali berusaha merayu abangnya. Dan sialnya, abangnya pura-pura tidak mendengarkan rengekannya. Santai beut bawaannya. Alamat batal nonton lah ini. Namun saat terdengar suara mobil yang mendekat, Merlyn tersenyum sumringah. Bala bantuan telah datang. Kalau anak sholehah mah, pasti ada saja jalan keluarnya. Merlyn bergegas mendekati jendela. Mengintip siapa saja yang ada di dalam mobil. Ternyata hanya Mang Yayat seorang yang keluar. Kehadiran bundanya tidak terlihat sama sekali. Pertanda baik. Hehehe.
"Nah itu Mang Yayat udah pulang. Tapi bundanya nggak ada. Berarti bunda bakalan lama di rumahnya Tante Maddie. Mer minta dianterin sama
Mang Yayat aja ya, Bang?" Dan lagi-lagi abangnya menulikan telinganya. Pura-pura tidak mendengar kalimatnya. Merlyn jadi empet banget melihatnya.
"Abang ini semenjak pekak jadi sombong kali lah Mer lihat. Beneran dibikin pekak sama Tuhan, baru Abang tahu rasa," Merlyn kesal sekali karena terus dikacangin oleh abangnya. Mungkin sebaiknya ia meminta bantuan kakak iparnya. Biasanya abangnya ini kan manut banget sama istrinya.
"Bi, bilangin laki lo dong izinin gue pergi. Lo ajak ngapain kek dia di kamar. Ntah main ludo, monopoli atau kuda-kudaan. Pokoknya jauh-jauh dari gue aja." Bisik Merlyn pelan. Abangnya ini kan cinta banget sama Bintang. Kali aja dia nurut kalau dibujuk kakak iparnya.
Bintang menghela napas pasrah. Apa boleh buat, ia kasihan juga pada ipar naifnya ini. Keposesifan mertua dan suaminya, membuat kakak iparnya ini bagai dipenjara di dalam rumahnya sendiri. Ia akan mencoba membantu membujuk suaminya agar memberi sedikit ruang pada kakak iparnya. Semoga saja usahanya membuahkan hasil.
"Izinin aja kenapa sih, Kak? Kasian itu Mer udah ngebet banget pengen nonton. Tiap hari ngendon di rumah kan dia bosan juga. Kakak masih mual-mual ya? Mau Bintang pijitin nggak?" Bintang mengelus-elus lengan suaminya dengan mesra. Terpaksa memanipulasi suaminya sendiri demi meluluskan keinginan adik iparnya. Merlyn terlihat senyum-senyum evil melihat aksinya.
Merlyn yang menyaksikan secara live aksi rayuan maut Bintang, tersenyum bahagia. Abangnya pasti klepek-klepek kalo udah dielus-elus Bintang. Kakak iparnya ini walaupun usianya lebih muda darinya, tapi tingkahnya dewasa banget. Anak ibu guru gitu lho. Bukannya anak bunda oneng. Eh itu mah gue! Durhaka banget ngebatinin bunda sendiri. Maafin Merlyn ya, Bun?
Abangnya tidak mengucapkan apa-apa, tetapi tangannya merogoh saku, meraih ponselnya. "Hallo Tama, lo tadi siang bilang mau nonton X-Man Dark Phoenix kan? Gue nitip adek gue, bisa nggak? Oke... oke... gue akan suruh dia siap-siap sekarang juga." Tian menutup teleponnya. Merlyn cemberut. Seperti biasa, abangnya pasti akan menitipkannya pada Naratama Abiyaksa lagi. Dia sih sebenarnya nggak apa-apa. Toh Bang Tama baik ini. Tapi pacar judesnya itu lo, si Karina Winardi. Kerjanya ngoceh-ngoceh mulu kalau dia ikut. Mbencekno banget rasanya.
"Bang, masak Mer ikut nonton sama Bang Tama dan Karin lagi? Ntar Karinnya ngomel-ngomel mulu lagi dari mulai filmnya tayang sampai filmnya kelar, kayak bulan lalu. Mer sampai lupa jalan cerita filmnya tapi malah inget semua kata-kata omelannya Karin. Lepas tu--"
"Ohhhh... jadi kamu nggak mau nonton nih? Yah udah, Abang batalin aja ya sama Tama. Ntar dia capek-capek jemput ke sini kamunya malah nggak mau--"
"Mau dong, Bang. Mau bingits. Bentar Mer ganti baju dulu." Merlyn buru-buru mengangguk saat melihat abangnya bermaksud untuk menelepon Tama lagi. Dari pada tidak jadi menonton, lebih baik ia menebalkan telinganya. Anggap saja Karina itu si Leo, burung beo ayahnya. Ngoceh, ngoceh dah sana. Yang penting ia bisa ikut nonton. Titik. Demi mempersingkat waktu, ia segera mempersiapkan diri. Sepuluh menit kemudian, ia sudah rapi dengan minidress putih gading dan sebotol air mineral di tangan.
