Hana terdesak oleh masalah keuangan keluarganya, hingga ia menerima tawaran pernikahan kontrak dari Ray, seorang CEO tampan yang memerlukan istri pura-pura demi menyelamatkan reputasinya. Kesepakatan mereka jelas tanpa cinta, tanpa perasaan. Namun, seiring waktu, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Ketika rahasia kelam dari masa lalu Ray dan ancaman dari pesaing bisnisnya muncul, Hana dan Ray dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan di tengah semua kepalsuan?
Matahari baru saja muncul di balik gedung-gedung tinggi di kota Jakarta. Udara pagi masih sejuk, tetapi Hana Putri sudah terjaga sejak dini hari. Ia berdiri di depan jendela kecil rumah sederhana yang ditinggalinya bersama keluarganya. Pikirannya jauh melayang, terbelenggu oleh masalah yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Setiap detik terasa seperti beban berat yang menghimpitnya.
Hana, seorang gadis sederhana berusia 24 tahun, telah menjalani hidup yang jauh dari kemewahan. Sejak kecil, ia terbiasa dengan segala kekurangan dan berusaha untuk tidak terlalu mengeluh. Namun, kali ini keadaan terasa jauh lebih berat. Beban keluarga seolah sepenuhnya berada di pundaknya. Ayahnya, Aldiansyah, sakit keras. Penyakit jantung yang sudah lama dideritanya semakin parah. Biaya pengobatan yang terus menumpuk membuat keluarga mereka jatuh dalam kubangan hutang. Ibu Hana, Linasari, yang selama ini menjadi tiang penopang keluarga, kini juga tak berdaya. Dengan penghasilan Hana sebagai pegawai administrasi yang pas-pasan, tidak mungkin baginya menutupi semua biaya rumah sakit yang membengkak.
Hari itu, Hana baru saja pulang dari rumah sakit setelah menemani ayahnya menjalani pemeriksaan. Biaya rawat inap dan operasi yang diperlukan sangat besar, dan mereka sudah terlilit hutang di sana-sini. Hatinya perih melihat sang ayah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dengan selang-selang infus yang menempel di tubuhnya. Setiap detik terasa menyakitkan saat ia menyadari tak banyak yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan ayahnya.
Hana menarik napas panjang, berusaha meredakan kegelisahan yang bergelayut di hatinya. Ia menatap keluar jendela, mengamati kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di jalanan kota yang sibuk. Semua orang tampak tergesa-gesa dengan urusan masing-masing, sementara dunia Hana terasa seolah berhenti. Semua pikiran dan tenaganya tersita untuk mencari solusi bagi masalah keluarganya.
Di dalam kamar belakang, Lina duduk di kursi tua, wajahnya terlihat lelah dan kusut. Matanya kosong, memandangi lantai tanpa arah. Hana tahu, ibunya juga sedang dalam keadaan yang sangat tertekan, tetapi ia tetap berusaha tampak tegar di depan Hana.
"Ibu, kamu sudah makan?" tanya Hana, mencoba memecah kesunyian.
Lina menoleh dan tersenyum lemah. "Ibu baik-baik saja, Nak. Ibu hanya memikirkan ayahmu. Bagaimana nanti biayanya? Rumah sakit bilang kalau kita tidak bisa melunasi pembayaran minggu ini, mereka tidak akan memberikan perawatan lebih lanjut."
Hana merasakan jantungnya mencelos. Ia sudah mendengar hal itu dari dokter, tetapi mendengarnya lagi dari mulut ibunya membuat kenyataan itu semakin menyesakkan.
"Aku akan cari cara, Bu. Aku janji," ucap Hana pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia harus mencari jalan keluar.
"Ibu sudah hampir putus asa, Hana. Tapi melihat ayahmu, ibu sangat tidak tega," katanya sambil mengusap air mata.
