Bening menjadi korban salah sasaran atas pembalasan dendam yang dilakukan Kevin padanya. Di saat bersamaan sebuah rahasia besar akhirnya terungkap, sebuah kenyataan yang membuat Bening memilih untuk melarikan diri demi membalut luka hatinya. Hingga pada sebuah kesempatan, pertemuan yang tak disengaja menumbuhkan benih cinta di hati Bening dengan pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Namun, garis takdir yang dimilikinya tak seindah yang Bening impikan. Jalannya demi bisa bersatu dengan pria yang dicintainya terlalu terjal, menjadikan Bening berteman luka dan air mata. Akankah Bening menemukan cinta sejatinya, sedangkan jalannya menuju kisah yang indah begitu terjal dan berliku? Ataukah memilih mundur demi membalut luka tak terperi? Terlebih saat masa lalunya kembali hadir memperparah penderitaannya. "Jika ada manusia yang paling berdosa dalam hidupmu, adalah aku. Kau tak akan pernah tahu di setiap sunyi malamku tak henti melangitkan doa untuk kebahagiaanmu. Panjang umur, agar kau dapat melihatku dihukum, karena sejatinya cinta adalah hukuman." Kevin Awang Perkasa.
"Aku hamil, Kak."
Pria yang tengah meneguk minumannya itu seketika tersedak. Penuturan Bening membuat Kevin seperti disambar petir di siang bolong. Harusnya dia tak terkejut karena memang inilah yang Kevin harapkan, ia hanya tak menyangka rencananya akan berhasil dalam waktu secepat ini.
Hanya tiga kali saja mereka berhubungan badan, itu pun setelah Kevin melewati berbagai macam usaha demi bisa membuat Bening takluk dalam pelukannya. Sekarang, apa yang Kevin impikan pada akhirnya terwujud.
"Hamil? Kamu yakin?" Ekspresi wajah terkejut lelaki itu terlihat begitu alami tanpa Bening ketahui bahwasanya Kevin sedang berakting.
Bening mengangguk, ia lantas mengeluarkan sebuah benda yang sejak tadi ia simpan di dalam tas yang ada di pangkuannya.
"Aku mulai merasakan ada yang aneh dalam diriku sejak sebulan yang lalu. Dua minggu setelah kita melakukannya untuk yang terakhir kalinya sebelum Kakak pergi ke Jepang untuk melakukan perjalanan bisnis," ucap Bening menerangkan.
Kevin meraih benda yang diulurkan Bening, dua garis merah terlihat jelas pada alat kehamilan itu. Sudut bibirnya membentuk seringai licik yang amat samar. Betapa hanya Tuhan dan dirinya saja yang tahu kebahagiaan yang tengah ia rasakan saat ini.
"Bagaimana Kak, apa yang harus aku lakukan? Jangan diam saja."
Ucapan Bening yang terdengar mendesak memutus lamunan Kevin.
"Hm, baiklah. Besok kita pergi ke dokter untuk memastikan."
"Kenapa nggak sekarang saja, Kak? Kenapa harus nunggu besok?"
"Aku sibuk hari ini, tolong mengertilah. Aku akan mengantarmu ke dokter tapi tidak hari ini. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan," dalih Kevin.
"Tapi kamu akan tanggung jawab kan, Kak? Sejak awal kan sudah aku bilang kalau aku nggak mau melakukan hubungan badan sebelum kita resmi menikah, tapi kamu selalu memaksa."
'Ya, aku ingat betapa repot dan banyaknya waktuku terbuang hanya demi meyakinkan dirimu untuk menyerahkan tubuhmu padaku dan aku bersyukur semua berjalan sesuai rencana.' Kevin membatin. Ia sungguh sangat menikmati wajah cemas Bening yang ketakutan jika dirinya tidak akan mau bertanggungjawab.
"Tentu saja aku akan bertanggungjawab dan kita akan segera menikah. Tunggu waktu yang tepat, aku akan membawa orang tuaku untuk datang menemui orang tuamu."
"Janji?" Bening menggenggam tangan lelaki itu.
"Iya."
