... bisa dibilang seperti itu. Menikah dengan Huri, seperti mengantarkan nyawanya ke liang lahat. Sa
kut," ujarnya sete
, apalagi saya yang langsung menikahi ka
usia, Bang." Bulu tangan dan tengkuk Elang berdiri seketika. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan
a Huri kembali pecah dan tidak bisa berhenti untuk beberapa detik lamanya. Air matany
a, kalau Abang mau
kaligus menyiapkan hatinya. Apapun akan ia lakukan ag
etapi ekspresinya seperti sedang mengulum senyum. Wajah gadis
Pentium tiga, tentulah tidak paham ucapan Huri. Keningnya mengerut dalam dengan bola mata bergerak tak beraturan. Sepertinya Elang
tertawa. Gadis itu sudah bisa menebak, jika Elang; suam
gigit bibir bawahnya ,masi
mur saya," tanya Elang gemas. Duduknya semakin dekat dengan Huri. Sudah tidak canggung lagi, karena memang sedang penasaran. Ap
Saya juga gitu. Kata teman saya, semakin cep
k rambutnya yang tidak gatal. Anu apa sehingga b
ng, Bang?" Huri bersia
Tangannya refleks menahan tangan Huri, sehingga menimbulkan sengatan begitu tajam, hingga
adannya. Padahal AC di kamar Huri sangat dingin, tetapi ia merasa sangat ke
ami orang. Kesialan pada suami orang tersebut, bisa luntur
mulai tersulut. Huri sampai menunduk takut
awani saya sebelum tiga pul
Elang sema
ah agar rona merah yang muncul di pipinya, tidak terbaca oleh istri mudanya. Lelak
nggu depannya lagi," ujar Elang dengan gemetaran. Dihapusnya keringat dengan punggung tangan. Tidak mung
tidur saja. Besok baru Abang ceritakan tentang diri
iy
uri tersenyum kembali pada Elang.
an kaku di samping kiri Huri. Kasurnya empuk, bantal tidurnya juga. Nyaman, te
kanya dua hari lalu, Huri udah hapalin doa-doa sehari-hari," uja
am, Bang," tantang Huri lagi ingin memamerkan kemampuannya mengha
naa fiima rozaqtana
Huri. Itu doa mau makan. Ha ha ha ...
miring, "katanya gak mau, gak mau ... udah di kamar ketawa terus." Bu Latifah yang kebetulan lewat di depan kamar pengantin, memasang t
lu panjang, Lang," gu
*