atnya. Dan besok aku akan melihat Ayah lagi setelah sekian tahun tak bertemu. Entah seperti
ku yang nyaman. Malam ini adalah pengajian untuk pernikahanku besok. Rumah ku juga sud
untukku yang aku amini. Pengajian pun di mulai dan berjalan dengen khusuk.
ang istri dan tentunya aku akan di boyong oleh suamiku. Mengingat
n aku berlabuh di pundak Ibuku. Mencurahkan isi hatiku, membuat kami berdu
elama ini kami hidup berdua dan sekarang mau tak mau kita harus
ukannya dan men
boros, harus pintar mengurus rumah tanggamu, paham ndok?" Aku
u kembali ke rumahnya masing-masing dengan membawa satu kantung dari k
i. Malam semakin larut dan rasa kantuk tak bisa di bendung lagi. Ibu
etika aku selesai di make-up besok pagi. Jadi baik aku dan suami ku na
olehkah aku mengirim p
uk tidur karena aku tidak mau sampai kelelahan besok. Apalagi sampai mengantuk
ata setelah meny
*
totku. Aku menarik nafas dalam karena hari ini adalah hari terpenting dala
suami, tapi juga bertemu Ayahku.
" tanya beberapa s
e," jawab
da mereka yang membu
bar apa s
tak menanggapinya lagi karena malu. Dan
holat subuh karena sudah adzan saat aku mandi tadi. Di dalam kamar yan
tengah menunaikan sholat subuh? Di
anti di depan sadahku ada sajadah suamiku, aku akan jadi seorang makmum yang berdiri dan mengikuti gerakan sang imam yang merupakan suamiku sendiri. Lalu
n juga merapihkan beberapa barang yang terkesan berantakan
i seprei ku dengan yang baru. Yang di anjurkan oleh Ibu ku kare
ri sebelum aku di boyong ke rumah orang tua suamiku. Bagaimana pun nanti
luar kamarku. Bergegas aku menjawab dan
g pria paruh baya berdiri di dampingi seorang Ibu lebih mud
kah? tanyak
. Membuat lamunanku buyar dan menuntunku untuk mencium tanga
ing di mataku, tapi bagaimana pun aku tet
. Bagaimana? Ibu ku? Aku lantas menatap Ibu yang berada di samping Ayah ku
yang paling mencengangkan adalah Ayah dan Ibu tiri
a aku pun menurut dan menyapa para adikku. Ada tiga adik yang harus aku
ngobrol di sana, tapi waktu ku tak
pan. Mereka pun mengerti dan aku meninggalkannya untuk masuk ke dala
, harus ceria, ini kan hari bahagia," nas
ya?" uja
s ban
ih tau yang lain
ersenyum senang karena ternyata perias ku mudah bergaul dan bisa membuat nyaman yang d
udah memberikan pe
*
ar iring-iringan pengantin laki-laki yang sudah sampai di rumah ku. Aku kini di temani En
tatus suami. Kami akan terus berjauhan sampai kata sah terdengar dan ia akan mengetuk pintu kamar
tak karuan rasanya karena menunggu deti
dah yang selalu kale
terdengar kata sah, k
rnah aja," ledekku. E
rnah nemenin Kak
a-ya, h
elah sekian lama menunggu kabar akhirnya ada yang mengetuk pintu
dan merapihkan penampilanku karena sebentar lagi aku akan di jem
deg-degan ba
amanya juga mau
ana dong,
diri, terima apa pun yang suami lakuka
, Nd
, kalau ada yang ketuk pintu nanti, tanya siapa? Kalau jawabannya suami mu, maka kamu harus menguc
u paham bang
ang kasih tahu ya orang tua bukan aku. Udah ya,
ergi dong, Nda
ira
uan rasanya, aku bangun dan berjalan bolak-balik karena bingung. Sampai aku mendengar sebuah ketukan pi
. "Si-siapa?" tanyaku ses
erat. Aku tahu ia juga gugup sama seperti ku. Aku
berapa detik barulah aku mendengar s
engantin berwarna putih, lalu celana panjang putih, dengan di balut kain batik berwarna coklat yang sen
i panggil istri oleh Mas Ibnu. Ya Allah. Aku hanya bisa menjawab dengan sebuah anggukan dan
eluarganya. Ia masuk ke dalam kamar untuk menyentuh kepalaku dan membacakan doa setelah menikah, lalu h
nurut saja. Mas Ibnu lantas memberikan jemarinya padaku untuk di genggam. Dengan ragu aku memberikan ta
tersenyum malu-malu dan pergi d