"Ngapain kamu bawa-bawa air mineral segala, Mer? Kan nggak dibolehin bawa makanan dan minuman dari luar. Ntar kamu kena razia lagi."
Tian benar-benar speechless melihat tingkah adik semata wayangnya yang iritnya tidak ketolongan. Bila biasanya para wanita akan berdandan paripurna dengan menyelipkan sebuah clutch mungil nan anggun di tangan mereka, tapi adik iritnya ini melengkapinya dengan oversize bag yang berisi berbagai cemilan dan sekaligus air mineral.
"Habisnya mereka jualan harganya nggak kira-kira sih, Bang. Masak aqu* yang biasanya harga empat ribu di sana jadi dua puluh ribu? Yang pengen kali lah mereka itu cepat kaya. Bagusan Mer bawa cemilan dan air minum sendiri dari rumah. Supaya nggak ketahuan, ya dimasukin dong semuanya dalam tas besar. Abang sih otaknya nggak dipake mikir. Boros kan jadinya?" Merlyn bangga sekali dengan pemikiran cerdasnya yang inovatif. Ia heran melihat cara berpikir orang-orang termasuk abangnya yang sangat boros di luaran. Kalau bisa menghemat, ngapain juga buang-buang uang? Oon beut mereka semua kan?
"Tanggung amat kalau kamu cuma bawa makanan dan minuman. Kursi nggak sekalian kamu bawa aja dari rumah, Mer?" Sindir Tian sarkas. Adiknya ini memang kebangetan dalam segala hal.
"Wuidihhh... Abang tau aja apa yang ada di otak Mer. Tadi rencananya sih emang mau dibawa. Tapi kan kursinya besar. Ntar takutnya nggak muat lagi mau dimasukin ke mobilnya Bang Tama." Tian hanya bisa mengelus dada saja. Cara berpikir adiknya tidak mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usianya. Mentok seperti cara berpikirnya anak SD.
Tin... tin... tin...
Mendengar suara klakson mobil, Merlyn segera mencanglong tas besar dan memakai sepatunya dengan tergesa-gesa. Tama telah tiba di pintu gerbang.
"Jangan ke mana-mana sendirian. Kalau mau ke toilet, minta dianterin sama Tama. Jangan gangguin orang pacaran, dan tidak boleh apa-apa minta dibayarin sama orang. Pakai uang kamu sendiri. Mengerti, Mer?" Tian kembali mengulangi pesan-pesannya.
"Iya, Bang. Mer juga mau nitip pesen untuk Abang. Kalau Bintang ngidam mangga muda, Abang jangan ikutan ngidam bini muda ya? Riweuh nanti urusannya." Bintang dan Tian saling berpandangan. Tumben incess oneng kali ini nasehatnya bener. Signalnya sedang bagus kali ya?
"Makasih ya, Mer. Kamu memang adik ipar yang baik. Peduli sama perasaan sesama wanita." Bintang terharu me dengar dukungan penuh adik iparnya terhadap dirinya. Merlyn menggeleng. Kakak iparnya telah salah mengartikan maksud dari kata-katanya.
"Bukan itu maksud dan tujuan gue nasehatin Bang Tian, Bi."
"Lho jadi?" Bintang menjinjitkan alis nya.
"Karena punya bini satu aja yang lagi hamil, Bang Tian udah riweuh banget ngidamnya. Sampai nggak ada waktu buat gue. Apalagi nambah satu lagi. Kan makin merana guenya. Ye kan?" Tian dan Bintang kembali berpandangan. Ternyata kinerja otak Merlyn ini masih sama, selain jawabannya tidak terduga, kejujurannya juga luar biasa!
=================================
"Mas kenapa sih nggak bisa nolak semua permintaan, Tian? Masa setiap kita mau kencan wajib bawa-bawa ini dakocan sebiji sih?" Omelan pertama Karina langsung berkumandang saat ia masuk ke dalam mobil.
