Entah rahasia apa yang disembunyikan dari keluarga suamiku, hingga membuat aku merasa ketakutan jika bertemu atau berdekatan dengan ibu mertuaku. Kecapan di mulutnya dan tatapan liar, begitu menyeramkan saat ibu mertuaku menyadari, jika saat itu waktu persalinanku sudah semakin dekat.
"Bu, perutku kenapa sakit, ya?" tanyaku, mendatangi ibu ke dapur.
Mendengar keluhanku, ibu hanya tersenyum. Sebuah senyum aneh yang selalu membuat aku merinding melihatnya. Matanya menatap liar ke arahku. Entah itu hanya perasaanku saja, atau memang benar seperti itu adanya.
"Sakit bagaimana? sini Ibu lihat!" ucap ibu, memintaku mendekat.
Kaki ini sudah siap melangkah, tapi kembali aku urungkan karena teringat pesan dari mas Harto.
"Sayang, kalau aku lagi kerja, kamu di kamar saja! Jaga jarak dengan ibu, jangan sampai ibu menyentuh tubuh kamu, apalagi perut kamu! Abaikan saja semua yang kamu dengar di luar kamar. Kalau kamu memang perlu bantuan, kamu hubungi saja saudara kamu!"
Kata-kata itu kembali terngiang. Perlahan aku memundurkan langkahku. Aku memutar otak mencari alasan untuk bisa menolak perintah ibu.
"Kenapa diam Na? Ayo sini!" titah ibu, bibirnya melebar masih menampilkan senyuman yang aneh.
"Emh, i-iya Bu. Tunggu sebentar ya Bu, aku mau ke toilet dulu!" ucapku, beralasan.
Ibu hanya mengangguk dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Tanpa membuang waktu, aku gegas berbalik, melangkah menuju toilet di dekat sumur belakang rumah.
Rumah ibu mertuaku terletak di sebuah desa yang jauh dari pusat kota. Kehidupan di desa ini juga tertinggal jauh dari kota. Di kota tempat keluargaku tinggal, toilet dan kamar mandi sudah menyatu dengan bangunan utama rumah. Sedangkan di sini masih terpisah dan letakknya juga paling belakang.
Semakin aku menjauh, aku seperti merasa diawasi dari belakang. Mungkin saja ibu masih menatap punggungku. Ingin rasanya aku berbalik, tapi aku merasa takut.
Di belakang rumah, pohon-pohon tumbuh dengan subur dan rimbun. Gesekan batang bambu menimbulkan bunyi berisik saat diterpa angin. Aku merasa takut jika harus berlama-lama berada di luar seperti ini.
Cukup lama aku bertahan di tempat ini, akhirnya ibu mertuaku kembali ke kamar juga. Merasa situasi sudah aman, aku bergegas keluar dari toilet dan berlari kecil memasuki rumah dari pintu belakang.
Rumah yang terbuat dari kayu ini, cukup besar untuk suamiku yang hanya anak tunggal di rumah ini. Tapi yang membuat aku heran sekaligus takut, bukan karena rumahnya yang terbuat dari kayu. Melainkan jendela rumah yang hanya ditutupi menggunakan plastik terpal tanpa ada pengamanan apapun. Hanya pintu yang terbuat dari kayu kokoh. Itu pun juga tidak pernah dikunci. Pintu dibiarkan tertutup begitu saja, tanpa dikunci dari luar atau dalam.
Sesampainya aku di dalam kamar, aku langsung menutup pelan pintu kamar dan menguncinya. Ini semua aku lakukan atas dasar perintah dari mas Harto. Aku tidak tau apa alasannya. Jika aku bertanya, mas Harto hanya membalasnya dengan senyum. Aneh sekali.
"Mas, kapan kamu pulang?" tanyaku, melalui panggilan telepon.
"Nanti sore Yank, ada apa? Kamu mau dibelikan apa?" tanya mas Harto, suaranya begitu lembut menenangkan.
"Aku mau rujak Mas, kamu tidak lama kan? Perutku tadi sakit Mas, terus aku bilang ke ibu," Ceritaku.
Mas Harto diam untuk sepersekian detik. "Terus ibu bilang apa? Ibu tidak menyentuh perut kamu kan?"
Pertanyaan dan suara bergetar dari mas Harto membuat keningku mengkerut. Pertanyaan yang sama jika aku membahas tentang ibunya.
"Tidak mas, tadi sih ibu mau pegang dan memintaku mendekat. Tapi aku ingat pesan kamu, jadi aku beralasan ke kamar kecil," sahutku, terdengar helaan nafas dari ujung telepon.
