/0/2493/coverbig.jpg?v=0bfeb68d6f0ff51900b3638133ff3f60)
Maaf. Aku sungguh menyesalinya. Semua yang aku lakukan kepadamu benar-benar membuatku mengutuk diriku sendiri. Beri aku sedikit waktu untuk menebus semua kesalahanku. Berikan aku kemampuan untuk mengembalikan waktu. Aku tahu ini sebuah kalimat klasik dari seorang pengecut yang tidak berani melangkah maju. Tapi, keterpurukan atas kehilanganmu berhasil membuatku menjadi seorang pengecut seutuhnya. Andai kala itu aku bisa berdamai dengan diriku sendiri dan melapangkan dada. Mungkin saja saat ini rasa penyesalan tak sesakit ini. Atau mungkin kamu sengaja membiarkanku terpuruk dan merasakan sakit yang selalu kutorehkan padamu? Berapa lama rasa sakit ini akan pulih? Berapa lama aku harus menebus kesalahanku? Atau tidak bisakah waktu kembali pada saat aku mulai membencimu? Aku adalah kakak terburuk bagimu. Mungkin Tuhan begitu menyayangimu sampai menjauhkanmu dari sebuah kesialan. Yaitu aku.
Siang ini, cuaca di kota Yogyakarta mendadak mendung. Padahal pagi ini matahari tampak cerah bersinar dan langit tampak bersih dari awan putih. Namun, cuaca seketika berubah. Angin bertiup ribut menggoyangkan dedahanan sampai menggugurkan daun-daun yang tampak kecoklatan. Ini masih musim panas. Sangat jarang terjadi hujan di bulan Juni.
Jalanan yang tampak ramai itu mulai sepi karena cuaca yang mendadak berubah. Mereka berpindah ke rumah makan beratap atau bahkan segera pulang ke rumah. Beberapa pekerja memilih diam di kantor dan menggunakan layanan pesan antar untuk makan siang mereka.
Langit yang harusnya terang benderang seketika gelap. Seperti jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Begitu gelap dan dingin. Mungkin karena akan hujan, jadi udara terasa makin dingin.
Suasana juga entah kenapa terasa sendu. Membuat siapapun merenung sesaat saat berdiam diri. Termasuk seorang pemuda berusia 20 tahun yang tengah duduk di cafe. Dia seorang mahasiswa jurusan IT di Universitas Gajah Mada.
Setiap selesai kuliah dia akan pergi nongkrong bersama temannya. Tapi, hari ini dia sendirian menikmati kopi expresso di dalam cafe. Laptopnya masih menyala menampilakan laporan yang belum selesai ia kerjakan. Itu adalah laporan akhir. Targetnya dia akan lulus tahun ini. Cukup tiga tahun ia kuliah, jangan bertambah menjadi empat tahun.
Otak cerdasnya yang membuatnya mampu menyelesaikan studinya di tahun ketiga. Meninggalkan teman-temannya yang dulu sama-sama masuk dengannya. Sejak kecil dia selalu mendapat juara satu dalam banyak bidang. Seni, atletik, sains, bahasa, bahkan agama.
Dia bahkan berkuliah di UGM berkat beasiswa yang ia dapatkan. Hanya ada beberapa orang yang diundang oleh kampus untuk menjadi mahasiswa mereka, dan dari sedikitnya orang pilihan UGM dia termasuk di dalamnya. Dia sebenarnya asli orang Semarang, tapi karena UGM termasuk kampus impiannya dia rela tinggal jauh dari keluarganya.
Bahkan satu tahun belakang dia tidak pulang karena keinginannya sendiri. Kebanyakan orang akan segera kembali ke tempat tinggalnya saat liburan akhir semester. Tapi, tidak bagi pemuda bernama lengkap Ageng Pratama. Dia lebih suka tinggal di daerah istimewa ini. Baginya kehidupannya yang sekarang begitu baik.
Selain karena dia suka suasana di Jogja dia juga menghindari adiknya. Adiknya yang usianya hanya terpaut empat tahun itu. Baginya adiknya adalah sebuah hama besar yang mengganggunya.
Tama tidak pernah suka pada adiknya yang memiliki keterbatasan mental itu. Dia berisik dan mempermalukannya berkali-kali. Kalau bisa memilih dia hanya ingin tinggal bersama adik kembarnya saja. Dia terlahir kembar dengan Fajar Dwi Prasetyo.
Mendadak ponselnya berdering. Baru saja dipikirkan, sekarang adik kembarnya meneleponnya. Dia segera menerima panggilan telepon tersebut.
["Tama, ke Singapura sekarang! Operasi Elang gagal, Elang udah nggak ada ..."]
Matanya hilang fokus sampai dia menjatuhkan ponselnya ke lantai marmer cafe. Beberapa pengunjung cafe menatapnya heran. Tama segera memungut ponselnya dan memasukkannya tergesa ke saku celananya.
