Sekian lama diabaikan suami membuat Tisni kesepian. Apalagi suaminya sering membiarkannya berduaan dengan lelaki lain. Ketika Tisni memutuskan untuk meninggalkan sang suami, salahkah dia?
Pintu yang menghubungkan antara kamar tidur dan tempat menjemur pakaian kubuka dengan gerakan pelan. Aku baru saja keluar dari kamar mandi yang terletak di samping tempat menjemur pakaian.
Aku terkejut mendapati Kang Oded berdiri mematung, memandangiku yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ia berdiri tegak di depan meja kamar. Meja satu-satunya dalam kamar sempit ini, tempat meletakkan rice cooker dan keranjang kecil berisi peralatan makan yang berbilang tak sampai sepuluh. Sepasang matanya memandang ke arahku dengan sorot mata yang sulit untuk kupahami. Kemudian bibirnya terbuka dan meluncurlah ucapannya.
"Kamu selingkuh, Dik?" Kang Oded menatapku lurus-lurus.
Aku yang hendak melangkah menuju lemari pakaian, tertegun. Kuusap anak rambut yang masih basah di dekat telinga.
"Kenapa Akang tanya begitu?" Aku tatap balik matanya. Langkahku menuju lemari plastik kecil berisi aneka pakaian menjadi terhenti.
"Ini buktinya!" Kang Oded mengacungkan ponselku. Mataku mengerjap sekali.
Ponsel itu aku tinggalkan di atas kasur ketika ke kamar mandi. Mungkin tadi sewaktu aku mandi, dibacanya isi pesan-pesanku kepada Mas Rudi. Tumben ia mengutak-atik ponselku, perhatian sekali. Biasanya aku jungkir balik pun ia tak mempermasalahkan.
Aku memang tak pernah menghapus pesan dan obrolan antara aku dan Mas Rudi. Aku membiarkan riwayat percakapan itu mengendap di alat komunikasiku. Ceroboh? Bukan. Aku sengaja melakukan itu karena merasa tak perlu menyembunyikannya dari Kang Oded. Mungkin di sudut hatiku yang terdalam, aku memang ingin Kang Oded menemukan pesan-pesanku kepada Mas Rudi, agar pernikahan hambar ini segera menemui titik akhir.
Suamiku, tak pernah mencurigai aku sedikitpun. Ia tak pernah tertarik mengetahui dengan siapa saja aku mengobrol di aplikasi pesan. Ia memang membatasi pergaulanku dengan para tetangga di lingkungan perumahan ini, tapi tak pernah memedulikan ponselku. Satu hal yang jelas, aku tak menyukai sikapnya yang terkadang abai terhadap kegiatanku dan terkadang amat membatasi ruang gerak pergaulanku.
Entahlah. Aku tak tahu pasti maksud dari sikapnya. Apakah ia memang tak punya rasa cemburu ataukah ia amat memercayaiku? Sulit bagiku untuk membedakan diantara kedua hal itu. Aku menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang.
"Akang baca isi pesanku buat Mas Rudi? Baguslah jika Akang sudah tahu," kataku santai, lalu menyandarkan punggung pada bantal yang kususun di atas kasur.
Tubuhku sangat penat. Sepulang bekerja sebagai buruh jahit di sebuah pabrik konfeksi, aku hanya ingin beristirahat setiap kali selepas jam kerja. Duduk seharian menghadapi mesin jahit dan menjahit aneka gaun dan blus membuat pinggangku rasanya kaku dan kram.
"Dik, sejak kapan kamu berubah?" Kang Oded menatapku penuh luka. Tak terdengar nada marah dalam suaranya.
"Sudah sejak lama, Kang. Akang saja yang tidak pernah perhatian," jawabku penuh perasaan, puas akhirnya bisa mengatakan kegondokanku terhadap sikapnya selama ini.
"Padahal aku selalu percaya kamu, membebaskan kamu ketika ingin ini dan itu ...." Bahu Kang Oded turun dan suaranya menjadi lirih.
"Ya, Aku memang dibebaskan untuk berbuat apa saja. Tapi Akang juga kurang perhatian dan kasih sayang sama aku," balasku dengan suara yang semakin melengking.
Sudah lama aku menantikan saat ini. Momentum konfrontasi terbuka yang tidak lagi menyediakan ruang buat menutupi dan memendam sesuatu. Biarlah malam ini aku ungkapkan semua kekesalan dan unek-unekku selama menikah dengannya. Biar tuntas semua rasa. Malam ini akan menjadi puncak dari titik klimaks pernikahan kami.
"Ketika kamu ingin kerja, Akang perbolehkan. Apa itu kurang perhatian?" tanya Kang Oded keheranan.
Oh, alangkah lugunya Kang Oded. Apa dipikirnya perempuan cukup dituruti kemauannya saja maka itu sudah merupakan perhatian?
"Ya. Aku senang. Tapi Akang ingat, ketika aku minta dijemput pulang selepas jam kerja pabrik? Akang malah menyuruhku pulang sendiri naik angkot," jawabku penuh semangat. Aku menatap Kang Oded tajam. Mungkin ada nyala api kekesalan yang terpancar dari sorot mataku. Aku tak lagi peduli.
"Padahal aku sudah bilang dari malam sebelumnya, bahwa aku pulang pukul empat sore. Seharusnya, sebelum pukul empat Akang sudah menjemputku. Paling tidak ada kemauan datang sendiri, tak perlu sampai aku telepon minta jemput," tambahku semakin bersemangat. Kang Oded menunduk.
Kelebat bayangan peristiwa yang kusebutkan terlintas jelas di dalam benak. Sore yang cerah itu, sinar matahari menyorot kuat. Aku selesai bekerja dalam kondisi yang amat lelah dan sangat ingin pulang. Aku menunggu Kang Oded di depan pabrik. Berkali-kali mengecek jam lantaran Kang Oded tak kunjung tampak batang hidungnya.