"Memangnya kenapa sih kalau ibu pegang Mas? Apa tidak boleh?" tanyaku penasaran.
Semenjak aku dinyatakan hamil, mas Harto terus mewanti-wanti aku untuk tidak berdekatan dengan ibunya. Ia seperti ketakutan, jika ibunya datang mendekatiku. Entahlah sebabnya apa?
"Hem itu, ehm... Sebenarnya tidak apa-apa sih Yank. Kamu tunggu di rumah ya! Sebentar lagi aku pulang. Diam di kamar saja! Kunci pintunya dan jangan keluar, kecuali aku dan Bapak sudah pulang!" titah mas Harto.
"Iya, aku mau tidur dulu!" sahutku, memutuskan untuk berbaring di tempat tidur.
Tak lama setelah panggilan telepon terputus. Suara adzan dzuhur terdengar. Bertepatan dengan suara adzan mengalun, di luar kamar terdengar suara berisik. Entah dari mana asalnya. Di rumah ini terdapat tiga buah kamar. Satu kamarku dengan mas Harto, satu lagi kamar tidur ibu dan bapak. Tersisa satu kamar yang aku tidak tau apa fungsinya. Kamar itu selalu digembok dari luar. Begitu juga kamar ibu.
Ibu mertuaku seorang ibu rumah tangga. Sedang bapak mertua bekerja sebagai jaga malam di sebuah pabrik di ujung desa. Dari pekerjaan bapak yang hanya jadi tukang jaga malam, dapat aku simpulkan berapa gaji yang bapak dapat. Pasti tidaklah besar seperti gaji para karyawan pabrik. Tapi, yang menurutku aneh di sini bukan karena pekerjaan bapak. Melainkan uang yang didapat selama bapak bekerja. Setiap dua minggu atau satu bulan sekali, pasti ada saja kurir toko yang mengantar barang elektronik atau lemari dan peralatan lainnya ke rumah.
Pernah sempat terpikir olehku. Uang dari mana ibu membeli semua barang-barang itu? Sedang gaji bapak tidak sebanyak itu. Aku memang baru satu tahun ini menikah. Itu pun baru beberapa bulan ini tinggal di rumah ini. Kalau bukan karena pekerjaan mas Harti yang memaksanya untuk tinggal di desa ini, sudah pasti mas Harto memilih untuk tinggal di kota bersama saudara besarku.
"Arggh...."
Suara jeritan yang entah dari mana selalu terdengar bertepatan dengan suara adzan. Bulu kudukku perlahan tapi pasti meremang. Ketakutan selalu melanda jika hanya tertinggal sendiri di sini. Ibu bukan tipe wanita yang banyak bicara seperti ibu-ibu pada umumya. Ibu juga wanita yang sederhana. Pakaiannya selalu tertutup. Walau tidak memakai jilbab, tapi leher ibu selalu dililit dengan syal atau kain.
Aku memberanikan diri keluar dari kamar mencari asal suara. Rasa penasaranku sudah mencapai puncaknya.
"Bu, Ibu di dalam?" tanyaku, mengetuk pintu kamar ibu.
Suara erangan tadi mendadak hilang, seiring selesainya suara adzan. Pintu kamar ibu tidak terbuka sama sekali. Sedang aku masih setia berdiri dan mengetuk pintu kamar.
"Na, sedang apa kamu di situ?" tanya ibu.
Aku berbalik, menatap bingung ke arah ibu yang baru keluar dari kamar yang aku tidak ketahui fungsinya apa.
"I-ibu di kamar itu? aku kira di kamar ibu sendiri," ucapku tergagap.
Kaki ibu melangkah pelan mendekat ke arahku. Tanpa sadar aku malah memundurkan langkah, sedikit menghindar. Aku benar-benar takut sekaligus heran. Bagaimana ibu keluar dari kamar itu, sedangkan tadi saat aku lewat, kamar itu sudah tergembok dari luar.
"Kamu sedang apa di sini? kenapa mencari Ibu?" tanya ibu, suaranya lembut, tapi terdengar mengerikan di telingaku.
"Ti-tidak ada apa-apa Bu. Emh, aku cuma mau bil..."
"Assalamualaikum! Paket Bu!" teriak seorang pria dari arah luar rumah.
"Bilang apa?" tanya ibu, memiringkan kepalanya menatap dalam ke arahku.
Bulu kudukku meremang. Sebisa mungkin aku tahan. "Bilang kalau di luar ada yang mengantar barang. Aku buka pintu dulu Bu!" kilahku, segera berlari meninggalkan ibu.