Tangannya bergerak terburu-buru membereskan barang-barangnya di atas meja bahkan menutup laptop tersebut tanpa mematikannya terlebih dulu. Pikirannya kalut, masih beruntung ada sedikit akal sehat untuk mengemas semuanya dengan baik.
Dia berjalan cepat keluar cafe dan menerobos hujan yang entah sejak kapan turun membasahi bumi. Aroma petrikor memenuhi indra penciumannya. Membuatnya merasa begitu benci aroma yang tengah memenuhi rongga paru-parunya.
Dia pergi ke bandara segera dengan menaiki taksi. Dalam taksi dia segera menyalakan ponselnya yang mati akibat jatuh. Membeli tiket ke Kota Singa. Bagusnya ada keberangkatan hari ini. Tapi apakah langit mengizinkannya pergi ke negara tersebut?
Dia mendongak menatap langit dari jendela taksi. Menatapnya sembari merafalkan doa agar langit segera cerah dan pesawat diizinkan lepas landas tanpa pemunduran waktu. Harusnya dua jam lagi pesawat berangkat.
Pikirannya begitu kalut sampai hampir meninggalkan tas berisi laptopnya di dalam taksi. Bagusnya dia tidak lupa membayar ongkos taksi. Dia berlari mengurus administrasi yang diperlukan bahkan menanyakan apakah pesawat tersebut bisa berangkat sesuai jadwal atau tidak. Padahal jelas-jelas hujan turun begitu deras di luar sana.
Dia terduduk di ruang tunggu bersama banyak orang yang juga menunggu kepastian keberangkatan pesawat mereka. Bahkan jadwal yang seharusnya tiga puluh menit lalu di undur. Tama menundukkan kepalanya bersungguh-sungguh berdoa agar Tuhan membiarkannya menemui sang adik untuk terakhir kalinya.
Adik yang bahkan tidak pernah ia anggap ada sekarang dia merasa kehilangan. Pikirannya berkelana pada kilasan masa lalunya. Tentang hubungannya dengan si bungsu yang tak pernah baik. Bahkan dia pernah berpikir untuk menyingkirkannya dari kehidupannya.
Air matanya menetes bersamaan kilasan akan dirinya yang begitu kejam memperlakukan remaja lemah tersebut. Dia menangis sesenggukan membuat beberapa orang menatapnya heran sekaligus khawatir. Bahkan dia dengan bodohnya duduk memangku tas laptopnya tanpa membawa barang-barang yang akan ia perlukan. Menggunakan jaket denim hitam dengan celana jeans hitam. Rambutnya acak-acakan dan lepek akibat hujan. Tangannya saling meremas satu sama lain.
Dia mengusap wajahnya berusaha baik-baik saja. Tapi, sekuat apapun ia mencoba ingatan itu membuat air matanya merembes keluar. Membasahi pipinya tanpa henti dan menetes ke tas laptop di pangkuannya.
Ponselnya berdering. Dia mengusap wajahnya berusaha melihat siapa yang meneleponnya. Kali ini ibunya yang menghubunginya. Dia menarik napas, mencoba setenang mungkin agar bisa menerima panggilan dari sang ibu.
["Kamu nggak mau nemuin adik kamu, Ta? Untuk terakhir kalinya."]
Tenggorokannya sakit menahan isakan saat suara parau wanita yang selalu ia durhakai. Kepalanya sakit hanya karena kilasan masa lalu terus berputar mengobrak-abrik perasaannya. Dengan suara serak dia mulai berbicara.
"Tunggu bu, aku akan ke sana."
Begitu mengatakan itu dia segera mengakhiri panggilan. Tidak sanggup menahan isakan apalagi suara parau dari ibunya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Ini mimpi kan?
Kenapa terasa begitu menyakitkan. Dadanya begitu sesak menerima kenyataan ini. Satu orang yang tidak pernah ia harapkan pergi untuk selama-lamanya. Seharusnya dia senang, tapi hatinya mengkhianati pikirannya.
Hatinya mengirimkan pesan menyakitkan yang membuat dadanya perih. Tama mengusap wajahnya kasar lantas menatap jam dinding yang terpajang tak jauh dari tempatnya duduk. Memperlihatkan waktu yang baru terlewat 10 menit dari dia duduk di kursi ini.
Kenapa waktu berjalan begitu lambat sekarang? Disaat seperti ini kenapa semua yang ia inginkan tak bisa ia miliki? Otak geniusnya seketika memiliki iq dua angka. Menyalahkan langit yang tak kunjung cerah atau waktu yang tak kunjung berlalu.
Seperti orang gila dia menangis sesenggukan sembari sesekali mengumpati apa saja yang mengganggunya. Waktu, langit, pesawat, bahkan orang yang duduk di sebelahnya juga ia umpati. Aroma petrikor yang membekas membuatnya muak.
