asa sesak, tapi dia tak peduli. Rasa haus yang mengeringkan tenggorokannya dia kesampingkan, begitu pula dengan nyeri yang menc
s mengalir. Dia sendirian. Tak ada yang bisa dimintai pertolongan, tak ada yang akan mencarinya. Di negeri asing ini, i
berteriak, meraung, melampiaskan keputusasaan yang menggigit jiwanya.
berlari, menuju ketidakpastian
ng tanpa satu pun yang b
kali menoleh ke belakang, memastikan diri
-turun seiring dengan tarikyang terasa kaku. Tangisnya pecah, tubuhnya menggigil. Tatapannya jatuh k
diri untuk kembali melangkah. Namun, baru beberapa meter berja
cepat, berhenti mendad
erbalik dan berlari sekencang mungkin, tapi belum jau
knya, parau dan
nggelap. Kesadarannya
menciptakan bayangan samar di dinding. Dalam keheningan yang mencek
ranjang. Sepasang mata tajamnya mengunci pada sosok wani
erhenti tepat di dagunya. Napasnya terdengar teratur, t
diran pria itu di sisinya. Sesekali, kelopak matanya bergerak, seolah s
elarikan diri?" bisiknya nyaris tanpa sua
h wanita itu. Mata tajamnya menelusuri setiap lekuk wajah Kayshila, s
ulai menggeliat. Ali
h, tetapi matanya tetap terkunci pada
ng akan kau lakukan
buram. Ia mengerjap berulang kali, mencoba menyesuaikan d
ya lirih, tangannya refleks memegang pelipis, berharap rasa s
ncelos. Sebelah tangannya t
ngan tangan yang masih bebas, ia meraba selimut tebal yang melilit tubuh
enarik selimut
e
elalak, napa
pun yang membalut tubuh
jadi satu-satunya pelindungnya saat ini. Otaknya berusaha meng
ti, menelanjangi ketakutan yang mencengkeram dirinya. Dadanya naik turu
rinya seperti belati tajam. Suara teriakan, cengkraman kasar, dan r
ang bisa
alanya, memaksa ingatan itu kembali. Tapi nihil. Memori itu menguap, menghilanmenggeleng keras, menolak kenyataan yang pe
ni ia jaga dengan baik telah tereng
n sunyi. Tapi untuk apa? Tidak ada yang ak
wanita-wanita yang menjajakan tubuhny
an almarhum kedua orang tuanya melintas di benaknya. "Maafkan Ka
isakan. Tapi rasa sesak di dadanya semakin menusuk, s
Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lelah, dan tanp
at ia ter
da di dalam rua
tampak lebih famil
-rantai besi itu telah ke
uk melarikan diri. Keinginan untuk menerobos keluar begitu kuat, namun tubuhnya terhambat. Kedua kakinya
berjongkok, menatap tajam Kayshila seolah tengah menikmati penderitaannya. "Ternyata rantai-rantai ini l
ilat penuh kebencian. Bibir pucatnya membentuk lekukan tipis, hampir seperti senyuman penuh ejekan. "Benarkah?" ujarnya dengan n
"Apa kau pikir aku sudi meniduri wanita seperti