etiap waktu berlalu tak sedikit pun gadis itu merasakan ketenangan sebab sorot mata bengis Karmila selalu mengintai ruanga
ya. Ia satu ayah dengan Aisyah, tapi beda ibu. U
tampak heran dengan kedatangan Aisyah. Maklum, mereka berdua jarang ber
selesai mandi?" tan
a pun berlalu begitu saja membuat Aisyah seakan kehilangan
nya, tapi terjatuh begitu saja dan diambil oleh Ummi tirinya. Boneka impian di masa kecil itu membuat Aisyah tersenyum m
ak lagi inginkan boneka. Usianya sudah tiga belas tah
nya kemudian pad
armila itu pun menoleh.
kan Abah, Dek. Apakah Abah su
tu menggeleng. "Tidak mau!" tolaknya
Dek. Mbak moho
i tempat duduknya, berlari sambil memang
tu takut kalau Silvi akan sege
ilvi seraya memeg
u pun merasa terganggu. "Ada apa?" t
Mi. Mb
itu,
uang tamu. Dia sudah
ana?" pekik Kar
eka Silvi, Mi. Dari tadi
ejut mendengar penuturan Sil
pun merasa gerah dengan situasi seperti ini. Begitu tak sudi jika darah
tanya Karmila dengan be
akut. "Aisyah tidak
nangis kejer seperti ini!" tunjuknya seraya menar
h begitu takut. Ses
tang-datang hanya membuat
bukan pembuat onar. Aisyah sama sekali tidak n
ecil sudah pandai
Aisyah buk
tidak jaha
hati Aisyah. Ia yang menunduk ketakutan p
ggu Abah. Dia hanya bertanya apakah Abah selesai mandi a
ik pada putra
kamu nyalahin adik kamu sendiri, hah
gang dengan tuduhan
begitu damai sebelum kedatanganmu. Jangan
serius di hati Aisyah. Silvi yang bersalah. Ia yang berdusta dan ia yang begitu pandai bersandiwara, ta
i piring dan gelas dengan begitu kasar. Suaranya berdentang-denting dan terden
meninggalkan Aisyah duduk sendirian di sana. Dari kejadian ini saja s
i memang rumah Abah dan Aisyah memang anaknya. Namun, ada pembatas tak kasat mata yang seakan menjadi bent
a Aisyah tak lag
mpainya di halaman ia melihat sang Abah yang memang baru s
Mau ke mana?"
irinya dan juga sikap sang Abah yang memang terkesan mengulur-ulur waktu.
ap raut wajah k
ah ini, kan, juga rumahmu," u
engan mata berkaca-kaca. Rindu, benci, marah, kecewa,
sama Abah? Ini Abah sudah selesai mand
u. Sadar jika dirinya sama sekali tidak diinginkan, tapi pernyataan abahnya seolah memberi harapan. Ingin
u. Tunggu di sini, ya? Tidak akan lama,
ya begitu sesak menghadapi kenyataan ini. Ia darah daging Mustofa, tapi seolah seperti orang lain. Ia
us berandai-andai dalam keterpurukan. Cukup lama dalam lamunan kelam, ia pun sada
tanya Mustofa mencob
Hem kotak-kotak dan celana hitam melekat di badannya, menjadi pertanda seak
a Aisyah sambil memperha
Abah ada janjian sama
gulan dalam bersosialisasi, terpandang baik di mata masyarakat, tapi berbeda dari sudut pandang Aisyah. Bagi
Mustofa membuyarka
Aisyah dengan
tik inti. "Bagaimana keadaan Mbah Kakung dan Simbok? Apakah beli
ka berjalan. Mereka berdua sudah sangat sepuh," tutur Aisyah dengan
bad," sahut Mustofa santai sembari menyalakan rokok dan m
Di situ, kan, lebih dekat dengan pintu," ujar Mustofa
ustofa. Asap rokok itu sedikit terhirup oleh Aisyah. Begi
Memangnya mau berbicara apa?" tanya Mustofa beg
dingin bercucuran di tubuhnya. J
, Bah," ungkapnya dya itu. Mata Mustofa dan Mata Aisyah saling tata
emang sudah s
Bersusah payah ia datang ke sini untuk mengutarakan kei
melanjutkan ke Mts," tutu
a kamu su
ur s
rupanya Mustofa memang sama sekali
karena penyakit paru-paru kini sudah berusia remaja. Ia datang bercerita seputar se