edak tabur, eyeliner dan seulas lip gloss berwarna orange. Ia memandang bayangannya sendiri di kaca meja rias. Hasilnya cukup lumayan. Sebentar lagi ia akan ke Astronomix. Untuk i
i kecil. Gemesin kalau menurut istilah ibunya. Maklum saja ibunya dulu adalah seorang guru TK. Hanya saja gaya childish-nya itu terbawa sampai sekarang. Ia masih suka berdandan ala anak-anak begini. Simple dan praktis. Ia tidak harus m
m. Tidak biasanya majikan mudanya ini keluar rumah malam-malam sendirian. Biasanya ia selalu ditemani oleh orang tua atau kakaknya apabila ia memang mempunyai urusan penting di malam hari. Saat ini kedua orang tua Gerhana sed
a juga sudah balik." Gerhana mencoba menenangkan hari ART-nya. Mbok Wati ini sudah ia anggap seperti ibu keduanya. Mbok Wati lah yang d
n Mang Yahya saja ya buat menyopiri si Non?" Mbok Wati merogoh saku daster
Nana berangkat dulu ya?" Gerhana mencangklong tas dan meraih kunci mobil di atas nakas. Bersiap keluar kamar menuju garasi. Ia sengaja mempercepat langkahnya untuk menghindari
alem. Walau kalimat si Mbok terkesan menghimbau, namun ada peringatan yang tersirat di dalamnya. Nah kan! Si Mbok memang pia
na dihukum. Mbok nggak kasihan apa sama Nana? Padahal niat Nana ini baik lho, Mbok. Nana mau menjenguk orang sakit? Jangan bilang apa-apa sama Mas Guruh ya, Mbok? Ya, Mbok ya?
ilang apa coba?" Tanya Mbok Wati ragu-ragu. N
a Nana akan pulang sebelum Mas Guruh pulang. Percaya
a dengan tambahan kalimat hati-hati di jalan. Si Mboknya ini memang baik sekali bukan? Oleh karena itu ia tidak akan mengecewakannya. Ia hanya akan menit
anya yang remang-remang seperti ini. Ia takut kalau nanti salah mengenali orang. Apalagi jika memikirkan kemungkinan akan bertemu dengan Abizar atau malah Om Axel sekalian. Auto mampus ia dihajar kedu
boleh!" Seorang security berseragam hitam-hitam menahannya di pintu masuk. Ia merasa terhina seketika. Usianya sudah dua puluh dua bahkan du
sal karena disangka masih anak-anak. Mendengar jawabannya, security yang satu lagi mendekat. Mungkin ia ingin memastikan ucapannya. A
y yang kedua pun ternyata tidak mempercayainya. Wah bener-bener kebang
rity. Kalau tidak perc
oy. Ini adik gue." Sese
n uang pada salah satu bouncer untuk diteruskan pada si Tangg
Gerhana cemberut. Ia masih tidak terima dianggap sebagai anak SMP. Orang tuanya telah
--" Tangguh menghentikan kalimatnya. Ia tid
n. Walau pun kesal tetapi ia tidak mau membua
lu ya, Bang?" Tangguh bermaksud membawa Gerhana ke parkiran dan mengusirnya pulang. Hanya saja ia tidak meng
i pula kalau ia masuk, pasti Tangguh akan ikut masuk juga. Jadi gampang kan memberikan uangnya? Tidak main petak umpet melulu? Kecerdasan tingka
ra hitam berenda dan secarik kain tipis yang menutupi area bawah perutnya. Pantas saja para laki-laki suka ke tempat ini. Banyak penampakan-penampakan indah rupanya. Ada sekelompok wanita dan pria yang duduk bergerombol di sudut ruangan. Mereka tertawa-tawa sembari menyesap minuman warna-warni di gelas kecil. Ada yang berwarna merah seperti sirup Marja* dan juga yang berwarna biru mirip
i tempat untuk melarikan diri dari sesuatu. Entah itu lari dari masalah pekerjaan, percintaan atau apapun. Ia berani mengatakan hal itu setelah mengamati wajah-wajah penikmatnya. Mereka semua
goyang dumang sampai yang bergoyang ala jurus kungfu master. Mungkin ia sedang hang over. Semakin lama menjadi pen
ukan tempat kamu?" Tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang berb
boleh datang ke sini asal mampu membayar," pungkasnya ketus.
meraih tangan besar Tangguh. Meletakkan amplop di telapak tangannya serta menutup tangan besar itu kembali. Tugasnya usai sudah. Sebaiknya ia kembal
sudah bilang kalau saya tidak membut
ak!" Seru Gerhana kesal. Tangguh menarik rambut sekaligus pita merah m
etahui tempat kerjanya. Tanpa banyak bicara lagi ia segera meninggalkan bocah keras kepala itu. Kalau dibiarkan pasti lama-lama ia akan bosan dan akhirnya pulang juga. Hanya saja ia khawatir melihat tatapan penuh hasrat dari beberapa om-om senang dan para executive muda yang terus mengintai ge
ng ini sampai ke tangan Bu Wardah, ia tidak akan menyerah begitu saja. Dengan cepat ia mengekori langk
adu kesaba
ngikuti saya? Sa
h
pada ibunya Abang. Dan kalau boleh, saya juga ingin
martabak, itu juga sudah saya perbaiki. Saya tidak butuh uang kamu. Jadi kamu tidak us
osong semua. Maaf itu penting. Hanya saja ada sanksi yang juga menyertainya. Saya dididik untuk selalu bersikap pe
h kehabisan akal untuk menghadapinya. Hah, si abang preman ini tidak tahu saja bagaimana keras
itu kamu jangan pernah menampakkan batang hidung kamu lagi di hadapan sa
g juga kan? Siapa
idak dididik untuk begini begitu. Meman
orang tua gue itu siapa? Siap-si
nya guru TK."
Kalau ayah kam
dua,
Badai Putra Alam." Sahutnya dengan gaya jumawa. Ia
ungan, jantu
menemui ayahmu, dan memintanya untuk mencabut SIM A kamu, karena kamu
irnya jadi begini sih