mil
Gulai
ar
R.D.L
esuatu yang ia pikir adalah potongan jari tadi. Sayangny
n penglihatannya. Apa itu memang jari t
tu ceker ayam yang di ca
potong daging dan separuh nasi yang tak habis ia makan ke dapur. Sel
gil kucingnya. Berniat memberikan si
riang, mengendus mangkok yang
i Sulis amat nikmat itu, Manis malah t
a heran. Tak pernah sekalipun Manis menolak daging apapun pembe
ging dan mengarahkan ke hidungnya. Mengendus bau gul
kah ke arah dapur dan membuang sisa
karena pemberiannya begitu saja ia buang. Darahnya mendidih
uat, main buang! awas ka
*
hijau berisi beberapa bungkus gulai dag
k lupa mencicipi dengan satu bungkus kecil tester yang d
rga yang cukup murah untuk uku
enuju ke rumah. Selama setahun belakangan, semenjak suaminya meng
nya. Membeli beberapa jajanan yang
pa mampu meminta, karena mereka tau seberapa sulit hidup mereka. Jangankan untuk jajan, makan pun nasi bekas orang yang sudah tak termakan
atlah keras. Untuk seragam sekolah
a tahun, membuat mereka bagai seum
arni mencari plastik-plasti
susahnya kedua orang tua di usia teramat belia. Toni
jajan satu sama lain. Jajan yang bagi anak-anak seusia
ikkan air mata. Apalagi ketika melihat senyum terbit di wajah keempat buah hatinya saat berbagi sebungkus jajanan, b
munan warga. Ia hendak mendekat demi mengetahui apa yang sedang terjadi di te
sak tangis terdengar begitu menyayat hati membuat baan yang teramat sangat mengguncang jiwanya. Lebih baik me
aknya warga yang ikut merasa penasaran deng
ampai rumah dan bertemu
*
ahnya, Parni menyempatkan diri singgah di
r senja menyambut kedatan
n aja belum bayar!" ujarnya ketus
ka saja tak berdosa, pasti untuk pertama
tu ia potong-potong dan di campur dengan cabai rawit dan irisan bawang serta
mun. Udah, ga bol
rni tersadar. Ibu beranak empat itu lantas menjawab," saya data
k membeli beras dan jajan," Parni menyer
beli beras, biasa minta nasi be
Timah. Betapa kejamnya ucapan yang dilontarkan w
t itu juga. Namun, ia tetap bertahan. Janji hatinya, suatu saa
ernah satu kali pun meminta nasi lagi kepada tetangga, terutama pada Nenek,"Parni menekan suara
ninggalkan sesal yang teramat dalam di batin Nek Timah. Ia menyesal, terbawa em
air mata itu tumpah begitu saja ta
emberi celah untuknya, meski hany
at keempat buah hatinya sedang menunggu
orakan girang yang membuat mulut Parni bergumam," Ibu akan me
*