Aku tidak masalah ibu datang berkunjung jika niatnya baik. Namun jika kedatangannya hanya untuk membuat perkara apalagi dengan memfitnahku, Maka maaf Bu, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Baca novel kesekian saja di bakisah, happy reading!
Bab 1
Menjemput Ibu Mertua
"Lama banget sih kamu dateng
ngejemput, Ibu udah nunggu satu jam di sini!"
Itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir ibu mertua, saat aku menjemputnya di terminal.
"Maafkan aku, Bu. Jalanan macet tadi," ujarku hendak menyalaminya. Namun bukannya berhasil, tanganku segera ditepis kasar olehnya.
"Nggak usah banyak alesan. Siang hari gini biasanya jalanan sedikit lengang, kamu pikir Ibu nggak tahu apa! Yang macet itu pagi dan sore hari, saat orang-orang pergi dan pulang kantor!!" ketusnya dengan pandangan tajam.
Sabar....
"Iya a, Bu. Ayo kita pulang," ajakku pada Ibu. Beliau berjalan lebih dahulu sambil menunjuk ke arah belakang. "Tuh, bawain barang-barang Ibu!"
Satu dus besar, satu tas besar ditambah tas lain yang entah apa isinya, segera kuangkat meskipun kesulitan membawanya, dikarenakan tubuhku yang mungil ini. Entah apa yang ibu bawa namun beliau tidak berinisiatif untuk meringankan pekerjaanku. Minimal bawa tas yang paling kecil, kek.
Ugh, aku malah ngarep.
"Di mana mobilnya? Katanya kalian udah beli mobil, ya?"
Sambil tersenyum paksa aku menyimpan barang-barang ibu di belakang mobil bak terbuka. Orang-orang biasa menyebutnya kol buntung.
"Iya Bu, ini mobilnya. Ayo kita pergi," ajakku. Namun bukannya senang, wanita itu malah melotot dan hampir saja melayangkan tangannya ke bahuku.
Aku meringis melihat kelakuan ibu mertua. Beliau memang tidak pernah bersikap baik padaku. Dua tahun pernikahan kami selalu diwarnai dengan omelan-omelan yang keluar dari bibir merahnya itu.
"Ya ampun Dina, beneran kamu beli mobil ini?" tanya ibu seperti tidak percaya. Aku mengangguk sambil membuka pintu agar ibu bisa masuk.
"Kok bisa-bisanya kamu beli mobil macam begini. Ibu kira semacam Avanza, Innova, Xpander, atau setidaknya paling butut itu ya, kijang. Tapi ini, malam-maluin aja kamu!!"
"Memangnya kenapa harus malu, Bu? Toh ini dibeli dengan lunas. Nggak nyicil. Lagi pula kami membeli mobil ini untuk usaha, bukan untuk pamer atau sebagainya." Mobil ini memang biasa dipakai untuk belanja sayur-sayuran kalau dini hari. Cukup meringan makan ongkos dan waktu. Namun sepertinya bukan itu yang ada dalam pikiran Ibu.
"Udah, nggak usah banyak bicara. Ayo pergi, Ibu nggak kuat terus-terusan berdiri di cuaca terik begini. Nanti kulit Ibu kebakar lagi."
Aku diam saja sambil menyalakan mobil dan melaju membelah jalanan.
Aku Sandrina, 22 tahun, menikah dengan Mas Akbar yang usianya sudah 28 tahun. Dulu kami tinggal di desa bersama dengan ibu, namun hanya kuat 3 bulan, sebelum akhirnya aku mengajak Mas Akbar untuk merantau ke kota besar.
Hidup di kontrakan dengan pekerjaan serabutan sudah kami lakoni. Kami bahkan tidak pernah berkeluh kesah atau putus asa. Kami tetap berjuang bersama agar dapur bisa ngebul. Maklum di kota yang notabene tak kenal siapa-siapa, membuat kami harus mandiri dan nggak gengsi.
Saat itulah kuputuskan untuk berdagang sayuran, mengingat Mas Akbar juga kerja menjadi kuli panggul di pasar, sambil memasukkan beberapa lamaran ke perusahaan besar. Kami hidup dari menjual sayuran yang ternyata untungnya berkali-kali lipat. Beruntung setelah kerja nggak jelas, Mas Akbar diterima kerja di perusahaan besar. Meskipun sampai sekarang masih menjadi karyawan biasa yang gajinya di bawah 5 juta, aku tetap bersyukur. Sekarang sudah 8 bulan dia bekerja.
Sayuran adalah alternatif pertama yang dicari oleh ibu-ibu yang pasti membutuhkannya untuk sehari-hari. Dari usaha itu juga akan mampu membeli rumah dan juga mobil ini meskipun bekas.
Dan setelah 2 tahun kami berumah tangga, Ibu baru kali ini datang ke rumahku.
Dulu pernah satu kali datang waktu kami masih tinggal di kontrakan, namun baru beberapa jam tinggal, ibu memutuskan untuk pergi lagi ke rumah anak pertamanya, yang masih satu kota denganku.
