ap Ke
*
setia duduk di kursi kebanggaannya. Mata tajam tidak lepas dari p
menandakan adanya seseorang yang datang. Tanpa ingin merepotkan diri, ia tetap me
k terbit da
yang sebelumnya memasuki ruangan kini kembali mengundurk
a dan memejamkan mata. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian lima tahun y
erjuangan cinta yang selalu tertanam di hatinya. Sebuah pepe
mutuskan untuk melampiaskannya pada angin malam, berteriak di sebuah taman masih bagian dari hot
nya tengah kesakitan, sebuah hati yang patah meremukkan jiwan
cukup mampu melihat kebahagiaan mereka. Hampir empat jam dirinya berdiam d
malam, kini pesta yang ada adalah untu
tu meja bundar besar yang memang sudah disediakan untuk hal ini. Ia m
Satu, dua, tiga, bahkan kini ia tidak ingat berapa gela
usahan akibat alkohol yang ditenggaknya. Sudut bibirnya tertarik membentu
angan ini beberapa waktu lalu, di mana perempuan yang ia perhatikan, sek
berbisik, "Kak. Ava sudah ma
embali menatap dirinya. "Kau saja yang m
ap
at, tetapi anehnya masih ingin berada di pesta ini. Pes
ni kepalanya sudah tergeletak di atas meja. Meraihnya
*
itu. Meski sebelumnya dirinya sempat tergoda, sekuat tenaga untuk me
ai ambang pintu, menari kasar hingga bibir keduanya kembali menyatu den
nita di hadapannya. Melingkarkan kaki putih pada pinggang kokohnya. Membawa
tanpa mau repot-repot menguncinya. Tidak peduli jika
umpu tubuh agar tidak membebani sosok di bawahnya. Silat lid
semakin menggelora dan semakin membawa g
gin terbebas. Tangan kekar itu mulai menjalar. Bergerak lihai di ata
a turunkan dengan perlahan. Dua tali pada pundak telah terlepas. Membebaska
atapan tajam itu tak pernah lepas pada gundukan kenya
ti mereka. Menjulurkan lidah untuk menggapai sesuatu yang
t sekilas wajah perempuan yang terlihat tidak berdaya.
unguan yang mendominasi. Tarikan yang dilakukan bibirnya lagi-lagi membuat wani
kan aktivitas, ingin melihat wajah cantik wanita yang ia puj
ria itu menjadi tidak suka akan uca
Jangan tanyakan lagi siapa me
h Ava. Rasa penasaran perempuan bermata hazzle itu tidak dapat tertuang. Kata
inti tubuhnya. Ava hanya mampu mengangkat dagu, menggigit bibir b
aksa dan sedikit mendorong. Hingga ia merasakan benda asing yang mul
undur teratur, cepat dan pelan. Terasa mengaduk dan mengoyak. Sesak dan
tulang belikannya. Membuat ia semakin mendongak dan memejamk
seolah mendorong untuk terbebas. Tangan mulai meremas seprei di sisi tubu
sesuatu telah terbebas dari dirinya. Napas yang menderu m
hnya. Kafka, mulai menjalankan aksinya kembali. Memberi lukisan-lukisan indah pada dada sintal. Berjala
tu kembali menjalankan ciumannya menuruni perut. Menuju pada
an inti tubuh dengan sebuah jilatan yang memabukkan. Lutut terasa lemas, tubuh ti
lur semakin dalam menyentuh dinding luar pusat Ava. Dirasakan daging k
kan-nekan sedikit untuk memberikan rangsangan pada Ava. Di sela-sela kegia
ak, bibir terbuka, kentara sekali Jika
jari kaki pun mulai tertekuk. Ia semakin menjadi. Memainkan
bah dengan dua jari ia membuka lipatan merah muda itu. Memperdalam jelaj
ng memaksa keluar sedari tadi. Masih dengan napas te
afka tepat di h
emosisikan kepemilikannya pada inti Ava. Me
suara lemah. Namun, Kafk
jah Ava. Menikmati keind
ciuman pada bibir pink bersamaan pinggulnya yang mengentak dengan
tahan oleh ciumannya. Namun, Kafka harus merelakan bibi
. Dua aliran darah dari jalan berbeda. Sama-sama mengalir tanda persatuan. Tanda k
gi keluarganya, ia ak
ergiannya ke kota London. Namun, semua itu a
*