Merlyn menghela nafas panjang. Selalu saja begini. Sebenarnya ia juga ingin sekali mengatakan kalau dia juga tidak kepengen jadi obat nyamuk dan mengintili orang pacaran. Tapi mau bagaimana lagi, abangnya memang seperti itu. Tian hanya mempercayai Tama sebagai penggantinya untuk mengawalnya. Menurut abangnya, Tama lolos kualifikasi menjadi pengawalnya karena dua hal. Pertama siapa yang tidak kenal dengan Naratama Abiyaksa? Putra sulung Narasangsa Abiyaksa dan Camelia Abiyaksa? Kedua orang tuanya adalah mantan jagoannya Green Hill Muay Thai Indonesia yang kini dikelola oleh dr. Arshaka Abiyaksa SpOG, pamannya. Si Tama ini sepertinya bahkan sudah belajar ilmu bela diri sejak dalam kandungannya Tante Lia. Jadi siapa yang berani macam-macam dengan wanita yang ada dalam perlindungannya?
Kedua, Tama SUDAH punya pacar. Garis bawahi kata sudahnya dengan bolpen merah dua kali tebal-tebal. Jadi menurut abangnya, Tama tidak bakal modusin dia lagi. Aman sentosa kondusif serba guna, kalau memakai bahasa abangnya. Kata serba gunanya itu lo, kayak margarine aja serba guna. Ye kan? Kini ia kembali menjadi pendengar budiman. Mendengarkan dengan seksama percakapan absurd dua sejoli yang sedang mendiskusikan dirinya seolah-olah dia adalah makhuk tak kasat mata di sini.
"Ya kan tidak ada salahnya Mer ikut dengan kita, Rin? Kita kan memang sama-sama mau menonton. Lagian kan Mer juga udah gede, nggak perlu kita gendong-gendong lagi. Sudahlah, tidak perlu membesar-besarkan masalah yang tidak perlu." Tama mengelus pelan pipi pacar cantiknya. Karina kalau sudah ngomel panjangnya bahkan bisa mengalahkan rel kereta api panjangnya. Catet ya? rel nya, bukan kereta apinya. Kebayang 'kan panjangnya? Sebenarnya ia ikhlas-ikhlas saja dighibahin. Udah biasa mah ia dighibahin orang-orang. Tapi saat nama abangnya dibawa-bawa, ia merasa keberatan.
"Kok lo nyalahin abang gue sih, Rin? Kan abang gue cuma nanya, keberatan nggak kalau dia nitip gue sama Bang Tama? Kalo tadi Bang Tama bilang keberatan, abang gue juga nggak bakalan maksa kali. Bang Tama keberatan nggak ini Mer ikut?" Merlyn memandang Tama melalui kaca tengah mobil. Merlyn melihat Tama menggelengkan kepalanya. Berarti Tama sama sekali tidak keberatan. Aman sudah.
"Tuh, Bang Tamanya aja nggak keberatan. Berarti aman kan? Masalah selesai. Case closed." Merlyn mengibaskan tangan ke udara. Memutuskan secara sepihak bahwa perdebatan ini telah usai.
"Tapi gue keberatan!" Karina meneriakkan kata keberatannya sembari menoleh ke belakang. Tepat di depan wajahnya. Telinganya sampai pengeng mendengar suara cemprengnya.
"Oh lo keberatan? Ya udah, kalo gitu lo pulang aja sekarang. Hasil voting kan emang udah gue yang menang. Bang Tama nggak keberatan. Gue apalagi, sangat tidak berkeberatan. Dua banding satu. Lo yang kalah legowo dong. Yang kalah musti lapang dada. Apa mau diulang lagi? Boleh, biar gue tanya ulang sama Bang Ta--"
"Udah... udah... jangan diterusin lagi. Kita udah nyampe cinema ini." Tama pusing menghadapi dua orang wanita yang sama-sama tidak mau mengalah ini. Semakin cepat acara menonton ini usai, semakin baik. Otaknya sudah panas terus diceramahi Karina sepanjang jalan. Kalau ditambah dengan Merlyn lagi, bisa sakit kanker kepala dini ia lama-lama.
Walaupun terus diiringi dengan omelan Karina, mereka akhirnya sampai juga ke gedung cinema. Ramainya orang-orang yang mengantri masuk membuatnya mengambil posisi berdiri di belakang Tama. Ia malas berdiri di belakang Karin. Auranya bikin mood jelek saja.