"Rumah jelek, sempit, mirip kandang ayam. Cuihhh!!" Aku masih ingat perkataan Ibu waktu itu. Ibu bahkan meludah dan kena ke kakiku.
Astaghfirullah ... saat itu aku hanya bisa beristigfar menyaksikan hinaan ibu di depan mataku yang memanas karena sakit hati.
Wajar saja waktu itu ibu nggak betah. Ruangan tiga kali tujuh itu ditinggali olehku dan suami. Lalu datanglah ibu, makin nambah sesak.
"Nggak turun di kompleks besar gitu? Kok berhenti di sini? Bukannya kalian beli rumah jadi?!"
"Ayo turun, Bu. Di sini memang rumah kami." Kuabaikan perkataannya. Memangnya rumahku di kawasan pasar penduduk. Yang mungkin tak sebesar perkiraan ibu.
"Yang mana rumahmu? Ibu udah nggak kuat, panas. Ugh, kota besar, panasnya minta ampun."
Dia turun dari mobil sambil mencebik.
Ibu lalu berdiri di halaman rumah orang. Sementara aku mematikan mesin dan menurunkan barang-barang Ibu, lalu berjalan begitu saja meninggalkan wanita itu yang memasang wajah masam.
"Yang ini rumah kami, Bu. Selamat datang di rumah." Ya, meski nggak sebagus rumah orang atau rumahnya Mbak Mika, tapi di sinilah kami hidup tenang," ujarku sambil membuka pintu utama.
Wanita itu pun masuk dan memindai sekeliling.
"Rumah jelek, kecil, nggak sesuai ekspektasi. Akbar bilang kalian membeli rumah yang cukup nyaman untuk kalian tinggali berdua. Rupanya cuma rumah seperti ini. Rumah petak. Ini nggak seluas rumah ibu di desa!"
"Alhamdulillah aja, Bu." Kutinggalkan wanita itu dan pergi ke dapur. Makin lama perkataan ibu makin pedas saja seperti boncabe level 500. Sementara Ibu mondar-mandir ke setiap ruangan untuk memeriksa perabotan atau apalah, aku memilih menyiapkan air minum untuknya.
Dulu kami memang membeli rumah ini secara kontan. Itu pun dalam kondisi rumah yang sedikit memprihatinkan. Memang tidak bagus dan tidak juga besar. Hanya ada dua kamar, ruang tengah dan ruang tamu, dapur dan dua kamar mandi.
Tapi ada sisa tanah di halaman belakang dan samping. Yang bisa dibangun lagi jika ada rejekinya. Tapi setidaknya kami nyaman tinggal di rumah sendiri, daripada harus ngontrak rumah yang biaya perbulannya di atas tujuh ratus ribu. Toh di tempat ini juga usahaku berjalan. Di samping rumah aku membuat warung untuk menjual aneka sayuran. Biasanya aku berjualan pukul lima subuh sampai pukul sembilan pagi, sudah habis. Antusias warga dalam membutuhkan sayur-mayur yang segar, membuatku jarang membuka warung sampai siang atau sore.
"Minum dulu, Bu. Biar segar badannya. Nanti aku akan menyiapkan makan siang untuk ibu."
"Teh manis apa teh pahit?" tanya ibu dengan ketus.
"Teh agak manis, seperti biasa."
Dia mengambil gelas itu dan menyeruputnya sedikit. Beberapa detik kemudian, wanita itu menyemburkannya hingga membasahi meja dan bajunya.
"Ahhh, panas!!!"
"Bu, ibu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir. Lekas kuambil tisu dan berniat untuk mengelap bajunya, namun lagi-lagi tanganku di tepisnya kasar.
"Itu hangat, Bu. Nggak panas," ujarku dengan perasaan bersalah. Aku takut lidah ibu terbekar. Namun aku merasa tidak berbuat kesalahan di sini. Mana mungkin aku berbuat zalim kepada mertuaku sendiri.
"Ya ampun, Dina!! Kamu mau membunuh ibu, ya? Udah mah teh manis panas, pahit lagi!! Dasar nggak becus melayani mertua!! Mantu nggak berguna!!" sentak Ibu sambil menghantamkan gelas itu di atas meja. Aku memejamkan mata sekilas. Sedangkan tangan mengusap keningku yang terasa berat.
"Bu, nggak usah ngomong gitu smnisa nggak, sih?!"
"Mau ngebela apalagi kamu, hah?! Dasar kurang aj*r kamu, ya!! Gobl*k!!" tunjuknya di depan hidungku.
"Biasanya Ibu suka teh manis panas, bukan?" Ya, aku tahu kebiasaan itu ketika kami masih tinggal satu rumah di desa. Ibu biasa menyeruputnya panas-panas.
Entahlah di sini dia hendak mencari gara-gara, atau bukan. Aku tidak tahu. Yang jelas baru beberapa menit saja bertamu, sudah berhasil membuatmu moodku rusak.
