?! Lepaskan aku! I AM
rahnya, menatapnya tajam. Namun, ia tidak peduli. Dadanya naik turun cepat, setiap tarikan napasnya penuh
ayshila tak lebih dari sekadar angin lalu. Bahkan ketika Kayshila berhasil menepis kasar tangan anak buahnya yang mencekal per
an yang begitu pekat hingga terasa seperti belati tajam yang siap menghunus pria itu kapan sa
ap ke telapak tangannya sendiri. Rahangnya mengeras, menun
ja, bajingan?" Suaranya penuh k
i di wajahnya, seolah kata-kata Kayshila ta
a kemarahan, ia menyuarakan sumpahnya, sumpah yang la
n membunuhmu denga
Wajahnya tanpa ekspresi, tak sedikit pun tergurat emosi, namun sorot matanya yang kelabu menancap tajam ke dalam iris coklat milik Kayshila. Diam. Ia
seperti sebelumnya. Bukan berarti ia menyerah. Tatapan tajamnya masih terkunci pada Adrik, menelusuri wajah tanpa belas kasihan itu
dari jangkauan matanya. Namun, saat ia mengarahkan pandangannya ke depan, kesadaran me
binatang, tanpa rasa malu, tanpa sedikit pun harga diri, melakukan perbuatan keji di hadapan banyak orang. Bau alkohol bercampu
ayaknya barang dagangan murah. Pemandangan itu membuat perut Kayshila bergejolak, tapi ia menahannya. Ia tak bole
berdebar kencang, tatapannya bergetar, dan napasnya mulai tersengal, seolah udara di sekitarnya mendadak ter
ah kamar. Pintu berderak tertutup di belakangnya, diiringi suara kunci yang diputar dari lu
ya menghantam pintu berkali-kali, menggebraknya dengan putus asa. Jari-jarinya
atanya bergerak liar, mencari celah, jalan keluar, apa pun! Dan saat
ti kaca di mansion bajingan itu. Percobaan pertama gagal. Kedua, retakan kecil muncul. Ketiga... d
habis. Kaca-kaca tajam masih menancap di bingkai jendela, dan saat ia menarik tubuhnya naik,m pikirannya: Dia harus
lebih kuat daripada rasa sakit. Dengan napas tercekat dan tubuh yang penuh lecet, akhirnya dia berhasil keluar dari tempat yang penuh kegelapan itu, tepat saat seorang pria tu
Ternyata, cebo yang ia pesan itu kabur setelah menghancurkan kaca kamar.
ng VVIP. Di dalam ruangan itu, pria bertato besar, Cirillo, tampak asyik tertawa bersama beberap
kan sebuah pukulan keras tepat di wajah pria bertato tersebut. Seisi ruangan terdiam seketika, pa
rah menyala. "What the hell... Apa masalahmu?" tanyanya, m
dengan suara dingin, "Akulah yang seharusnya bertanya, sialan. Apa kau seda
yang tidak menunjukkan sedikit pun emosi. Wajah Adrik begi
nakannya!" Pria tua itu berteriak, amarahnya meleda
am, seketika menoleh tajam ke arah pria tua terse
ampiri, menatap pria itu dengan ekspresi yang jauh lebih dingin da
! Wanita sialan i
amar yang ditunjukkannya. Pemandangan yang menyambutn
enerkam, menatap kosong ke tembok yang terletak di hadapannya. Rahangnya mengeras, tangan kanannya me
" suara itu datang dengan nada k
enancap di dinding. Dengan gerakan lambat dan penuh penekanan, ia mengusapnya dengan jari
terdengar, namun Adrik
ita itu. Hid