"Kamu berdiri di belakang Karin saja, Mer. Biar Abang yang berdiri di belakang kamu," kalau Tama sudah bersabda, mau tidak mau ia mengalah juga. Ia baru saja berjalan tiga langkah saat suara krak yang diiringi desis kesakitan terdengar dari arah belakangnya. Seorang pria muda terlihat mengaduh-aduh kesakitan sembari memegangi tangannya yang bentuknya tampak aneh. Beberapa orang pria-pria muda lainnya terlihat menghampiri si pemuda, sambil menatap marah pada Tama. Ini sebenarnya ada apa sih? Merlyn menatap kerumunan kecil itu dengan bingung.
"Kenapa Anda mematahkan tangan saya?" Si Pemuda terlihat memelototi Tama. Beberapa temannya juga mulai berkerumun mengelilingi Tama yang terlihat santai-santai ganteng aja.
"Lo masih nanya kenapa? Baiklah berhubung lo dan gank lo semua sejenis kelamin sama gue, gue akan jelasin satu hal. Stop melakukan sexual harrasment, Bro. Lo punya nenek, ibu, tante, istri atau pacar dan adik perempuan kan? Hargailah perempuan, Bro. Lo pikir gue nggak ngeliat dari tadi mata lo ngarah kemana? Ke dada adek gue kan? Pertama gue diemin. Lo punya mata. Lo berhak memandang. Tapi begitu tangan lo mau pura-punya nyenggol dadanya, baru gue patahin sekalian. Lo mau nyangkal? Ini gue bahkan udah ngerekam tindakan tidak gentleman lo ini." Mer baru paham mengapa Tama marah. Rupanya mereka bermaksud untuk melecehkannya.
"Sexual harassment apaan? Gue cuman mandang, kan nggak salah? Adek lo cakep dan seksi. Bukan cuman gue yang mandangin. Semua laki-laki di sini juga begitu. Kalo lo bukan abangnya, pasti kelakuan lo juga akan sama dengan kami semua. Nggak usah munafik, Bro. Lo kan juga laki-laki."
Tama memang terlihat santai mendengarkan curhatan si pemuda. Tapi Merlyn tahu, Tama sudah memasang kuda-kuda. Gesture tubuhnya terlihat berbeda. Dipicu sedikit emosi saja, pasti habislah mereka semua. Menantang Tama itu cari mati namanya. Dia bahkan menjadikan berkelahi sebagai olah raga untuk mencari-cari keringat. Apa jadinya kalau dia benar-benar marah bukan? Hampir bisa dipastikan, hidung-hidung minimalis pria-pria di depannya ini akan mancung ke dalam semua dibuatnya. Lihat saja.
"Lo salah Bro. Segala tindakan yang berbau seksual dan membuat si korban merasa tidak nyaman atau dirugikan, itu sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan pelecehan seksual. Mengenai sikap gue. Itu bukan urusan lo. Tapi kalo lo mau cari-cari keringat sama gue, ayo. Akan gue layani dengan senang hati."
Tama melakukan beberapa gerakan pemanasan sebelum dia berolah raga sejenak dengan beberapa begundal-begundal ingusan ini. Bunyi kertakan sendi-sendi tubuh Tama yang sedang melakukan warming up, sepertinya membuat jiper pemuda-pemuda tadi. Tanpa banyak cincong lagi mereka akhirnya memilih untuk membawa teman mereka ke rumah sakit dan tidak jadi menonton. Mer pun segera beraksi.
"Mas-Mas semua ini nggak jadi nontonnya?" Merlyn setengah berlari berusaha mensejajari gerombolan hidung minimalis itu.
"Nggak, Mbak. Mau bawa temen kami ke rumah sakit aja. Kenapa Mbak?" Bahasa mereka sudah mulai sopan. Sepertinya kata-kata Tama masuk juga ke dalam benak mereka semua.
"Tiket-tiketnya boleh buat saya? Sayang banget kan tiket mahal-mahal hangus semua. Kan lumayan tiketnya bisa saya jual la--"
"Ayo Mer. Filmnya sudah akan dimulai. Nanti kamu rugi, sudah membayar harga tikel full, durasinya malah berkurang lima menit. Incess irit mana lah boleh rugi, iya kan?" Tama membujuk Merlyn dengan menggunakan logika ala cara berpikir Merlyn. Dan biasanya cara ini selalu berhasil.
"Oh iya ya. Nanti Mer rugi. Ayo, Bang kita cepet-cepet masuk. Walau pun yang di tonton cuma iklan, tapi kan iklannya juga udah kita bayar. Jadi harus kita tonton juga supaya tidak rugi. Iyakan, Bang?" Tama tersenyum. Cara ini selalu berhasil kan? Merlyn ini orangnya tidak mau rugi. Bicarakan saja soal kerugian. Pasti ia akan langaung manut.