"Itu kan di desa. Beda! Di sana iklimnya itu dingin, makanya ibu harus minum air panas biar nggak masuk angin. Sedangkan di sini, cuaca panas panas begini masa' disuguhin air panas. Gimana sih? Apa nggak ada kulkas atau apa kek, buat dinginin minuman?!" Ibu melotot dengan suara tinggi. Aku yakin jika ada tetangga yang dengar, bisa berabe jadinya. Apalagi di lingkungan ini hampir semuanya tukang gosip.
"Itu hangat, Bu. Ya Allah ...." Hatiku nyeri sekali dituduh yang macam-macam oleh ibu. Padahal kupikir beliau sudah berubah saat menghubungi ponsel Mas Akbar dan mengabarkan akan berkunjung.
Rupanya pikiranku yang salah. Sikap ibu sama saja.
"Diem kamu! Nggak usah ngeles diri terus!! Lagian ya, rumah kamu sama rumahnya si Diana itu beda. Di sana semuanya lengkap bahkan Ibu tidak usah ke repot-repot kepanasan dan berkeringat. Minum apa aja udah tersedia di kulkas. Mau dingin, biasa, nggak masalah. Lah kamu ....!"
Wanita itu mulai mengeluarkan kipas dari dalam tasnya, kemudian mengipasi wajahnya yang memerah, entah karena kepanasan atau karena memang karena marah padaku.
Sementara aku memilih kembali ke dapur sambil membawa gelas dengan perasaan dongkol.
Kuharap Ibu tidak lama-lama tinggal di sini jika hanya akan membuatku stress.
"Dina!! Dina!!" Suara Ibu mertua yang cempreng terdengar di telingaku. Aku yang tengah mengisi gelas ibu dengan air hangat segera berlari ke tengah rumah.
INI HANYA INSPIRASI. CATET YA! Pernikahan yang kujalani dengan suamiku tak seindah yang dipikirkan orang-orang. Lika-liku kehidupan sudah kujalani apalagi harus berulang kali memaklumi perselingkuhan Mas Raga dan wanita itu, hanya demi satu kata, buah hati. Tapi kata-kata dari pelakor itu seakan menamparku seolah aku wanita bodoh yang terus memaafkan sebuah pengkhianatan. Aku Nazeea Athaya, dan inilah kisahku.
Aisyah ditinggalkan oleh suaminya hanya karena kulitnya yang burik. Tanpa Andra tahu jika keadaan bisa berubah. Aisyah berubah dalam waktu sekejap dan itu membuat Andra menyesal telah membuangnya. Namun demikian mereka terlibat hubungan dimana mereka harus berpura-pura untuk baik-baik saja di depan kedua orang tua mereka.
Edwin Yogaswara tak menyangka akan dinikahkan dengan paksa oleh lelaki bernama Gunadi dan disuruh menikahi putrinya. Yang lebih mengejutkan lagi, istrinya yang bernama Melati Anastasia itu ternyata selain sombong, angkuh, juga tengah berbadan dua alias hamil lima bulan. Kenyataan itu membuat Edwin syok, dan marah karena selain merasa di paksa juga merasa di tipu mentah-mentah. Bagaimana lika-liku perjalanan kisah rumah tangga mereka? Akankah tumbuh cinta diantara keduanya? Ataukah mereka akan berakhir begitu saja, dengan keegoisan masing-masing? Baca sekarang juga.
Suami yang diam-diam tega membagi hati dan berselingkuh, bukan hanya harus diberi pelajaran, tapi juga harus ditinggalkan. Bagaimana cara Indira menghadapi Agung dan Zahra yang tak tahu malu. Simak kisah selengkapnya.
Christian Oliver adalah seorang CEO yang tampan, mapan, kaya dan juga terkenal karena kepiawaiannya dalam mengelola bisnis. Namun, hidup Christian sungguh menyedihkan. Di usianya yang akan menginjak usia 29 tahun, dirinya tidak diijinkan oleh Sang Ayah untuk berhubungan dengan wanita manapun.Alasannya karena dirinya sudah dinikahkan sejak remaja dengan Olivia, anak dari sahabat Sang Ayah. Masalahnya adalah, Olivia hingga saat ini masih belum ditemukan keberadaannya, walaupun Christian sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Padahal tanpa Christ sadari, Olivia selalu berada dekat di sampingnya.
Luna tidak pernah menyangka bahwa cinta pertamanya harus berakhir tragis. Reno, pria yang dia cintai ternyata adalah calon kakak tirinya. Romansa yang baru akan dimulai itu pun seolah pupus dalam sekejap. Kendati begitu, cinta yang menggebu antara Luna dan Reno tak dapat dihentikan begitu saja. Mereka memilih berjalan di atas bara api, meski tau perlahan-lahan terbakar bersama. Jika hubungan terlarang diantara mereka terungkap, akankah mereka bisa terus bersama? Dan bagaimana nasib Luna ketika dia harus merelakan masa depannya karena mengandung buah dari hubungan terlarang mereka?
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.