Maya, wanita yang terlahir dari keluarga kaya raya harus menerima perlakuan buruk dari suami dan mertuanya hanya karena menyembunyikan identitas asli tentang kekayaannya. Dirga, Laki-laki yang memintanya berulang kali kepada kedua orang tuanya nyatanya hanya memandang sebelah mata dan hanya menginginkan uang tabungan yang Maya miliki. Maya sangat ingin mengakhiri hubungannya namun tidak semudah yang ia kira karena ia harus mempertahankan pernikahannya untuk mempertahankan kondisi orang yang sangat di cintainya. Akankah Maya berhasil pergi dari belenggu keluarga Dirga, ataukan Maya selamanya akan di jadikan budak oleh Dirga dan Ibunya.
"Sedang apa kamu di sini? Tuh cucian masih numpuk!" seru ibu mertuaku saat aku tengah duduk di dekat pintu.
Sudah sekitar lima bulan sejak pernikahanku dengan Bang Dirga dilaksanakan, aku dengan terpaksa harus ikut tinggal di rumah mertuaku. Bagaimana tidak terpaksa jika saja di rumah ini aku diperlakukan layaknya pembantu. Belum lagi aku juga harus bekerja untuk perekonomian keluarga ini. Belum cukup penderitaanku hanya di situ, setiap gaji yang harusnya aku dapatkan malah diambil alih oleh Bang Dirga dan diserahkan kepada ibunya yang ingin selalu terlihat modis.
"Aku capek, Bu. Istirahat sebentar ya," pintaku memelas.
"Tidak ada istirahat-istirahatan. Ini sudah siang sebentar lagi kamu kerja. Kalo kerjaan rumah gak beres siapa yang mau beresin. Ibu mana mau mengerjakan kerjaan pembantu seperti itu," tukas ibu mertuaku.
Bagi Ibu dan kakak iparku, mengerjakan pekerjaan rumah itu hanya pantas dilakukan oleh seorang pembantu. Jadi meskipun mereka menganggur dan hanya ongkang-ongkang kaki mereka tidak akan sudi untuk mengurus rumah ini.
"Kalo pekerjaan rumah belum selesai kamu gak boleh berangkat kerja. Kamu harus selesaikan pekerjaan rumah dulu baru boleh kerja." Ibu melotot kepadaku.
"Tapi, Bu kalo gak kerja aku gak dapat uang," aku menunduk. Menyembunyikan raut kesalku agar ibu mertuaku tidak mengetahui itu.
Aku ingin agar ibu hanya mengetahui bahwa aku menantu yang lemah dan penurut sebelum akhirnya akan kuberi kejutan yang mengesankan.
"Halah sok gaya kamu, kayak gaji berapa aja. Cuma pegawai biasa aja belagu sok-sokan mau datang tepat waktu," kata ibu mertuaku penuh cibiran. "Dibayar berapa kamu sama bos di tempat kerja kamu sampe suka banget datang tepat waktu kayak gitu? Untuk kebutuhan kamu satu bulan saja kurang udah berani ngelawan, Ibu. Makanya cari kerja tuh yang bener. Yang gajinya gede jadi bisa bayar pembantu buat urusin rumah. Masa ibu yang urusin rumah, bisa kasar nanti tangan ibu," sambung ibu mertuaku.
Gaji dengan posisi karyawan sepertiku saat ini memanglah sedikit. Hanya mampu menutupi kebutuhan rumah tangga satu bulan. Itupun harus pandai berhemat. Tapi seharusnya itu menjadi hakku seratus persen bukan. Kebutuhan rumah tangga itu seharusnya di tanggung oleh suami tapi di sini akulah yang harus jadi tulang punggung keluarga ini. Mengabdikan waktu dan tenaga untuk kebutuhan seisi rumah.
"Cepetan kerjakan, atau kamu tidak ibu kasih makan untuk hari ini," ancam ibu.