Tama menuntun Merlyn dan Karin masuk ke dalam gedung. Lampu memang sudah di padamkan sehingga suasana menjadi sedikit gelap. Ia takut kalau dua wanita ini tersandung atau terjatuh. Makanya ia menuntun keduanya dengan sabar. Setelah keduanya duduk dengan benar, Tama bergegas membeli beberapa camilan sebagi teman menonton mereka. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat betapa sesaknya tas Merlyn oleh aneka macam makanan kecil. Persiapannya juara sekali.
"Mas, nanti pulangnya kita singgah ke club ya? Udah lama banget kita nggak hang out ke sana kan, Mas. Ada beberapa teman Karin yang udah nungguin juga di sana. Mau ya, Mas?" Karin mengelus-elus lengan kekar Tama. Dia tahu Tama pasti bimbang karena adanya si incess oneng ini bersama dengan mereka. Inilah yang paling tidak disukai olehnya. Setiap mereka akan hang out ke tempat yang di banner dewasa, pasti si oneng ini tidak bisa dibawa. Ayah dan abangnya bisa mencincang Tama kalau tahu si oneng ini diajak dugem. Coba tadi kalau dia tidak ikut, pasti pacarnya tidak akan kebingungan seperti ini.
"Bang Tama pergi aja sama Karin. Mer nanti pulangnya dijemput sama Bang Tian, kok. Ini Bang Tian udah chat bilang bisa jemput Mer. Abang senang-senang sana gih sama Karin." Merlyn terpaksa berbohong. Ia kasihan Tama kebingungan harus memilih antara dirinya dan juga pacarnya. Lagi pula jam sebelas malam kan belum larut malam sekali. Ia akan naik taksi online saja pulangnya. Eh taksi mahal, bagusan dia naik ojek online aja. Murah, meriah cepet sampainya lagi. Cerdas dan cermat sekali hitung-hitungannya kan? Makanya ia suka bingung saat orang-orang selalu saja menyebutnya oneng? Oneng di mananya coba?
Yang sebenarnya oneng itu adalah apabila orang yang rumahnya cuma lima langkah dari tempat tujuan, tapi masih aja minta dijemput dan dianterin sama pacarnya yang rumahnya di ujung kulon sana. Itu baru keonengan hakiki yang sebenarnya. Ye kan?
Arimbi Maulida merasa dunianya runtuh saat Nina, sepupunya, membawa buku nikahnya dengan Seno Caturrangga, calon suami Arimbi, ke hadapannya seluruh keluarga besar. Nina mengaku telah dinikahi Seno secara hukum dan agama dua hari yang lalu. Dengan kata lain, Seno adalah suaminya sahnya saat ini. Padahal seminggu ke depan, Arimbi dan Seno akan melangsungkan pernikahan, setelah tiga tahun berpacaran. Undangan pun sudah terlanjur disebar. Pihak kedua keluarga geger. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Seno dan Nina menjalin hubungan di belakang Arimbi hingga Nina hamil. Arimbi pada akhirnya mengalah. Ia ikhlas kalau pernikahannya dibatalkan. Namun Handoyo, ayah Arimbi tidak setuju untuk membatalkan pernikahan. Handoyo meminta pertanggungjawaban keluarga Seno yang telah mempermalukan keluarga besar mereka. Keputusan yang dianggap paling tepat pun diambil. Adalah seorang Ganesha Caturrangga, kakak kandung Seno yang belum menikah, diminta untuk menggantikan Seno di pelaminan. Arimbi tentu saja menolak. Selain ia tidak mencintai Ganesha, sejujurnya ia takut pada Ganesha. Ganesha itu sangat dingin dan tidak punya hati. Menurut Menik, sahabatnya, yang dulunya adalah pacar Ganesha, Ganesha itu workoholic. Hidupnya hanya untuk bekerja dan bekerja. Ganesha tidak pernah mencintai siapapun kecuali pekerjaannya. Namun karena desakan keluarga besarnya yang beralasan malu besar apabila Arimbi tidak jadi menikah, Arimbi terpaksa menerima keputusan keluarga besar mereka. Bagaimana nasib Arimbi setelah menjadi istri Ganesha? Bagaimana pula usaha Seno untuk kembali meraih hati Arimbi setelah Nina ketahuan berbohong soal kehamilannya? "Bagi saya, kamu itu cuma beban tambahan, yang lagi-lagi disampirkan keluarga di pundak saya. -Ganesha Caturrangga- "Saya juga tidak pernah ingin ada di posisi ini. Menjadi istrimu itu sialnya tujuh turunan, delapan tanjakan dan sembilan tikungan tajam. -Arimbi Maulida-