"Jangan menunggu sampai perutku besar, Kak. Aku malu. Aku bahkan nggak tahu sudah berapa bulan usia kandunganku." Bening bisa sedikit bernapas lega setelah mendengar perkataan Kevin, pria itu berjanji akan menikahinya.
Sejak awal Bening tak mau menjalin hubungan yang tidak sehat, tetapi Kevin terus merayu dan memintanya untuk melakukan hubungan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Kevin terus berusaha meyakinkan Bening kalau mereka akan segera menikah tak lama usai Bening menyerahkan mahkotanya. Sebesar itu Bening menaruh kepercayaan pada Kevin karena hubungan baik antara kakaknya dengan Kevin yang telah terjalin sejak lama.
Namun, terakhir kali melakukan hal itu di apartemen Kevin. Lelaki itu berpamitan untuk pergi melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri dan berhasil mengelak atas tuntutan Bening untuk menikahinya. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah hampir sebulan lebih lamanya mereka menjalin hubungan jarak jauh.
"Kamu tenang saja." Kevin mengusap puncak kepala Bening penuh kelembutan. "Jangan terlalu banyak berpikir, biar semua menjadi urusanku. Kamu cukup diam dan tunggu saja. Kita pasti menikah," ucapnya berusaha meyakinkan Bening. Direngkuhnya tubuh gadis itu lalu senyuman licik tercetak jelas di bibirnya.
Kevin merasa hari ini terasa jauh lebih indah dibandingkan hari-hari sebelumnya, padahal di luar hujan deras sedang mengguyur bumi tanpa henti.
"Kenapa Kakak menangis?" Bening melepaskan diri dari dekapan Kevin saat ia merasakan keningnya basah terkena titik air yang menetes dari sudut mata Kevin.
"Nggak apa-apa. Ini air mata kebahagiaan." Kalimat yang mewakili isi hati lelaki itu yang tentu saja berbeda makna bagi Bening.
Ada hal yang jauh lebih membahagiakan lagi ketimbang mengetahui kabar kehamilan Bening. Kevin sungguh ingin meluapkan ledakan kegembiraan yang membuncah di dadanya, tapi ia menyadari bukan saat yang tepat baginya untuk menunjukkan pada Bening.
"Pulanglah. Maaf tidak bisa mengantarmu karena masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."
Bening mengangguk patuh. Dia bangkit dari kursinya kemudian mereka sempat berpelukan untuk sesaat sebelum berpisah.
"Ingatlah untuk selalu berhati-hati karena sekarang ada nyawa yang bergantung padamu." Kevin berpesan.
"Kakak tenang saja. Lakukan apa yang menjadi tugas Kakak dan aku akan melakukan apa yang menjadi bagianku."
Kevin melambaikan tangannya melepas kepergian Bening. Senyuman yang sejak tadi terus tersemat di bibirnya perlahan memudar.
Tak ada yang kurang dari gadis itu. Bening memiliki kepribadian yang baik. Wajah dan bentuk tubuh yang bagus menjadi daya tarik tersendiri bagi gadis sembilan belas tahun itu. Sikap dewasanya jauh melebihi usianya yang sebenarnya meski Bening masihlah gadis yang polos. Ada banyak pria yang rela mengantre demi menjadi kekasihnya, akan tetapi kesemuanya Bening tolak dengan dalih ingin fokus pada pendidikannya.
Tak pernah sedikit pun terbersit di benak Bening untuk menikah muda, sampai akhirnya kehadiran Kevin mampu meruntuhkan pertahanannya. Lelaki yang Bening ketahui telah menjalin persahabatan sangat lama dengan sang kakak, Kevin selalu mengejarnya.
Perhatian juga kasih sayang dan cara Kevin memperlakukan Bening berhasil menumbuhkan benih cinta di hati gadis itu. Kevin bahkan telah mendapatkan restu saat dia terang-terangan menyampaikan niatnya pada keluarga Bening bahwa dia ingin menjadikan Bening sebagai pasangan hidupnya. Hal itu yang membuat Bening yakin untuk menerima Kevin menjadi kekasihnya, kemudian menjalani hubungan yang pada akhirnya menumbuhkan kehidupan baru di dalam rahimnya.