"Ba-baik, Bu," ucapku seraya berlalu ke tempat dimana setumpuk cucian telah menantiku.
Bukanya aku lemah dengan tidak pernah melawan setiap perlakuan mereka terhadapku. Tidak, aku bisa membalasnya dengan mudah hanya saja aku ingin melihat sampai mana mereka bisa merendahkanku seperti ini. Toh tanpa mereka pun aku masih bisa hidup dengan layak bahkan sangat jauh dari kata layak.
"Nanti kamu gajian kan, May?" tanya kakak iparku saat aku tengah mencuci baju miliknya.
"Iya, Mbak," jawabku tanpa menoleh kepadanya.
"Nanti kasih ke aku lima ratus ya jangan kasih ke Ibu semua. Aku perlu uang untuk beli baju couple dengan suamiku," Mbak Sinta berujar dengan penuh penekanan.
"Tapi, Mbak. Semua gajiku di kirim ke rekeningku sedangkan kartu ATM ku saja di pegang Bang Dirga," jujurku karena memang demikian meskipun aku masih memiliki kartu ATM yang lainnya. Yang tak seorangpun tahu.
Sejak menikah dengan Bang Dirga lima bulan lalu memang aku sudah tidak pernah lagi mengetahui dimana kartu ATM dan tinggal berapa uang yang ada di dalamnya.
Dulu sebelum aku menikah dengan Bang Dirga aku memiliki tabungan yang lumayan di rekeningku. Bahkan aku bisa menggunakan uang gajiku untuk memenuhi kebutuhan serta menabung sedikit demi sedikit untuk kebutuhan yang akan datang. Tapi, setelah aku menikah dengan Bang Dirga dengan paksa Bang Dirga mengambil buku rekening serta kartu ATM ku.
"Kamu minta sama Dirga lah," sinis Mbak Sinta kearahku.
Bagaimana aku akan meminta uangku pada Bang Dirga sedangkan untuk makanku saja sering kali hanya menggunakan mie instan dengan alasan harus mengirit dan setiap makanan enak di rumah ini di simpan di lemari dan kuncinya ibu yang menyimpannya.
"Bukankan Mbak selalu mendapatkan jatah dari Bang Dirga setiap bulannya. Mengapa meminta lebihan, Mbak?" tanyaku karena memang setiap Bang Dirga gajian Ibu dan Mbak Sinta, kakak iparku selalu di berikan jatah bulanan yang lumayan besar.
"Di mintain uang segitu aja pelitnya minta ampun kamu, May. Dasar orang miskin gaji secuil aja belagu. Besok kalo aku punya uang lebih dari gaji kamu gak akan sudi aku pake uang kamu lagi," ucap Mbak Sinta geram. Ku lihat wajahnya mulai memerah menahan emosi.
Memangnya dia siapa seenak jidatnya saja meminta uang padaku. Dia pikir gampang apa cari uang. Aku saja yang kerja ingin segala sesuatu harus di tunda dulu. Bukan karena uang tapi karena sebuah alasan.
"Heh, Babu. Nyucinya cepetan dong. Mau terlambat kamu ke tempat kerjamu?" seru ibu berjalan dari arah dapur menghampiriku.
Aku sudah biasa di panggil Babu atau sejenisnya di rumah ini. Mungkin namaku hanya mereka sebut saat mereka memerlukan uangku. Selebihnya hanya panggilan-panggilan tak mengenakan hati yang mereka sematkan untukku.
Aku bergegas menyelesaikan cucianku mengingat hari sudah semakin siang. Buru-buru aku bersiap tidak ingin terlambat bekerja hari ini. Biarlah perutku lapar. Aku bisa mengisinya nanti di tempat kerja yang terpenting aku bisa datang tepat waktu.