Alexandra Delacroix Adams--gadis tomboy berjuluk premanwati klan Delacroix Adams, harus menjalani hukuman sebagai Jamilah Binti Surip. Cucu Mbok Sari, Asisten Rumah Tangga keluarganya selama setahun penuh di desa Pelem, Kediri, Jawa Timur. Bagaimana Alexa--sang premanwati menjalani peran dari seorang gadis tomboy berjaket kulit, menjadi seorang gadis feminim berkebaya? Mampu juakah Alexa membangun mindset para wanita di desa, yang sudah terdoktrin dengan pemikiran bahwa tempat wanita adalah di bawah pria? Bagaimana juga sengitnya saat ia beradu argumen dengan Jenggala Buana Sagara. Seorang petani dan peternak modern di desa Pelem, yang selalu menganggap gadis kota adalah boneka cantik berotak kosong? "Kamu jangan mengajari perempuan-perempuan di desa ini menjadi pembangkang, dengan dalih emansipasi. Provokatorwati tidak dibutuhkan di sini?" -Jenggala Buana Sagara "Gue bukan ngajarin mereka membangkang. Gue cuma mau mereka berkembang. Suami-suami mereka bisa saja, sakit, mati atau malah kawin lagi. Kalau hal itu terjadi, siapa yang akan membiayai hidup mereka? Lo? Emang lo sanggup ngawinin semua janda di desa ini?" -Alexandra Delacroix Adams
Menjelang delapan tahun usia pernikahannya, Suri Hidayah merasa tidak bisa mempertahankan rumah tangganya lagi. Karena Prasetyo Prasojo, suaminya telah berubah menjadi sosok yang tidak lagi ia kenali. Pras berubah setelah karirnya melesat ke puncak. Dari seorang karyawan biasa, Pras kini menjadi seorang direktur pelaksana yang disegani. Pras lupa diri. Pras yang sekarang telah berdasi, kerap merudung Suri, secara fisik dan psikis. Merendahkan pendidikan Suri yang hanya tamatan SMP, serta mencela penampilan Suri yang menurut Pras norak alias kampungan. Dalam pandangan Pras, perempuan sempurna itu haruslah seperti Murni Eka Cipta. Anggun, cerdas, berpendidikan tinggi juga berharta. Murni adalah lady boss perusahaan tempat Pras bekerja. Suri yang sakit hati, dalam diam terus berusaha memperbaiki diri. Ia mencoba mengubah penampilannya menjadi lebih baik, dan juga belajar mencari penghasilan sendiri. Suri secara otodidak belajar memasarkan hasil rajutannya melalui media sosial. Hanya saja Suri terkendala dengan masalah modal. Ia tidak mempunyai cukup dana untuk membeli benang-benang dalam jumlah besar untuk keperluan merajutnya. Adalah seorang Damar Adhiyatna, mantan suami Murni yang kebetulan bertemu dengan Suri secara tidak sengaja. Damar adalah pemilik PT. Karya Tekstil Adhiyatna. Perusahaan yang bergerak dalam bidang benang jahit. Damar yang mengetahui kesulitan Suri bersedia membantu dengan sistem barter. Damar memasok benang, dan Suri memajang hasil rajutannya di toko kerajinan tangan ibunya. Bagaimana perjuangan jatuh bangunnya Suri dalam mengumpulkan serpihan harga diri? Bagaimana juga akhir kisah cinta segitiga antara Suri, Damar, Pras dan juga Murni? Cerita ini akan menjadi saksi betapa kekuatan cinta akan mengubah segalanya. Cinta sejati itu tidak pernah pudar karena rupa, dan tidak padam dimakan usia.
Revan Aditama Perkasa-- CEO ADITAMA Group, sudah tidak berhasrat lagi untuk menikah. Ia merasa tidak pernah beruntung dalam hubungan asmara. Mulai dari jatuh cinta pada gurunya sendiri, bertunangan dengan orang yang salah, sampai akhirnya jatuh cinta pada pacar orang, menjadikan Revan apatis terhadap yang namanya pernikahan. Hingga suatu hari, ayahnya memintanya untuk menikahi seorang wanita yang tidak biasa. Dia adalah wanita dari Suku Anak Dalam. Suku yang paling terkebelakang negri ini. "Bagaimana mungkin Saya seorang CEO Aditama Group yang mewakili segala hal yang modern dan intelektual, beristrikan seorang wanita paling primitif dinegeri ini?" -Revan Aditama Perkasa.