"Ibu, kita tidak boleh menyerah." Hana menggenggam tangan sang ibu dengan lembut, berusaha untuk saling menguatkan.
Setelah berbicara singkat dengan ibunya, Hana kembali ke kamarnya. Kamarnya kecil dan sederhana, hanya ada satu kasur tipis di atas lantai, meja kayu kecil, dan lemari usang. Ia duduk di kasur dan membuka laptopnya. Selama beberapa minggu terakhir, Hana terus mencari pekerjaan tambahan, tetapi belum ada satu pun yang berhasil. Tawaran yang datang kebanyakan hanya pekerjaan dengan bayaran rendah atau berisiko tinggi. Hana tidak bisa mengambil risiko terlalu besar, apalagi meninggalkan pekerjaan tetapnya sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan kecil.
Pikirannya terus melayang, mengingat segala upaya yang sudah ia lakukan. Setiap pintu yang diketuk terasa seperti jalan buntu. Setiap solusi yang muncul selalu datang dengan harga yang lebih tinggi dari yang bisa ia bayarkan.
Di tengah kebingungan itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Hana mengangkat teleponnya dengan malas, tidak begitu tertarik melihatnya. Namun, ketika ia melihat nama yang tertera di layar, jantungnya tiba-tiba berdebar. Pesan itu datang dari Leni, sahabatnya yang sudah lama bekerja sebagai asisten di sebuah perusahaan besar. Hana belum sempat menceritakan masalah keluarganya pada Leni, tetapi mungkin ini adalah saat yang tepat.
Leni: Han, aku dapat info soal kerjaan tambahan. Bosku cari seseorang yang bisa bantu dia dalam waktu dekat. Coba kamu datang ke kantor besok, siapa tahu ini bisa bantu kamu. Aku tunggu ya!
Hana membaca pesan itu berulang kali. Hatinya campur aduk antara rasa lega dan cemas. Leni selalu bisa diandalkan, tapi ia juga tahu, jika seseorang seperti bos Leni mencari bantuan, kemungkinan besar ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan tambahan biasa. Ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang lebih rumit lagi.
Namun, di saat yang bersamaan, Hana tidak punya banyak pilihan. Ia menatap langit-langit kamarnya, mencoba mencerna segala kemungkinan yang ada di depannya. Jika ia tidak mengambil langkah sekarang, kondisi keluarganya akan semakin memburuk. Hana menarik napas panjang. Besok ia akan menemui Leni di kantor, apa pun risikonya.
***
Keesokan harinya, Hana berdiri di depan gedung tinggi yang tampak megah. Gedung itu adalah kantor pusat perusahaan milik Ray Aditya, seorang CEO muda yang namanya sudah sering ia dengar di berbagai media. Hana merasa sedikit gentar memasuki tempat itu. Ia bukan tipe orang yang terbiasa berada di dunia bisnis yang penuh dengan orang-orang berkelas dan berkuasa.
"Hana!" Panggil Leni saat melihat Hana datang.
Merasa namanya di panggil, Hana langsung menoleh ke arah sumber suara, ada Leni di sana, dan Hana langsung membalas lambaian tangan sahabatnya itu.
Leni sudah menunggunya di lobi sejak tadi. Setelah berbasa-basi sebentar, Leni membawa Hana naik ke lantai paling atas, di mana kantor pribadi Ray berada. Sepanjang perjalanan, Leni tidak banyak bicara, hanya menyuruh Hana untuk tenang dan berusaha sebisa mungkin tidak menunjukkan kecemasan. Mereka berhenti di depan pintu besar berlapis kayu mahoni yang tampak mahal.
"Bosku mungkin sedikit kaku, tapi dia bukan orang jahat," bisik Leni sambil tersenyum, berusaha menenangkan Hana.
"Kira-kira pekerjaannya apa ya, Len?" Tanya Hana sedikit bingung.
Leni mengedikkan kedua bahunya. "Aku tidak tahu, Hana. Tapi aku dengar bos ku butuh asisten gitu."
