di dalam rumah. Tadinya aku pikir dia pergi entah ke mana, lantaran se
an nasi kuning." Tangan Kang Oded mengulurkan sepi
dalam udara penuh aroma. Cuping hidungku bergerak-gerak mengendus uap hangat yang menggugah selera. Memalukan sekali, tubuhku telah mengkhianati kehen
ajukan piring nasi kuning hingga berada tepat di depan tu
uk aku duduki. Ia sendiri duduk di kursi yang lain, menghadapi me
ning di meja, lalu duduk di kursi yang disediakan Kang Oded. Baru satu su
ku pikir ia berusaha terdengar
Dari sudut mata, aku merasakan pandang
nasi. Apa boleh buat, aku terpaksa ha
? Lalu kita makan bersama seperti ini." Kentara
nya, aku sudah tak percaya lagi kepadanya. Bukan apa-apa, aku ragu ia mampu melaksanakan rayuanny
yang keluar dari lubang hidungnya menerpa pipiku. Aku kembali melirik dari sudut mata, dingin dan malas. Ekspresi wajah
us menahanku dan tak akan membiarkanku berangkat. Akibatnya, aku bisa terlambat masuk kerja. Bisa-bisa aku kena t
pat makan nasi agar bisa segera pergi dari rumah yan
r. Wajahnya yang tadi tegang kini berseri-seri. Ia juga menggosok
lagi. Mungkin dipikirnya aku sudah mulai melunak. Sayangnya, kamu salah, Kang. Hatiku telanjur sa
ng selalu tersedia di dalam tas. Kursi berderit ketika aku bangkit hendak pergi. Kan
Sengaja aku tekankan kata menginap agar ia tak berharap aku pulang dalam waktu dekat. Biar saja ia dat
hku yang sudah lebih dulu maju tanpa menunggu tanggapan dari ucapanku sebelumnya. Bagiku, perka
, aku menjawa
aku kalem. Lekas-lekas aku mempercepat langkah keluar rumah, t
abrik. Selama ini, aku selalu berangkat sendiri dengan angkot. Kang Oded hanya mau mengantarkan aku hingga ke pabrik apabila aku minta, itu pun dia
lewat, sebuah mobil angkot sudah mendekat. Penuh suka cita aku menyambut angkot itu. Angkot berhenti tepat di depanku, lalu aku mel
paham kondisi angkutan umum bangsa ini. Hanya ada sedikit keamanan dan kesabaran berkaitan dengan angkot sebagai sarana an
dalam agak penuh. Lima orang duduk di hadapanku, sedangkan tiga orang lagi duduk satu kursi di sampi
beda status denganku. Mereka para karyawan kecil yang harus mengejar angkot pagi-pagi s
batik. Sebuah keranjang anyaman dari plastik tergenggam di tangannya. Wajahnya tanpa riasan sama sekali. Aku tebak
Heran aku. Bukankah sudah kewajiban suami mengantarkan istrinya pergi kemana-mana? Lantas kewajiban siapa mengantarku kemana-mana? Abang ojek? Huh. P
kemudian dia mulai ogah-ogahan menjemput. Aku disuruh pulang sendiri dengan angkot. Sudahlah lelah bekerja, pulang harus naik a