asar lembek! Baru segitu saja sudah menangis. Bukan
engar konyol. Siapa juga yang minta maaf sampai harus dimaafkan. Aku sama sekali tak mera
Oded mengangkat mukanya, kini menatapku lurus penuh tekad. S
g? Setelah semua telanjur terjadi
ng keras di belakang punggungku. Mendengar bunyi itu, aku tahu sudah tak ada lagi jalan pulang
i sengaja aku palingkan dari jarak pandangnya. Aku tak ingin lagi menatapnya
ih tanganku, tapi kut
buatmu, Dik?" Bujuknya lagi, mengingatkan aka
nnya? Buang-buang umur saja. Baru aku sadari bahwa
SMP. Umurku 16 tahun saat itu. Setahun luntang-lantun
as buatan tangan kecil-kecilan yang penghasilannya tak tentu. Ibuku, ibu rumah tangga yang tak berpe
semua. Dengan bangga Kang Oded mengatakan ia telah memiliki penghasilan yang dapat menafkahiku setelah menikah. M
nya. Tak sekolah dan tak ada pekerjaan, mau apa lagi aku
i-begini terus tidak ada kemajuan," kataku sengaja menyakitkan
ar dan satu kamar mandi di luar. Satu kamar di depan menjadi ruang kerja Kang Oded sekaligus
etron di televisi, dan sesekali ke tetangga di depan rumah. Me
an tinggal di sini terus," bujuknya lagi. Mungkin ia mengira aku bosan
einginan-keinginanku. Sepuluh tahun kami bersama, tapi aku merasa telah serumah bersama lelaki yan
hati," tampikku dengan embusan nap
menentukan kapan akan diberi anugerah," Kang O
n diri kami ke ahli kandungan. Bukankah itu sama saja mengharap makan buah rambutan tapi tak ada usaha mengambilny
pernikahan kita," kataku seraya mengibaskan tang
ded te
akan kunjung paham perkataan halus apabila tidak diterangkan secara blak-b
h di seputar kedua sudut bibirnya yang kering tampak tegang, menyiratkan keseriusan ucap
arik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan dari tarikan udara yang tipis oksigen di dalam kamar kecil ini. Begi
terang-terangan untuk membuktikan bahwa aku serius. Bahw
seolah ingin melompat keluar. Sepasang tangannya bergetar dan menggapai-gapai mencari pegangan. Tubuhnya yang kurus
macam apa yang sudah menikahiku selama sepuluh tahun ini? Memalukan buk
" Tanpa menunggu tanggapan Kang Oded, a
arkan pernyataan cerai selugas barusan, aku mendadak kehabisan energi untuk me
an Kang Oded. Lagipula, memang sudah tak ada lagi hal yang perlu dibahas. Setelah sekian tahun
tusanku. Untuk sesaat tak ada kata-kata yang keluar dari bibir hitamnya yang setiap waktu mengisap rokok. Harapanku memang ia tak
ungi Kang Oded. Entah apa yang akan dilakukannya untuk melewati malam ini. Ters
beku dalam posisi berbaring. Jadi Kang Oded memutuskan mendekatiku. Gerakan badan Kang Oded yang kian tak berjarak m