Hana mengangguk pelan. Jantungnya berdegup kencang.
"Sudah sana ketuk pintu, semoga sukses, aku mau kerja dulu ya. Bye bye Hana..." Setelah mengatakan itu, Leni langsung pergi meninggalkan Hana.
Saat pintu terbuka, ia dihadapkan pada pemandangan ruang kantor yang sangat luas dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Di balik meja besar yang tertata rapi, duduk seorang pria dengan wajah tegas, mengenakan setelan jas yang mahal. Pria itu adalah Ray Aditya.
"Masuk," suara seorang pria terdengar dalam, memecah keheningan di ruangan itu.
Hana melangkah masuk dengan perasaan campur aduk. Ia bisa merasakan tatapan tajam seorang Pria yang menelusuri sosoknya dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai setiap gerak-geriknya. Hana berusaha tetap tenang, meski hatinya terasa semakin berat.
"Duduklah," kata salah seorang pria yang duduk di sofa panjang tanpa basa-basi. "Leni bilang, kamu membutuhkan pekerjaan tambahan?"
Hana menelan ludah. "Ya, Pak. Saya..."
Sebelum ia sempat melanjutkan, pria itu menyela. "Pak Ray tidak butuh seseorang yang hanya mencari pekerjaan. Beliau butuh seseorang yang berani mengambil risiko. Pekerjaan ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan. Kamu siap?"
"Soal gaji, pak Ray akan membayarmu dengan bayaran yang tinggi." Lanjut pria itu.
Hana terdiam, dia melirik sejenak Pria yang sedang duduk di meja kerjanya yang kini sedang menatapnya tajam. Sesuatu dalam nada suara pria itu membuatnya merasakan bahwa apa yang akan ia hadapi bukanlah pekerjaan biasa. Namun, ketika ia mengingat ayahnya yang sakit dan keluarganya yang terlilit hutang, Hana tahu ia tidak bisa menolak. Apalagi tadi pria yang ada di depannya itu menyebutkan bayaran tinggi.
"Saya siap," jawab Hana tegas, meski dalam hatinya ada keraguan yang besar.
Ray menatapnya untuk beberapa detik, kemudian mengangguk. "Baik. Kita akan lihat seberapa jauh kamu bisa bertahan."
Hana menoleh ke arah sumber suara tersebut, tidak tahu apa yang menantinya di masa depan. Tetapi satu hal yang pasti, ia harus mengambil langkah ini, demi keluarganya, demi ayahnya. Dan meskipun ia tidak menyadarinya, hari itu adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
"Baiklah Nona Hana, saya akan kabari anda lagi nanti. Kami harus menyiapkan kontrak kerjasama ini secepatnya," kata Pria itu yang kemungkinan menurut Hana adalah asisten pak Ray.
"Baiklah, kalau begitu kamu boleh pergi," kata Ray pada Hana.
Mau tak mau Hana menoleh lagi ke arah Ray Aditya yang berwajah tampan namun terlihat penuh batasan.
"Baik, Saya akan tunggu kabar baiknya. Permisi."
Hana pun pergi meninggalkan ruangan tersebut. Ruangan yang sangat penuh dengan ketegangan. Namun Hana berharap banyak pada mereka.
"Semoga aku bisa dapat uang untuk pengobatan Ayah secepatnya," kata Hana bicara sendiri seraya melangkah keluar dari kantor tersebut.
***
Naura, seorang desainer muda yang berjuang menyelamatkan bisnisnya, setuju menikah kontrak dengan Adrian, seorang pengusaha sukses yang terdesak tuntutan keluarga. Tanpa melibatkan perasaan, mereka memulai hidup bersama sebagai pasangan yang dingin dan penuh batasan. Namun, di balik kesepakatan formal itu, perlahan tumbuh benih cinta yang tak terduga. Ketika mantan Adrian dan intrik keluarga besar mulai mengancam, mereka dihadapkan pada pilihan sulit. Bertahan bersama atau menyerah pada kesepakatan awal. Bisakah cinta yang lahir dari keterpaksaan menjadi sesuatu yang abadi?