Senjahari Semesta Alam dengan ikhlas merelakan dirinya diceraikan oleh suaminya sendiri demi menikahi Mega Mentari--anak perempuan pemilik perusahaan yang mengaku dihamili oleh suaminya sendiri, Abimanyu Wicaksana. Sementara itu Halilintar Sabda Alam-- kakak sulung Mega Mentari. Pemilik beberapa perusahaan properti raksasa negeri ini, jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Senja, yang diperkenalkan oleh mertuanya sebagai adik bungsu Abimanyu. Abimanyu yang merasa dijebak sebagai kambing hitam dalam masalah hamilnya Tari, terus berusaha mencari kebenaran yang sesungguhnya agar bisa meraih kembali hati Senja. Sementara Sabda yang awalnya jatuh cinta pada Senja, menjadi salah faham saat secara tidak sengaja memergoki Abimanyu memesrai Senja bukan seperti seorang kakak terhadap adiknya, melainkan seperti seorang laki-laki yang tengah mabuk asmara. Sabda yang gelap mata malah akhirnya menjebak Senja dan menanamkan benihnya dirahim Senja. "Saya mohon, jangan memperlakukan Saya seperti ini. Saya punya salah apa pada Bapak? Laki-laki sejati tidak akan menggunakan kekuatannya untuk memaksakan dirinya terhadap seorang perempuan. Saya mohon jangan mengotori saya. Demi Allah saya bersumpah, saya tidak seperti apa yang ada dalam pemikiran, Bapak." (Senjahari Semesta Alam) "Salah kamu adalah, karena kamu telah menjadi duri dalam daging dalam rumah tangga adik saya! Kamu fikir saya tidak tahu akan hubungan terlarang kamu dengan Abimanyu? Kalian berdua itu incest, dan itu amat sangat menjijikkan! Kita lihat saja, setelah ini kamu masih bisa memandang dunia dengan kepala tegak, atau kamu akan melata seperti ular di kaki Saya!" (Halilintar Sabda Alam)
Oryza Sativa Wiryawan yang masih duduk di bangku SMA dipaksa menikah oleh ibu tirinya yang ingin menguasai sendiri harta peninggalan almarhum ayah Ory. Sementara Airlangga Putra Dewangga, pria tampan mapan rupawan yang sudah berusia 34 tahun dan sangat anti dengan yang namanya komitmen pernikahan, harus terjebak menjadi suami Ory akibat dari hutang budi ibunya terhadap almarhum ibu gadis yatim piatu itu. "Buat apa kita harus capek-capek memelihara kambing jika hanya sekedar kepingin makan sate?" -Airlangga Putra Dewangga- " Kalau menurut Mas manusia itu dalam menuruti pemenuhan hawa nafsunya hanya sebatas fitrah nya saja seperti jika lapar, ya makan. Dan jika ingin melampiaskan nafsunya ya kawin. Apa bedanya Mas dengan kambing?" -Oryza Sativa Wiryawan-
Yulia dipaksa menikah dengan keluarga Jayendra. Setelah menikah, semua orang berharap dia bisa memiliki bayi dengan suaminya sesegera mungkin. Namun, ternyata suaminya, Billy Jayendra, sedang mengalami koma! Apakah Yulia ditakdirkan untuk menjalani kehidupan yang tidak berbeda dengan seorang janda? Tak disangka, suaminya yang koma itu sadar kembali pada hari setelah pernikahan mereka! Billy membuka matanya dan menatap Yulia dengan dingin. "Siapa kamu?" "Saya adalah ... istri Anda," jawab Yulia ragu-ragu. Mendengar hal ini, Billy terlihat sangat kesal. "Istriku? Kenapa aku tidak ingat pernah menikah dengan wanita mana pun? Aku akan meminta pengacaraku untuk segera memulai prosedur perceraian sekarang juga!" Jika bukan karena keluarga Billy mencegahnya untuk menceraikan Yulia, Yulia pasti sudah diceraikan setelah satu hari menikah. Kemudian, dia mengandung seorang anak dan ingin pergi secara diam-diam, tetapi Billy mengetahui rencananya dan tidak setuju. Yulia menatapnya dengan tidak senang. "Kamu tidak menyukaiku dan kamu selalu menggangguku sepanjang waktu. Apa artinya pernikahan kita? Aku ingin bercerai!" Tiba-tiba, kesombongan Billy menghilang dan dia menarik Yulia ke dalam pelukan hangatnya. "Kamu adalah istriku, dan kamu milikku sekarang. Jangan pernah berpikir untuk menceraikanku!"
