Rumah tangga yang ku kira sempurna ternyata tersimpan sebuah rahasia besar di dalamnya
Kesepakatan yang paling utama dalam rumah tangga adalah kejujuran dan keterbukaan.
¤¤¤
(Mas aku tak enak badan)
Sebuah pesan muncul pada aplikasi berwarna hijau di gawai suamiku dari nomor baru.
"Siapa yang berani malam-malam menghubungi suamiku dan mengatakan kondisinya pada suamiku. Apa maksud dan tujuan orang tersebut? Apa Mas adit ada main di belakangku," gumamku dalam hati.
(Siapa?)
Ku balas pesan itu sebelum Mas Adit tahu tentang pesan misterius itu,
Kosong. Setelah ku tunggu beberapa menit pengirim misterius itu tak kunjung membalas pesanku. Apa dia tahu bahwa yang membalas pesan itu bukan suamiku melainkan aku. Siapa pemilik nomor itu,
"Ada apa, Sayang?"
Suara Mas Adit mengagetkanku. Dia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang dililitkan sebatas pinggangnya. Begitu mempesona di mataku.
"Ini mas ada pesan di gawai mu. Dia bilang dia tak enak badan. Dari nomor baru. Siapa mas?" Tanyaku penuh selidik.
"Aku tidak tau, Sayang. Orang iseng mungkin," jawabnya dengan wajah sedikit menegang.
Aneh menurutku jika hanya orang iseng kenapa dia terlihat menegang.
"Ya sudah yuk, sayang. Kita makan!" ajaknya setelah memakai baju.
Aku berjalan mengekor di belakang Mas Adit sambil memikirkan siapa pengirim pesan itu. Apa hubungannya dia dengan Mas Adit. Apa jangan-jangan Mas Adit memiliki hubungan di belakangku. Mengingat jarak tempat kerja dia yang berada di luar kota dan intensitas bertemu dengaku hanya di akhir pekan saja. Kepalaku pusing di buatnya.
"Kok bengong, Dek. Kenapa?" Tanya Mas Adit intens.
"Tidak, Mas. Hanya saja, rasanya akhir-akhir ini aku merasa mual dan sering pusing," jawabku berusaha mengalihkan topik pembicaraan agar Mas Adit tidak tahu bahwa aku masih memikirkan pesan tadi.
"Mau mas antar ke dokter besok?" Tawar Mas Adit.
"Tidak usah, Mas nanti juga sembuh," jawabku dengan senyum.
Kami makan malam bersama sambil bercanda seperti biasa. Saat-saat seperti inilah yang sering aku rindukan setiap kali Mas Adit jauh dariku demi pekerjaannya.
Malam semakin beranjak hingga tak terasa sekarang hampir tengah malam. Mas Adit sudah tertidur dengan pulas di sampingku. Namun tidak dengan aku. Otaku terus memikirkan tentang pesan itu. Bagaimana mungkin ada orang iseng mengiri pesan seperti itu kepada suamiku. Apa yang sebena.rnya di sembunyikan suamiku dariku
Saat aku hanyut dalam lamunanku gawai Mas Adit berdering.
Tring tring tring
Ku lirik siapa yang menghubungi Mas Adit malam-malam. Tak sengaja aku melihat nomor baru itu lagi. Nomor yang sama dengan dia yang mengirim pesan tadi. Si pemberi kabar tak enak badan tadi.
Mas Adit terlihat sangat nyenyak pada tidurnya sehingga dia tidak terbangun tatkala gawainya berbunyi. Perlahan ku geser tombol hijau di layar gawai suamiku untuk menerima telepon dari si nomor baru.
(Halo, Mas. Apa kamu sudah tidur, Mas?)
Diam. Aku hanya diam mendengarkan perempuan di seberang sana yang terus memanggil suamiku.
(Mas, Mas Adit. Kok diem? Mas, besok bisa kerumah tidak, Mas?. Kepalaku sakit. Aku tidak enak badan, Mas.)
Deg.
Dia menyebut Mas Adit. Berarti ini bukan dari nomor iseng seperti yang di katakan Mas Adit tapi ini dari seseorang yang dia kenal.
"Siapa perempuan itu, Mas?" Gumamku dalam hati.