Syakila, seorang gadis cantik berhijab, dengan berat hati menerima perjodohan dengan Reihan, seorang Polisi yang berdedikasi tinggi. Namun, kehidupan pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Reihan tidak bisa melepaskan perasaannya terhadap Sonia, kekasihnya yang berprofesi sebagai model. Walaupun Syakila mencoba menjadi istri yang baik, ia hanya menjadi bayang-bayang di dalam hati suaminya yang masih terpaut pada wanita lain. Konflik antara cinta, tanggung jawab, dan perasaan terluka mulai muncul ketika Syakila harus menghadapi kenyataan pahit bahwa statusnya sebagai istri hanya sebatas gelar tanpa cinta. Akankah pernikahan mereka bertahan di tengah bayang-bayang masa lalu Reihan?
Selama tiga tahun yang sulit, Emilia berusaha untuk menjadi istri Brandon yang sempurna, tetapi kasih sayang pria itu tetap jauh. Ketika Brandon menuntut perceraian untuk wanita lain, Emilia menghilang, dan kemudian muncul kembali sebagai fantasi tertinggi pria itu. Menepis mantannya dengan seringai, dia menantang, "Tertarik dengan kolaborasi? Siapa kamu, sih?" Pria tidak ada gunanya, Emilia lebih menyukai kebebasan. Saat Brandon mengejarnya tanpa henti, dia menemukan banyak identitas rahasia Emilia: peretas top, koki, dokter, pemahat batu giok, pembalap bawah tanah ... Setiap wahyu meningkatkan kebingungan Brandon. Mengapa keahlian Emilia tampak tak terbatas? Pesan Emilia jelas: dia unggul dalam segala hal. Biarkan pengejaran berlanjut!
Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa 21+ Carmen Adelia Giovanni (26) harus menelan pil pahit setelah memergoki kekasihnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Kemudian ia memutuskan untuk pindah ke kota lain untuk menenangkan diri dan mencari pekerjaan lain. Ia melamar pekerjaan di perusahaan Johnson Corporation dan diterima menjadi sekretaris di sana. Alexander Felix Johnson (31) CEO arogan yang kembali ke kota kelahirannya ketika menemukan gadis yang menarik perhatiannya berada di kantor milik keluarganya. Akankah Alexander Felix Johnson berhasil memiliki Adelia Giovanni untuk menjadi kekasih sekaligus istrinya? Dan bagaimana reaksi Adelia ketika mengetahui bahwa Alexander adalah laki-laki yang membawanya malam itu?
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Kesalahan satu malam, membuat semuanya menjadi hancur lebur. Miranda berawal hanya bersenang-senang saja, tapi sialnya malah dia terjebak malam panas dengan Athes Russel. Hal yang membuatnya semakin kacau adalah pria itu merupakan teman bisnis ayahnya sendiri. “Kita bertemu lagi, Miranda,” bisik Athes serak seraya memeluk pinggang Miranda. Miranda mendorong tubuh Athes keras. “Shit! Menjauh dariku, Jerk!” Athes terkekeh sambil membelai rahang wanita itu. “Bagaimana bisa aku melupakanmu? You’re so fucking hot.” *** Follow me on IG: abigail_kusuma95 (Informasi seputar novel ada di IG)
Ayahnya menjadi seorang pengkhianat pada group mafia terbesar di negaranya bernama group Limson, membuat Arabella harus hidup dalam bahaya. Bagaimana tidak, Arabella harus menjadi tawanan kamar Tuan Stanley yang merupakan ketua mafia group Limson atau dia berkeliaran diluar sana dan diburu oleh anggota mafia lainnya.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”