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Keluargaku berada di garis kemiskinan dan tidak memiliki cara untuk mendukungku di perguruan tinggi. Aku harus bekerja paruh waktu setiap hari hanya untuk memenuhi kebutuhan dan mampu masuk ke universitas. Saat itulah aku bertemu dengannya - gadis cantik dikelasku yang diimpikan setiap laki-laki. Aku sadar bahwa dia sangat jauh dari jangkauanku. Namun, aku mengumpulkan seluruh keberanian dan mengatakan kepadanya bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Yang mengejutkanku, dia setuju untuk menjadi pacarku. Dengan senyuman termanis yang pernah kulihat, dia memberitahuku bahwa dia menginginkan sebuah iPhone terbaru sebagai hadiah pertamaku untuknya. Aku bekerja seperti seekor anjing dan bahkan mencuci baju teman sekelasku untuk mendapatkan uang. Kerja kerasku membuahkan hasil setelah sebulan. Aku akhirnya dapat membeli apa yang diinginkannya. Tetapi saat aku membungkus hadiah itu, aku melihatnya bercumbu dengan kapten tim bola basket. Dia kemudian mengolok-olok dan menghina kemiskinanku. Yang lebih parahnya lagi, laki-laki selingkuhannya meninju wajahku. Aku diselimuti oleh keputusasaan, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan kecuali diam saja saat mereka menginjak-injak perasaaanku. Tetapi kemudian, ayahku tiba-tiba meneleponku dan hidupku berubah sepenuhnya. Ternyata aku adalah putra seorang miliarder.
Setelah tiga tahun menikah, Becky akhirnya bercerai dengan suaminya, Rory Arsenio. Pria itu tidak pernah mencintainya. Dia mencintai wanita lain dan wanita itu adalah kakak iparnya, Berline. Suatu hari, sebuah kecelakaan terjadi dan Becky dituduh bertanggung jawab atas keguguran Berline. Seluruh keluarga Arsenio menolak untuk mendengarkan penjelasannya, dan mengutuknya sebagai wanita yang kejam dan jahat hati. Rory bahkan memaksanya untuk membuat pilihan: berlutut di depan Berline untuk meminta maaf, atau menceraikannya. Yang mengejutkan semua orang, Becky memilih yang terakhir. Setelah perceraian itu, Keluarga Arsenio baru mengetahui bahwa wanita yang mereka anggap kejam dan materialistis itu sebenarnya adalah pewaris keluarga super kaya. Rory juga menyadari bahwa mantan istrinya sebenarnya menawan, cantik, dan percaya diri dan dia jatuh cinta padanya. Tapi semuanya sudah terlambat, mantan istrinya tidak mencintainya lagi .... Namun, Rory tidak menyerah dan tetap berusaha memenangkan hati Becky. Apakah Becky akan goyah dan kembali ke sisinya? Atau akankah pria lain masuk ke dalam hatinya?
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
BACAAN KHUSUS DEWASA Siapapun tidak akan pernah tahu, apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh seseorang tentang sensasi nikmatnya bercinta. Sama seperti Andre dan Nadia istrinya. Banyak yang tidak tahu dan tidak menyadari. Atau memang sengaja tidak pernah mau tahu dan tidak pernah mencari tahu tentang sensasi bercinta dirinya sendiri. Seseorang bukan tidak punya fantasi dan sensasi bercinta. Bahkan yang paling liar sekalipun. Namun norma, aturan dan tata susila yang berlaku di sekitranya dan sudah tertanam sejak lama, telah mengkungkungnya. Padahal sesungguhnya imajinasi bisa tanpa batas. Siapapun bisa menjadi orang lain dan menyembunyikan segala imajinasi dan sensasinya di balik aturan itu. Namun ketika kesempatan untuk mengeksplornya tiba, maka di sana akan terlihat apa sesungguhnya sensasi yang didambanya. Kisah ini akan menceritakan betapa banyak orang-orang yang telah berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan dogma yang mengikat dan membatasi ruang imajinasi itu dengan tetap berpegang pada batasan-batasan susila