Selama hampir satu tahun aku menjadi istrinya tak pernah sekalipun Mas Adit terlihat menyembunyikan sesuatu. Dia selalu terbuka denganku. Meskipun dia tinggal terpisah denganku dan hanya bersama setiap akhir pekan tapi tak pernah sekalipun dia terlihat menyembunyikan rahasia dariku.
Perempuan di ujung telepon pun terdiam. Tak ada lagi panggilan yang dia tunjukan untuk Mas Adit. Tapi, ku lihat panggilan telepon masih berlangsung. Dengan tangan bergetar dan dada yang bergemuruh aku mengakhiri panggilan tersebut. Dengan pikiran yang di selimuti berbagai pertanyaan aku kembali membaringkan tubuh ini di samping suamiku. Di samping laki-laki yang selama hampir satu tahun ini ku percaya lebih dari aku percaya pada diriku sendiri.
Tak terasa air mata jatuh dari pelupuk mataku saat aku mencoba memejamkan mata ini untuk tertidur. Hingga entah jam berapa aku mulai tertidur karena lelah dengan pemikiran yang hadir dalam hari ini tentang Mas Adit dan nomor misterius itu.
Maya, wanita yang terlahir dari keluarga kaya raya harus menerima perlakuan buruk dari suami dan mertuanya hanya karena menyembunyikan identitas asli tentang kekayaannya. Dirga, Laki-laki yang memintanya berulang kali kepada kedua orang tuanya nyatanya hanya memandang sebelah mata dan hanya menginginkan uang tabungan yang Maya miliki. Maya sangat ingin mengakhiri hubungannya namun tidak semudah yang ia kira karena ia harus mempertahankan pernikahannya untuk mempertahankan kondisi orang yang sangat di cintainya. Akankah Maya berhasil pergi dari belenggu keluarga Dirga, ataukan Maya selamanya akan di jadikan budak oleh Dirga dan Ibunya.
"Air apa yang kamu berikan untuk Adel, Tari?" "Aku, aku hanya, itu, itu air..." "Air apa?" tanyaku berusaha menahan amarah yang mulai bergejolak dalam dada. "Itu air susu Adel, Mas." jawab Tari dengan gugup "Air apa? aku tahu susu Adel habis, lalu apa yang kamu berikan untuk anakku?" Bentakku dengan membanting dot bayi yang masih terdapat setengah isinya saat Tari tak kunjung juga menjawab pertanyaanku. Bukannya menjawab pertanyaanku, Tari malah hanya berdiri mematung dengan air mata yang terus menetes dengan derasnya dari pelupuk matanya.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
WARNING RATE 21+. Please be awise to reading!! Santi adalah anak yang dibesarkan dipanti asuhan. Tanpa dia tahu ibu dan ayahnya seperti apa. Dia bekerja sebagai kasir di sebuah toko kue. Tiba-tiba saat dia bekerja dituduh mencuri uang kasir dan dia dipecat. Demi bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak, akhirnya Santi menerima tawaran menjadi sebuah perawat di rumah besar untuk merawat orang tua yang lumpuh. Dan terpaksa Santi harus menerima pekerjaan itu. Namun, pekerjaan itu mengharuskannya dia selalu standby 24 jam. Hingga, saat Santi membantu Bimo seorang Casanova yang sedang mabuk yang juga merupakan anak dari tuan yang dia rawat. Sosok Bimo yang selalu tak pernah puas dengan orientasi seks-nya, akhirnya menemukan pelabuhan terakhirnya pada Santi. Bagaimana kisah Santi dan Bimo selanjutnya, baca no skip ya!!
Ketika Nadia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Raul tentang kehamilannya, dia tiba-tiba mendapati pria itu dengan gagah membantu wanita lain dari mobilnya. Hatinya tenggelam ketika tiga tahun upaya untuk mengamankan cintanya hancur di depan matanya, memaksanya untuk meninggalkannya. Tiga tahun kemudian, kehidupan telah membawa Nadia ke jalan baru dengan orang lain, sementara Raul dibiarkan bergulat dengan penyesalan. Memanfaatkan momen kerentanan, dia memohon, "Nadia, mari kita menikah." Sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, Nadia dengan lembut menjawab, "Maaf, aku sudah bertunangan."