Aku membangunkan Bang Dirga dan menyiapkan semua kebutuhan dia untuk berangkat bekerja. Memang dia merupakan seorang karyawan pada salah satu bank swasta tapi sifat pemalasnya membuat Bang Dirga acap kali datang terlambat dengan menggunakan berbagai alasan yang akan di pakainya untuk mengelabuhi atasannya.
"Bang, bangun ini sudah siang. Aku mau berangkat bekerja. Seragam dan makanan untuk sarapan sudah aku siapkan."
"Apaan sih, ganggu aja. Aku masih ngantuk," gumam Bang Dirga dalam tidurnya.
Memang semalam Bang Dirga menonton siaran laga sepak bola sampai pagi buta. Mungkin karena itulah Bang Dirga masih sangat mengantuk untuk saat ini.
"Kamu harus kerja, Bang ini sudah siang," ucapku lagi sambil menggoyangkan tubuhnya. Berharap Bang Dirga akan segera bangun dan aku bisa berangkat bekerja.
"Udahlah sana berangkat. Bisanya cuma mengganggu saja kamu jadi istri," Bang Dirga mendorongku sampai aku tersungkur ke belakang
"Astagfirullah," ucapku mengelus dada.
"Jadi istri yang berguna sedikit kenapa sih. Sudah kerja gaji pas-pasan. Muka pas-pasan, penampilan gak ada menarik-menariknya. Miskin pula!" ucap Bang Dirga sambil memiringkan tubuhnya membelakangiku
Apa katanya tadi. Muka pas-pasan dan penampilan gak ada menarik-menariknya. Dia pikir dulu siapa yang ngejar-ngejar sambil mohon-mohon untuk di terima cintanya. Kalo bukan karena kasihan juga aku ogah mau nikah sama dia. Apalagi jika tau sifat aslinya seperti ini.
Ku langkahkan kaki keluar dari kamar membiarkan Bang Dirga yang masih terlelap. Bodo amat lah jika Bang Dirga kena omelan nanti di kantor. Kan aku sudah membangunkannya. Dia nya saja yang tidur seperti kerbau. Menjengkelkan!
Rumah tangga yang ku kira sempurna ternyata tersimpan sebuah rahasia besar di dalamnya
"Air apa yang kamu berikan untuk Adel, Tari?" "Aku, aku hanya, itu, itu air..." "Air apa?" tanyaku berusaha menahan amarah yang mulai bergejolak dalam dada. "Itu air susu Adel, Mas." jawab Tari dengan gugup "Air apa? aku tahu susu Adel habis, lalu apa yang kamu berikan untuk anakku?" Bentakku dengan membanting dot bayi yang masih terdapat setengah isinya saat Tari tak kunjung juga menjawab pertanyaanku. Bukannya menjawab pertanyaanku, Tari malah hanya berdiri mematung dengan air mata yang terus menetes dengan derasnya dari pelupuk matanya.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Ketika mereka masih kecil, Deddy menyelamatkan nyawa Nayla. Bertahun-tahun kemudian, setelah Deddy berakhir dalam keadaan koma akibat kecelakaan mobil, Nayla menikah dengannya tanpa berpikir dua kali dan bahkan menggunakan pengetahuan medisnya untuk menyembuhkannya. Selama dua tahun, Nayla setia, mencari kasih sayangnya dan ingin melunasi utang budinya yang menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi ketika cinta pertama Deddy kembali, Nayla, yang dihadapkan dengan perceraian, tidak ragu untuk menandatangani surat perceraian. Meskipun dicap sebagai barang bekas, hanya sedikit yang tahu bakatnya yang sebenarnya. Dia adalah seorang pengemudi mobil balap, seorang desainer terkenal, seorang peretas jenius, dan seorang dokter ahli. Menyesali keputusannya, Deddy memohon pengampunannya. Pada saat ini, seorang CEO yang menawan turun tangan, memeluk Nayla dan menyatakan, "Enyah! Dia adalah istriku!" Terkejut, Nayla berseru, "Apa katamu?"
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.