Dia benci hujan. Benci aroma petrikor yang membuat adiknya pergi. Dia benci semua yang ia lalui hari ini. Termasuk kopi expresso yang sebelumnya ia idolakan. Dia benci taksi yang berjalan lambat. Ia benci laptopnya yang terasa merepotkan dirinya. Ia benci kursi cafe yang mebuatnya terhambat saat berdiri. Ia benci ponselnya yang mati hanya karena jatuh. Ia benci semuanya.
Termasuk napasnya.
Vorrelix. Mendengar namanya saja sudah membuatku sangat muak. Mereka yang menghancurkan keluargaku hingga membuat kedua orang terkasihku meninggal. Rasa amarah yang terpendam selama bertahun-tahun akhirnya dapat aku balaskan. Menikahi salah seorang dari mereka membuatku semakin bersemangat untuk mengobrak-abrik keluarga tersebut. Akan aku buat mereka merasakan rasa sakit kehilangan orang yang berarti di mata mereka. Tanpa terkecuali. Namun, melihat laki-laki yang merupakan suamiku menatapku dengan manik ketakutan, membuatku ragu. Dia memohon ampun kepadaku seolah nyawanya ada di tanganku. Mengatakan betapa dia mencintaiku dan rela mengorbankan apapun untukku, termasuk merelakan perusahaan yang ia bangun sendiri. Aku terpaku sesaat menatapnya yang duduk terikat bersimbah darah. Wajah tampannya selalu membuatku terpana melihatnya. Lantas aku mulai mengingat betapa perhatiannya dia kepadaku. Bekerja begitu keras dan melindungiku dari dunia luar yang kejam. Dia menyayangiku seperti aku adalah seorang yang baik. Lantas, aku harus apa?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
"Ugh," Lenguhan keluar dari bibir perempuan yang tengah terpejam itu. " Yes, honey. Moan again !" Geram pria itu. " Akh, you make me crazy" Alana tidak tau jika setiap malam selalu ada orang yang menyelinap masuk ke dalam apartment mewah nya, menyentuh saat dia tidur dan pergi setelah puas tanpa dia tau keberadaan nya. Yang Alana rasa, semua itu hanya mimpi nya. -- " Rasanya aku ingin mengecup dan memberikan tanda di setiap inci tubuh kamu. mengurungmu dan menjadikan kamu hanya untuk ku. " " Pria gila. " " Yes, that's me"
Kayla Herdian kembali ke masa lalu dan terlahir kembali. Sebelumnya, dia ditipu oleh suaminya yang tidak setia, dituduh secara salah oleh seorang wanita simpanan, dan ditindas oleh mertuanya, yang membuat keluarganya bangkrut dan membuatnya menggila! Pada akhirnya, saat hamil sembilan bulan, dia meninggal dalam kecelakaan mobil, sementara pelakunya menjalani hidup bahagia. Kini, terlahir kembali, Kayla bertekad untuk membalas dendam, berharap semua musuhnya masuk neraka! Dia menyingkirkan pria yang tidak setia dan wanita simpanannya, membangun kembali kejayaan keluarganya sendirian, membawa Keluarga Herdian ke puncak dunia bisnis. Namun, dia tidak menyangka bahwa pria yang dingin dan tidak terjangkau di kehidupan sebelumnya akan mengambil inisiatif untuk merayunya: "Kayla, aku tidak punya kesempatan di pernikahan pertamamu, sekarang giliranku di pernikahan kedua, oke?"
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Tanpa membantah sedikit pun, aku berlutut di antara sepasang paha mulus yang tetap direnggangkan itu, sambil meletakkan moncong patokku di mulut kenikmatan Mamie yang sudah ternganga kemerahan itu. Lalu dengan sekuat tenaga kudorong batang kenikmatanku. Dan …. langsung amblas semuanya …. bleeesssssssssssskkkkkk … ! Setelah Mamie dua kali melahirkan, memang aku merasa dimudahkan, karena patokku bisa langsung amblas hanya dengan sekali dorong … tanpa harus bersusah payah lagi. Mamie pun menyambut kehadiran patokku di dalam liang kewanitaannya, dengan pelukan dan bisikan, “Sam Sayang … kalau mamie belum menikah dengan Papa, pasti mamie akan merengek padamu … agar kamu mau mengawini mamie sebagai istri sahmu. “ “Jangan mikir serumit itu Mam. Meski pun kita tidak menikah, kan kita sudah diijinkan oleh Papa untuk berbuat sekehendak hati kita. Emwuaaaaah …. “ sahutku yang kuakhiri dengan ciuman hangat di bibir sensual Mamie Tercinta. Lalu aku mulai menggenjotnya dengan gerakan agak cepat, sehingga Mamie mulai menggeliat dan merintih, “Dudududuuuuuh …. Saaaam …