Beberapa rekan kerja melewati tempat dudukku, menyapa dan bertanya demi basa-basi dan mengucapkan kalimat pamit karena sudah dijemput terlebih dahulu.
"Menunggu dijemput, Tis?" tanya Mira. Aku mengangguk lesu.
"Aku duluan, ya." Aku menatap punggung Mira yang pergi dengan tergesa-gesa, setelah ia melihat pacarnya sudah menunggu di depan gerbang pabrik.
Sepuluh menit berlalu. Sebagian besar rekan-rekanku yang tidak tinggal di mess pabrik sudah pulang seluruhnya. Lima belas menit terlampaui. Teman-teman yang tinggal di mess telah kembali ke mess. Aku sendirian di kursi, bengong sendirian seperti anak sekolah yang kebingungan karena jemputannya terlambat datang.
Emosi naik dari dada sampai ke ubun-ubun. Di mana Kang Oded? Aku menggertakkan gigi saking kesalnya. Di puncak kejengkelanku, aku memutuskan untuk menelepon Kang Oded. Sekali saja panggilan, teleponku langsung diangkat.
"Di mana, Kang? Aku sudah lama menunggu." Aku langsung memberondongnya dengan tuntutan, bahkan sebelum ia sempat berkata halo.
"Menunggu? Oh, hari ini kamu enggak menginap di pabrik, ya? Maaf, Akang lupa. Hari ini ada order jahitan yang masuk dan Akang sibuk," jawabnya tanpa rasa bersalah.
Dongkol bukan main, itulah yang kurasakan. Genggamanku pada ponsel semakin erat, saking kesalnya hatiku mendengar jawaban Kang Oded di seberang sana.
"Jadi bagaimana sekarang?" aku masih berusaha mengontrol suara meskipun jengkelku sudah sampai ke pori-pori kulit.
"Kamu pulang naik angkot saja ya, Dik? Akang betul-betul enggak bisa meninggalkan pekerjaan sekarang."
Bagus! Enteng betul Kang Oded menyuruhku pulang naik angkot. Tanpa berkata apa-apa lagi, langsung saja kumatikan ponsel. Daripada aku mengomel panjang-pendek di telepon dan semakin menarik perhatian satpam yang mulai memerhatikanku dari balik gardu jaganya.
Bayangan itu pupus, berganti dengan pemandangan kamar sempit yang amat aku benci.
"Padahal lagi, aku hanya pulang seminggu sekali ke rumah, hari-hari lainnya aku lembur dan tidur di pabrik. Itupun Akang malas menjemputku, malah pernah Akang menyuruh Mas Rudi yang menjemputku di pabrik!" Napasku naik-turun mengatur rasa sesak di dada.
Mas Rudi teman suamiku yang sering datang ke rumah. Mereka begitu akrab hingga beberapa kali lelaki yang umurnya hanya selisih tiga tahun di atasku itu menginap di rumah kami yang bertipe RSSS, rumah sangat sempit sekali.
"Aku ini istrimu, Kang! Tapi kenapa malah menyuruh temanmu yang menjemputku? Jadi jangan salahkan aku kalau jadi akrab dan dekat dengan temanmu," dengkusku gemas.
Salahnya sendiri membiarkan aku akrab dengan temannya, hingga akhirnya aku dan Mas Rudi pun memiliki rasa yang terlarang di dalam hati. Seperti kata orang-orang Jawa kuno, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta hadir lantaran terbiasa.
Dedy, suami Wati, dilamar oleh bos tempat kerjanya. Diiming-imingi kehidupan yang lebih baik membuat Wati rela dimadu. Setelah menikah lagi, Dedy membawa Wati ke rumah madunya. Ternyata Dedy memiliki niat tersembunyi dibalik keputusannya.
Pelan tapi pasti Wiwik pun segera kupeluk dengan lembut dan ternyata hanya diam saja. "Di mana Om.. ?" Kembali dia bertanya "Di sini.." jawabku sambil terus mempererat pelukanku kepadanya. "Ahh.. Om.. nakal..!" Perlahan-lahan dia menikmati juga kehangatan pelukanku.. bahkan membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Peluk dan terus peluk.. kehangatan pun terus mengalir dan kuberanikan diri untuk mencium pipinya.. lalu mencium bibirnya. Dia ternyata menerima dan membalas ciumanku dengan hangat. "Oh.. Om.." desahnya pelan.
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Warning konten pemersatu bangsa area 21+ pilihlah bacaan dengan bijak, tanggung jawab ada pada diri masing2. Penulis hanya berusaha menyajikan bacaan yang ringan dan menghibur. šš» Hai saya Aldi 35 tahun yang saat ini bekerja sebagai arsitek dan design consultant. Sebagai persiapan masa pensiun, saya membangun sebuah bangunan kos yang juga sekaligus rumah saya di sebuah lokasi yang sangat bagus. Berisi 30 kamar yang dikhususkan untuk wanita kini semua kamar tersebut sudah penuh oleh penyewa. Saya berhubungan baik dengan semua gadis-gadis penghuni kos, bahkan sangat baik sehingga saya seringkali dengan ikhlas membantu masalah terbesar mereka. Seperti kata petuah jika kau memberi dengan ikhlas maka niscaya kau akan menerima balasannya 10 kali lipat bahkan berlipat-lipat. Mungkin itu yang saya rasakan sejak mereka semua mulai memperhatikan dan memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Termasuk kebutuhan yang tidak bisa saya penuhi sendiri, yaitu kebutuhan di atas ranjang. Ini perjalanan saya, Aldi Reynaldi.
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?