Kevin melepas alas kakinya sambil menekan tombol di dinding yang membuat suasana ruangan menjadi terang seketika. Gerimis masih mengguyur, petir sesekali terdengar menggelegar saling bersahutan. Dengan langkah gontai ia mengambil air minum dalam lemari pendingin lalu membanting bobotnya di sofa.
Bayangan ketika Bening menangis setelah ia berhasil mengambil mahkota gadis itu, kini menari dalam ingatan. Wajah cantik nan polos tanpa dosa, tapi Kevin memberinya noda. Dosa termanis, itu yang terlintas dalam benak Kevin. Ia yang semula menjaga keperjakaannya hanya untuk wanita yang dicintainya saja, pada akhirnya harus dia berikan pada Bening. Kevin yang paling memaksa dalam hubungan itu, tapi sejujurnya baik Bening maupun dirinya sama-sama terpaksa ketika melakukan hal itu untuk yang pertama kalinya.
"Kelewat polos," gumam pria itu menyerupai bisikan.
Getaran halus yang bersumber dari kantong pakaiannya berhasil menyita kesadaran Kevin usai pria itu larut dalam lamunan panjangnya. Diraihnya benda tipis itu dan segera menggeser lencana gagang telepon berwarna hijau.
"Ya?" Jeda sejenak sebelum Kevin kembali menyuara. "Aku berhasil menjalankan misiku, tinggal melakukan rencana yang tersisa." Menyandarkan tubuh hingga punggungnya membentur badan sofa kemudian memejamkan mata sembari memijit pangkal hidungnya.
"Tenang saja, tidak ada yang perlu dicemaskan. Semuanya akan berjalan sesuai rencana, aku berani jamin. Tentu saja aku akan berhati-hati. Waktunya untuk kita memulai permainan yang sebenarnya."
Kevin menurunkan benda pipih itu dari daun telinganya. Dia yang sempat akan menaruh benda itu di meja mengurungkan niat saat melihat nama Bening berkedip di layar. Kevin menekan tombol menonaktifkan gawainya dan memilih pergi ke kamar mandi untuk berendam air hangat.
"Kamu akan menjadi pionku, Bening. Kita akan bersenang-senang setelah ini," lirihnya dengan wajah penuh seringai yang menakutkan.
Embun kira dengan menikahi pria yang dicintainya maka hidupnya akan bahagia, tapi ternyata dugaannya salah besar. Pria yang dinikahinya itu tak seperti apa yang Embun bayangkan selama ini. Bukan kehidupan rumah tangga penuh cinta, melainkan neraka yang diciptakan sang suami untuknya. Putra, suaminya mencintai wanita lain yang bahkan telah Embun anggap layaknya kakak sendiri. Embun tak tinggal diam, dan sebagai seorang istri dia rela melakukan berbagai macam cara demi bisa mendapatkan cinta suaminya. Namun, saat kehadirannya tak lagi dianggap, saat semua pengorbanan dan perjuangannya dipandang sebelah mata, akankah Embun tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya? "Cintai aku sedikit saja, Kak," lirih Embun pilu usai menghabiskan malam bersama Putra. Bukan kata cinta yang Embun impikan selama ini dapat dia dengar, melainkan seperti sebilah pisau yang menghujam jantungnya saat suaminya menggaungkan nama wanita lain di akhir penyatuan mereka.
Bagi publik, dia adalah sekretaris eksekutif CEO. Di balik pintu tertutup, dia adalah istri yang tidak pernah diakui secara resmi. Jenessa sangat gembira ketika mengetahui bahwa dia hamil. Tapi kegembiraan itu digantikan dengan ketakutan ketika suaminya, Ryan, menghujani kasih sayangnya pada cinta pertamanya. Dengan berat hati, dia memilih untuk melepaskan pria itu dan pergi. Ketika mereka bertemu lagi, perhatian Ryan tertangkap oleh perut Jenessa yang menonjol. "Anak siapa yang kamu kandung?!" tuntutnya. Tapi dia hanya mencemooh. "Ini bukan urusanmu, mantan suamiku tersayang!"
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?