Tak terbayang oleh Intan bahwa Panji, sang kekasih yang dia cintai, berselingkuh dengan sahabat baiknya sendiri. Pergi adalah pilihan yang Intan ambil untuk lari dari pedihnya luka yang tertoreh di hati. Namun, siapa yang menyangka hal tersebut membawanya pada Lingga, CEO tampan yang menjadi atasannya. Gairah pria itu menjerat Intan walau seribu penolakan telah terlontar. Di antara Panji, cinta lama yang masih bersemayam di hatinya, atau Lingga, pria yang menginginkan hati dan tubuhnya, siapakah yang akan Intan pilih?
Hanya diberi jatah lima juta dalam sebulan, membuat aku kerap kali bersitegang bahkan bertengkar dengan suamiku. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran suamiku saat memberi jatah bulanan dengan nominal seperti itu?
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
"Anda tidak akan pernah mengahargai apa yang Anda miliki sampai Anda kehilangannya!" Inilah yang terjadi pada Satya yang membenci istrinya sepanjang pernikahan mereka. Tamara mencintai Satya dengan sepenuh hati dan memberikan segalanya untuknya. Namun, apa yang dia dapatkan sebagai balasannya? Suaminya memperlakukannya seperti kain yang tidak berguna. Di mata Satya, Tamara adalah wanita yang egois, menjijikkan, dan tidak bermoral. Dia selalu ingin menjauh darinya, jadi dia sangat senang ketika akhirnya menceraikannya. Kebahagiaannya tidak bertahan lama karena dia segera menyadari bahwa dia telah melepaskan sebuah permata yang tak ternilai harganya. Namun, Tamara telah berhasil membalik halaman saat itu. "Sayang, aku tahu aku memang brengsek, tapi aku sudah belajar dari kesalahan. Tolong beri aku kesempatan lagi," pinta Satya dengan mata berkaca-kaca. "Ha ha! Lucu sekali, Satya. Bukankah kamu selalu menganggapku menjijikkan? Kenapa kamu berubah pikiran sekarang?" Tamara mencibir. "Aku salah, sayang. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku tidak akan menyerah sampai kamu setuju."Dengan marah, Tamara berteriak, "Menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Setelah tiga tahun tanpa cinta, pengkhianatan Nando sangat melukai Kumala. Dia tidak membuang waktu untuk menyingkirkan pria itu! Setelah perceraian, dia mengabdikan dirinya untuk mengejar karier. Menjadi terkenal sebagai desainer top, dokter yang terampil, dan peretas brilian, dia menjadi figur yang dihormati. Nando, menyadari kesalahan besarnya, mencoba dengan-untuk memenangkannya kembali, hanya untuk menyaksikan pernikahannya yang megah dengan orang lain. Saat sumpah mereka disiarkan di papan reklame terbesar di dunia, Farhan menyelipkan cincin ke jari Kumala dan menyatakan, "Kumala sekarang adalah istriku, harta karun yang tak ternilai harganya. Biarlah semua orang yang menginginkannya berhati-hati!"
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"
Dimasa lalu dia tidak jadi menikah dengan kekasihnya karena jebakan seorang perempuan yang adalah teman baiknya hingga dia harus terjebak pernikahan yang tidak dia inginkan, dimasa kini siapa sangka dia bertemu dengan gadis yang mirip dengan mantan kekasihnya, tanpa sengaja terlibat skandal one night stand dan tanpa di duga rupanya itu adalah putri mantan kekasihnya. bagaimana kelanjutan hubungan mereka? apakah restu akan mereka kantongi untuk menuju ke jenjang yang lebih serius?
Arsyla adalah seorang wanita berumur 23 tahun, dan dia sudah memiliki suami yang bernama Edi. Usia Edi terpaut 3 tahun lebih tua dari Arsyla. Meski pernikahan mreka sudah beranjak 2 tahun, tetapi mereka belum di karuniai seorang anak. Edi maupun Arsyla tidak memusingkan akan hal itu, karna menurut mereka ekonomi keluarga harus bagus terlebih dahulu. Edi yang hanya bekerja sebagai OB di salah satu supermarket, dengan gajih pas-pasan masih harus menanggung kebutuhan sekolah adik adik-nya yang yatim, dan Arsyla pun tidak keberatan dengan keputusan itu. Sore itu Edi baru pulang dari kerja, iya pulang ke kontrakan yang dia tinggali bersama arsyla. Walaupun kontrakannya